Sabtu, 10 November 2012

Tinggal Dibaca. Jangan diingat. Mata merah darah.



Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
“Engkau yakin, akan melanjutkan tahap ini?” suaranya sedikit bergetar, seperti mengingat-ingat sesuatu. Jubah putihnya berbau obat keras, sangat menusuk. Mata merah darah.
“Engkau mungkin hanya akan kehilangan beberapa jam, atau berbulan-bulan.” Mata merah darah.
“Aku yakin, tidak sakit kan?” Jawabku. Aku memang bosan dengan rasa sakit, meski sedikit kebal. Mata merah darah.
“Ceritakanlah semuanya,” Mata merah darah.
“Jangan berhenti sebelum aku perintahkan” Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
            Aku agak termenung, ingatan-ingatan tentang masa lalu memang terkadang sulit diceritakan. Aku seorang biasa, keuanganku biasa saja. Cukup sehari-hari dan kadang makan bersama rekan-rekan terdekat. Mata merah darah.
Aku mahasiswa, dan pekerjaanku adalah meneliti segala hal tentang kebudayaan. Aku pernah meneliti masyarakat urban kota satelit jakarta, dan menemui berbagai masalah dari orang-orang tua dan terpinggir. Mata merah darah.
            Tetapi, mungkin karena dualisme tugas itu, aku kelelahan. Tubuhku memang sangat lemah. Aku sedang menjalani terapi, tidak boleh tidak minum sejam pun. Kulitku akan mengering, bibirku akan pecah. Aku memiliki kemampuan meranggas. Mataku sudah jauh menurun, terlalu  peka. Aku tak mampu lagi melihat dalam cahaya terang. Berat badanku bahkan tinggal dua pertiganya. Mata merah darah.
            “Lanjutkan, masih banyak tentu,” Ia terus memaksa aku bercerita. Mata merah darah.
            Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
            Caraku mengajar sepertinya memang terbilang keras. Bahkan, untuk kesatuan khusus Pramuka, kesatuan militer mata elang. Pasukan yang khusus hanya diturunkan pada missi serius dan berbahaya. Mencari informasi. Detasemen mata-mata kepramukaan tingkat penegak, yang memiliki kemampuan bertahan tanpa istirahat selama dua hari berturut-turut. Mata merah darah.
            Batu dan kayu menjadi alat latih mereka. Udara panas ditengah hujan, hujan ditengah matahari terik, bahkan bekerja tengah malam, semuanya aku ajarkan.  Menyusup ketengah kerusuhan, menjadi pemimpin sebuah organisasi yang kita susupi dengan cepat, bahkan menjadi sutradara sebuah peristiwa, rekayasa sosial, dengan sempurna tanpa diketahui para pemain. Mata merah darah.
Prestasi sudah banyak diraih, dari kota hingga nasional. Mata elang sebelum kepelatihanku berada dalam kondisi hampir bubar. Dengan kerjasama yang baik, semuanya berhasil disatukan, dan organisasi ini menjadi pemuka dimana-mana. Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
            Hingga pada suatu ketika, seorang pemain lepas dari kontrol sutradara. Pemain kelas kakap.  Ia menggugat aku, ia menyatakan ketidaksukaannya,  namun tidak didepan latar panggung. Ia bergerak di balik layar, dengan mengumpulkan para pemain lain untuk menggulingkan aku, si sutradara. Mata merah darah.
            Ditengah kekisruhan, aku berhenti. Aku memutuskan menyelamatkan organisasi yang aku bangun dengan susah payah, dan menyingkir dari kemungkinan terburuk. Aku ingin hilang. Aku ingin dilupakan orang. Mata merah darah.
            Mungkin mereka belum siap menerima gaya kepelatihan yang keras, yang memang bukan gaya Pramuka. Mata elang, sebagaimana detasemen Sandiyudha, memerlukan teknik tingkat tinggi. Menyerupai beladiri. Mata merah darah.
            Mungkin mereka bertanya-tanya, darimana aku mendapat kemampuan seperti itu, dimana seniorku bahkan tak pernah mengajarkannya. Kemampuan yang mampu menembus malam. Kemampuan menembus rasa takut seseorang, dan mengubahnya menjadi kepatuhan. Mata merah darah.
            Aku ingin hilang, terlalu banyak sisi lainku yang bertumpuk dan membingungkan. Bahkan untuk pemilik jatidiri itu sendiri. Kemampuan-kemampuan yang aneh bagi banyak orang, dan aku menguasainya. Dengan beberapa teknik yang bahkan hanya dikuasai seorang militer. Kelas atas. Mata merah darah.
            “Engkau haus?” sambungnya. Mata merah darah.
            “Ya, berikan aku air,” Mata merah darah.
            Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
            Aku mencintai seorang gadis, yang satu almamater denganku. Namanya indah sekali, jika disebut namanya, akan terbayang hutan yang wangi, dengan semak-semak basah muncul disela pepohonan. Mata merah darah.
Ia mengenakan jilbab, caranya khas sekali. Ia akan melilitkan jilbab dengan satu jarum, dan melilitkan kedua sisi lainnya kebahu, tanpa mengikatkan atau mengaitkannya dengan jarum. Ia suka warna abu-abu dan coklat tanah, seperti matanya. Mata merah darah.
Ya, matanya coklat tanah. Seperti tanah yang kita gunakan untuk menanam cinta setiap harinya. Tanah yang diambil dari lahan-lahan surga dan dipadatkan menjadi matanya. Mata merah darah.
Mata itu, satu-satunya mata yang mampu menatap kearahku dan langsung menembus kedalam hati. Menghunjam. Meredakan amarah. Kata orang, mataku dingin, tanpa ekspresi namun tajam. Entah kenapa ia tidak berpikir demikian. Mata merah darah.
Ia kuliah ditempat yang teramat jauh. Jauh dari kota asalku dan asalnya. Ia terpilih kesana dan sempat bimbang, ia begitu khawatir dengan masa depannya. Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
“Apakah aku ambil kesempatan ini? Aku tak dapat berpisah dengan orangtuaku,” Katanya, sendu. Mata merah darah.
“Ambillah, orang tuamu akan senang, kamu akan menjadi wanita yang kuat. Mandiri, hingga kelak bisa bertahan tanpa seorangpun” Kataku mencoba menegarkan. Mata merah darah.
Dalam asrama, memang ia nampak senang. Teman-teman barunya menjadi sahabat karib, seperti satu tubuh. Aku menjemputnya setiap akhir pekan, langsung ke asrama. Ia senang, meski setelahnya aku akan sakit. Tetapi aku tak memberitahunya sama sekali. Ia pasti akan marah, dan tak ingin kujemput lagi dengan alasan kesehatanku akan memburuk. Mata merah darah.
            “Kau tampak lelah,” Kata pembimbingku, ia melihat sesuatu dalam mataku. Mata merah darah.
            “Tidak apa-apa, aku memang terlalu mengingatnya, cinta memang terlalu memakan banyak ruang dalam pikiran. Harus dikosongkan,” Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
Aku suka membuat puisi, dan puisiku banyak yang memang tertuju padanya. Kebanyakan dikaitkan dengan hujan, mata, kupu-kupu, atau apalah. Yang penting aku bisa menyenangkan hatinya. Mata merah darah.
Ya, wanita memang lebih senang pengorbanan yang terlihat di matanya daripada pengorbanan yang dilakukan di belakangnya, tanpa sepengetahuannya. Ia akan menganggapnya kebohongan, diluar kenyataan. Mata merah darah.
Sebagaimana aku, hidup diluar kenyataannya. aku tak pernah memberitahukannya siapa aku, banyak pertimbangan. Entah aku dibencinya, entah aku yang malu nanti. Mata merah darah.
Tetapi aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
Sore itu, mendung menggelayut di langit yang dekat, tak lama memancar juga kedalam hati. Mata merah darah.
“Aku sudah tak bisa” Kata-katanya pelan, namun menyimpan berbagai arus yang deras. Mata merah darah.
“Kenapa? Bukankah akhir bulan ini, kita akan pergi ke Taman Bunga?” Aku tak percaya, aku harus mengungkap sesuatu. Ia mendadak berubah, dan aku tidak peka! Apakh terjadi sesuatu dengan hari-hari lalunya tanpa aku tahu? Mata merah darah.
Ia tak melanjutkan kata-katanya. Masam. Hujan yang turun menjadi masam. Matanya tiba-tiba basah, aku tak kuasa memandangnya.  Aku laki-laki, dan tak tahu harus bagaimana.  Matanya semakin deras mengambangkan perasaanku, hanyut kesegala arah. Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Harus! Mata merah darah.
“Baiklah,” Pembimbingku sudah menyelesaikan prosesnya. Mata merah darah.
“Nanti, jika engkau ingin tahu sesuatu, bukalah data ini, kusimpan dalam bentuk tulisan. Silakan, nikmati hidup dengan sepantasnya” Ia melanjutkan. Mata merah darah.
 Pekerjaanku, kekasihku, masa laluku, tetap akan ada di masa lalu. Aku sekarang dengan leluasa bisa berpikir tanpa derau dari masa lalu itu. Banyak alasan, namun, mengenai masa lalu: Mata merah darah.
Aku harus lupa sepenuhnya. Sebelum terjadi sesuatu di masa depan. Harus. Secepatnya. Mata merah darah.
Semerah-merahnya. Sedarah-darahnya. Dilupakan dengan melupakan diri sendiri. Mata merah darah mengawasi.


Ar-Risalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar