“Aku
sudah tak tahan apabila kita harus hidup dalam kesusahan seperti ini terus
menerus” ucap istriku dengan ketus.
“Lantas apa yang harus kulakukan?
Sudah tak ada lagi orang-orang yangdatang kepada ku untuk mempergunakan jasaku
lagi”.
“Kau bisa membuat mereka kaya,
kenapa kau tidak mempergunakan kesaktianmu untuk membuat kita kaya juga”.
“Kau tahu itu membutuhkan beberapa
syarat….”.
“Akan kulakukan syarat apa saja asal
kita dapat kaya kembali. Jika kau tak mau, aku ingin kita berpisah saja!”.
Aku terdiam sejenak memikirkan semua
yang diucapkan oleh istriku. “Baiklah”. Aku berjalan melewati lorong gelap
tepat di bawah rumahku menuju sebuah gua yang kubangun sebagai istana tempat
aku bekerja melayani tamu-tamuku. Tamu yang ingin menggunakan jasaku. Untuk
sekedar mencari harta atau kecantikan dan pesona lainnya aku sanggupi. Tapi
kini sepertinya sudah tak ada lagi yang dating kepadaku, mereka telah
mendapatkan apayang mereka inginkan sehingga kini tinggalah aku yang kehilangan
mata pencaharian. Hingga kini aku hamper jatuh ke dalam lubang kemiskinan dan
istriku mengancamku untuk pergi meninggalkan aku.
Kurapikan segala sesajen yang
kuletakkan di atas sebuah meja kayu berwarna hitam, sebelum memulai upacara
pemanggilan. Kunyalakan kemenyan hingga asap dan wanginya menyebar mengelilingi
seluruh gua. Kurapalkan matera-mantera pemanggilan guna memanggil pesuruhku,
sesosok jin kecil berkepala botak, orang-orang banyak memanggilnya Tuyul.
“Ada apa tuanku memanggilku?” sahut
Tuyul yang tiba-tiba muncul dari kegelapan gua, lalu berjalan ke arahku.
“Aku membutuhkan bantuanmu”.
“Untuk siapa kali ini, pejabatkah,
tentarakah atau penduduk biasa?”.
“Kali ini aku memanggilmu untuk
diriku sendiri”.
“Oooh, baiklah. Tapi jangan lupa
syaratnya pun tak berbeda dengan yang lain. Yaitu sesuatu dari istrimu”.
“Baiklah”.
Tuyul kembali menghilang sembari
berkata, “Uangmu akan ada malam ini dan syaratnya aku pun inginkan malam ini
pula”. Aku tertunduk lesu memikirkan apa yang telah istriku inginkan padaku.
Sebuah kesalahan yangtelah aku lakukan, aku tidak memilih istri yang
mencintaiku apa adanya. Istriku menikah denganku gara-gara aku menggunakan
sebuah ajian padanya, hingga pada akhirnya aku menyesalinya. Hingga larut malam
aku tetap berdiam di dalam gua, sendirian. Sendiri dalam kebodohan pemikiranku
sendiri.
“Sesuai janjiku, aku datang
membawakan apa yang kau inginkan” Tuyul mengeluarkan berlembar-lembar uang dari
balik tangannya, “Dan sekarang aku inginkan janjimu”.
“Pergilah, dia sudah menunggumu di
atas” aku tertunduk lesu hingga seluruh tubuhku seakan mati rasa melihat Tuyul
berlari kecil menaiki tangga menuju ke atas, menuju istriku. Sebelum ia
menghilang, kulihat senyum licik mengembang di wajahnya.
Setelah begitu lama waktu yang
kurasakan, kuberanikan diriku berjalan ke atas melihat istriku. Kulihat pada
ruang tamu hingga ke dalam kamar kami, ia tak kutemukan. Lalu kuberjalan terus
mencarinya hingga aku melihat pintu rumahku terbuka lebar. Berjalan menuju
halaman rumahku.
Seluruh mulutku kelu seakan mati
rasa. Kutemukan tubuh istriku terkulai lemah di tanah, kudekap tubuhnya hingga
menggigil seluruh darahku. Di dahinya kutemukan dua buah jejak kaki kecil
membekas di sana. Ia tak bernafas lagi, ia mati.
Seluruh air mata membanjiri mata dan
pipiku, aku menjerit namun seluruh kekuatan suaraku tak keluar. Kubawa tubuh
istriku menuju kamarku, kubaringkan ia di tempat tidur kami. Kuambil sebilah
keris lalu kuhunuskan ke langit, akan kubunuh Tuyul. Akan kubawa kepalanya ke
hadapan istriku, dan semua orang. Aku mendendam hingga langit.
Kekalutan menjalari seluruh tubuhku.
Aku berlari mengelilingi perkampungan mencari jejak Tuyul sembari
mengacung-acungkan keris di tangan kananku. Aku tak letih terus mencarinya.
Hingga aku menemukan jejaknya, ya jejaknya kembali menuju rumahku. Jejak itu
kembali lenyap di dekat tubuh istriku, amarahku kembali memuncak hebat seakan
telah dipermainkan dengan adanya selembar kertas berisikan sebuah ajian.
Kurapalkan
beberapa ajian. Ajian pembuka gerbang, gerbang menuju dunia lain. Aku tahu dia
telah pergi menuju dunianya. Kini akan kukejar ke mana pun kau pergi. Sebuah
kilatan cahaya menyambar di pelupuk mataku, beberapa helaian angin lembut
membawa tubuhku pergi. Menghilang dari duniaku, dunia manusia.
Mereka
terlihat begitu aneh dan menyeramkan jika para manusia itu melihat mereka. Lari
dan ketakutan pun yang akan para manusia itu lakukan bila ada di sini. Aku juga
adalah seorang manusia, tapi aku yang akan membuat mereka lari ketakutan sebab
aku datang dengan dendam. Dendam seorang manusia terkutuk.
Kuberjalan
mendekati sesosok jin dengan sebuah bola mata terpasang di bawah mulutnya,
taringnya panjang dan hidungnya, ia tak memiliki hidung. “Di mana dia?”.
“Si
si siapa maksudmu?” ucapnya ketakutan, menggoyang-goyangkan kepala dan kedua
tangannya.
“Jangan
kau berpura-pura padaku. Di mana Tuyul itu?!”.
“Me
me mereka….”.
“Cepat!”.
“Mereka
ada di bukit hitam sana, dekat dengan istana raja Iblis”.
“Baiklah”.
Kugerakkan kaki dan tubuhku melewati kota ini, berjalan mendaki sebuah bukit
dan sampai pada sebuah pedesaan. Di sana semua penghuni desa adalah para tuyul.
“Di
mana dia?”.
“Siapa?”.
“Tuyul”.
“Apa
maksudmu? Kami semua bernama Tuyul. Tuyul yang manakah yang kau cari”.
“Heii
Tuyul aku tahu kau di sini, tak usah kau bersembunyi. Berani-beraninya kau
membunuh istriku. Keluarlah, akan kubunuh kau!” teriakku menggema seluruh
pedesaan.
“Apa
maksudmu dengan membunuh?” tanya tetua desa tuyul, “Kami tak memiliki kekuatan
sama sekali untuk membunuh, terutama di dunia kalian, para manusia”.
“Tidak
mungkin”.
Sejurus
kulihat Tuyul berlari dari kejauhan menuju kegelapan. “Itu dia!” aku berlari
mengejarnya.
“Siapa?!”.
Kuikuti
terus dia berlari menuju ke mana pun. Akakn kuburu kau hingga kau mati di
tanganku. Kami berkejaran terus menerus menerobos hutan gelap, sungai-sungai
kemerahan, dan jurang-jurang penuh belukar batu lancip. Hingga kulihat ia masuk
ke dalam sebuah pintu gerbang raksasa, hitam warnanya pintu itu. Aku pun
memasukinya.
Kulihat
ruangannya begitu besar, mungkin tempat raksasa kukira. Tapi di sana terdapat
sebuah singgasana yang berlapis marmer kehitaman dengan sedikit emas di setiap
sudutnya. Begitu sepi dan sunyi tempat itu. Tiba-tiba kulihat Tuyul meloncat
dari balik singgasana dan langsung duduk di atas singgasana.
“Kau!”.
“Kikikikik kulihat kau hebat juga
dapat mengejarku dan sampai di tempat ini”.
“Akan kubunuh kau!”.
“Bersabarlah, kikikikik”.
“Bedebah” tubuhku melompat dan
langsung menghujam tubuh Tuyl dengan keris yang kuacungkan, “Hah matilah kau”.
Dengan keris menancap di tubuhnya
Tuyul kurasa telah mati, tak ada yang dapat hidup jika telah kutusuk dengan
keris sakti ini. Keris sakti yang dapat membuat tujuh pegunungan bergetar
dengan sekali sabetan.
“Hahahahahaha, sekarang dendamku
telah terbalas!”.
“Apakah benar?” mata Tuyul terbuka
kembali dan langsung berubah wujudnya, dari yang kecil dan botak kini ia
menjelma sesosok bayangan hitam tinggi yang terbuat dari kabut kehitaman. Aku
terpelanting jauh ke belakang.
“Tidak mungkin!”.
“Kikikikik kau kira aku ini siapa?
Aku bukanlah tuyul seperti yang kau bayangkan”.
“Bangsat, kau telah menipuku. Iblis
keparat!”.
“Kikikikik manusia memanglah makhluk
naïf”.
“Sialan kau!” kembali kumelompat dan
mencoba menusukkan kerisku ke tubuhnya. Dengan sebuah kibasan dari tangannya
Iblis mampu melontarkan seluruh tubuhku menghantam tiang besar ruangan itu.
Darah keluar dari mulutku.
“Keris itu hanya sebagian kecil
kabutku, kau tak mungkin membunuhku dengan keris itu kikikikik”.
“Bangsat, aku tak mungkin tertipu
kembali olehmu” kembali serang Iblis, namun sekarang dengan sebuah serangan
yang berbeda. Kuayun-ayunkan kerisku mencoba untuk membunuh Iblis, dia hanya
membalas dengan sebuah serangan dan dengan sebuah serangan itu aku harus
kembali terpental jauh dan terluka lebih parah.
Akhirnya kuputuskan untuk
mengeluarkan seluruh kekuatanku yang tersisa, kurapalkan mantera terhebat yang
pernah kupelajari. Keris di tanganku berguncang begitu hebat, seluruh tempat
itu bergetar.
“Kikikikikik ayo lakukan”.
Dengan seluruh kesaktianku, kembali
kumelompat ke arah Iblis dan dengan kecepatan tinggi kutusukkan kerisku
menembus dadanya. Kami berdua jatuh, seluruh tempat ini berguncang dengan
hebat.
“Hahahahahaha lihatlah istriku, aku
telah membunuhnya. Sebagai tanda bukti bahwa aku telah membunuhnya akan
kupotong salah satu jarinya, akan kutunjukkan padamu dan kesemua orang bahwa
aku telah membunuh Iblis”.
Sesampainya di hadapan tubuh istriku
kucium dan kupeluk tubuhnya. “Kini dendammu telah kubalas. Beristirahatlah
dengan tenang”. Kuberjalan keluar pintu rumahku. Hari telah memasuki pagi yang
begitu cerah. Para tetanggaku telah memulai aktifitasnya kembali.
“Heiiii para tetanggaku lihatlah di
tanganku ini apa!! Ya ya benar ini adalah telunjuk sang Iblis, semalam aku
telah membunuhnya. Aku marah padanya karena istriku telah dibunuh olehnya” air
mataku keluar begitu deras.
Ketua RT dan beberapa orang anak
muda mencoba menahan kedua tanganku dan terus berbisik kepadaku untuk menyebut
nama Tuhan. “Apa-apaan kalian! Lepaskan aku! Jika tidak maka kakan kubunuh
kau!” jerit dan rontaku, “Aku telah membunuh Iblis kau tahu, lihatlah jarinya
telah kupotong hahahahahaha”.
“Pak RT, luka di tangannya cukup
parah, darahnya tak mau berhenti” ucap seorang anak muda kepada Ketua RT.
“Carilah perban dan tutup luka
potongnya dan bawa jarinya pula. Kita bawa dia ke rumah sakit dahulu sebelum ke
kantor polisi”.
Ridwan