Jumat, 30 November 2012

Siapa Menipu Siapa



“Aku sudah tak tahan apabila kita harus hidup dalam kesusahan seperti ini terus menerus” ucap istriku dengan ketus.  
            “Lantas apa yang harus kulakukan? Sudah tak ada lagi orang-orang yangdatang kepada ku untuk mempergunakan jasaku lagi”.
            “Kau bisa membuat mereka kaya, kenapa kau tidak mempergunakan kesaktianmu untuk membuat kita kaya juga”.
            “Kau tahu itu membutuhkan beberapa syarat….”.
            “Akan kulakukan syarat apa saja asal kita dapat kaya kembali. Jika kau tak mau, aku ingin kita berpisah saja!”.
            Aku terdiam sejenak memikirkan semua yang diucapkan oleh istriku. “Baiklah”. Aku berjalan melewati lorong gelap tepat di bawah rumahku menuju sebuah gua yang kubangun sebagai istana tempat aku bekerja melayani tamu-tamuku. Tamu yang ingin menggunakan jasaku. Untuk sekedar mencari harta atau kecantikan dan pesona lainnya aku sanggupi. Tapi kini sepertinya sudah tak ada lagi yang dating kepadaku, mereka telah mendapatkan apayang mereka inginkan sehingga kini tinggalah aku yang kehilangan mata pencaharian. Hingga kini aku hamper jatuh ke dalam lubang kemiskinan dan istriku mengancamku untuk pergi meninggalkan aku.
            Kurapikan segala sesajen yang kuletakkan di atas sebuah meja kayu berwarna hitam, sebelum memulai upacara pemanggilan. Kunyalakan kemenyan hingga asap dan wanginya menyebar mengelilingi seluruh gua. Kurapalkan matera-mantera pemanggilan guna memanggil pesuruhku, sesosok jin kecil berkepala botak, orang-orang banyak memanggilnya Tuyul.
            “Ada apa tuanku memanggilku?” sahut Tuyul yang tiba-tiba muncul dari kegelapan gua, lalu berjalan ke arahku.
            “Aku membutuhkan bantuanmu”.
            “Untuk siapa kali ini, pejabatkah, tentarakah atau penduduk biasa?”.
            “Kali ini aku memanggilmu untuk diriku sendiri”.
            “Oooh, baiklah. Tapi jangan lupa syaratnya pun tak berbeda dengan yang lain. Yaitu sesuatu dari istrimu”.
            “Baiklah”.
            Tuyul kembali menghilang sembari berkata, “Uangmu akan ada malam ini dan syaratnya aku pun inginkan malam ini pula”. Aku tertunduk lesu memikirkan apa yang telah istriku inginkan padaku. Sebuah kesalahan yangtelah aku lakukan, aku tidak memilih istri yang mencintaiku apa adanya. Istriku menikah denganku gara-gara aku menggunakan sebuah ajian padanya, hingga pada akhirnya aku menyesalinya. Hingga larut malam aku tetap berdiam di dalam gua, sendirian. Sendiri dalam kebodohan pemikiranku sendiri.
            “Sesuai janjiku, aku datang membawakan apa yang kau inginkan” Tuyul mengeluarkan berlembar-lembar uang dari balik tangannya, “Dan sekarang aku inginkan janjimu”.
            “Pergilah, dia sudah menunggumu di atas” aku tertunduk lesu hingga seluruh tubuhku seakan mati rasa melihat Tuyul berlari kecil menaiki tangga menuju ke atas, menuju istriku. Sebelum ia menghilang, kulihat senyum licik mengembang di wajahnya.
            Setelah begitu lama waktu yang kurasakan, kuberanikan diriku berjalan ke atas melihat istriku. Kulihat pada ruang tamu hingga ke dalam kamar kami, ia tak kutemukan. Lalu kuberjalan terus mencarinya hingga aku melihat pintu rumahku terbuka lebar. Berjalan menuju halaman rumahku.
            Seluruh mulutku kelu seakan mati rasa. Kutemukan tubuh istriku terkulai lemah di tanah, kudekap tubuhnya hingga menggigil seluruh darahku. Di dahinya kutemukan dua buah jejak kaki kecil membekas di sana. Ia tak bernafas lagi, ia mati.
            Seluruh air mata membanjiri mata dan pipiku, aku menjerit namun seluruh kekuatan suaraku tak keluar. Kubawa tubuh istriku menuju kamarku, kubaringkan ia di tempat tidur kami. Kuambil sebilah keris lalu kuhunuskan ke langit, akan kubunuh Tuyul. Akan kubawa kepalanya ke hadapan istriku, dan semua orang. Aku mendendam hingga langit.
            Kekalutan menjalari seluruh tubuhku. Aku berlari mengelilingi perkampungan mencari jejak Tuyul sembari mengacung-acungkan keris di tangan kananku. Aku tak letih terus mencarinya. Hingga aku menemukan jejaknya, ya jejaknya kembali menuju rumahku. Jejak itu kembali lenyap di dekat tubuh istriku, amarahku kembali memuncak hebat seakan telah dipermainkan dengan adanya selembar kertas berisikan sebuah ajian.
Kurapalkan beberapa ajian. Ajian pembuka gerbang, gerbang menuju dunia lain. Aku tahu dia telah pergi menuju dunianya. Kini akan kukejar ke mana pun kau pergi. Sebuah kilatan cahaya menyambar di pelupuk mataku, beberapa helaian angin lembut membawa tubuhku pergi. Menghilang dari duniaku, dunia manusia.
Mereka terlihat begitu aneh dan menyeramkan jika para manusia itu melihat mereka. Lari dan ketakutan pun yang akan para manusia itu lakukan bila ada di sini. Aku juga adalah seorang manusia, tapi aku yang akan membuat mereka lari ketakutan sebab aku datang dengan dendam. Dendam seorang manusia terkutuk.
Kuberjalan mendekati sesosok jin dengan sebuah bola mata terpasang di bawah mulutnya, taringnya panjang dan hidungnya, ia tak memiliki hidung. “Di mana dia?”.
“Si si siapa maksudmu?” ucapnya ketakutan, menggoyang-goyangkan kepala dan kedua tangannya.
“Jangan kau berpura-pura padaku. Di mana Tuyul itu?!”.
“Me me mereka….”.
“Cepat!”.
“Mereka ada di bukit hitam sana, dekat dengan istana raja Iblis”.
“Baiklah”. Kugerakkan kaki dan tubuhku melewati kota ini, berjalan mendaki sebuah bukit dan sampai pada sebuah pedesaan. Di sana semua penghuni desa adalah para tuyul.
“Di mana dia?”.
“Siapa?”.
“Tuyul”.
“Apa maksudmu? Kami semua bernama Tuyul. Tuyul yang manakah yang kau cari”.
“Heii Tuyul aku tahu kau di sini, tak usah kau bersembunyi. Berani-beraninya kau membunuh istriku. Keluarlah, akan kubunuh kau!” teriakku menggema seluruh pedesaan.
“Apa maksudmu dengan membunuh?” tanya tetua desa tuyul, “Kami tak memiliki kekuatan sama sekali untuk membunuh, terutama di dunia kalian, para manusia”.
“Tidak mungkin”.
Sejurus kulihat Tuyul berlari dari kejauhan menuju kegelapan. “Itu dia!” aku berlari mengejarnya.
“Siapa?!”.
Kuikuti terus dia berlari menuju ke mana pun. Akakn kuburu kau hingga kau mati di tanganku. Kami berkejaran terus menerus menerobos hutan gelap, sungai-sungai kemerahan, dan jurang-jurang penuh belukar batu lancip. Hingga kulihat ia masuk ke dalam sebuah pintu gerbang raksasa, hitam warnanya pintu itu. Aku pun memasukinya.
Kulihat ruangannya begitu besar, mungkin tempat raksasa kukira. Tapi di sana terdapat sebuah singgasana yang berlapis marmer kehitaman dengan sedikit emas di setiap sudutnya. Begitu sepi dan sunyi tempat itu. Tiba-tiba kulihat Tuyul meloncat dari balik singgasana dan langsung duduk di atas singgasana.
            “Kau!”.
            “Kikikikik kulihat kau hebat juga dapat mengejarku dan sampai di tempat ini”.
            “Akan kubunuh kau!”.
            “Bersabarlah, kikikikik”.
            “Bedebah” tubuhku melompat dan langsung menghujam tubuh Tuyl dengan keris yang kuacungkan, “Hah matilah kau”.
            Dengan keris menancap di tubuhnya Tuyul kurasa telah mati, tak ada yang dapat hidup jika telah kutusuk dengan keris sakti ini. Keris sakti yang dapat membuat tujuh pegunungan bergetar dengan sekali sabetan.
            “Hahahahahaha, sekarang dendamku telah terbalas!”.
            “Apakah benar?” mata Tuyul terbuka kembali dan langsung berubah wujudnya, dari yang kecil dan botak kini ia menjelma sesosok bayangan hitam tinggi yang terbuat dari kabut kehitaman. Aku terpelanting jauh ke belakang.
            “Tidak mungkin!”.
            “Kikikikik kau kira aku ini siapa? Aku bukanlah tuyul seperti yang kau bayangkan”.
            “Bangsat, kau telah menipuku. Iblis keparat!”.
            “Kikikikik manusia memanglah makhluk naïf”.
            “Sialan kau!” kembali kumelompat dan mencoba menusukkan kerisku ke tubuhnya. Dengan sebuah kibasan dari tangannya Iblis mampu melontarkan seluruh tubuhku menghantam tiang besar ruangan itu. Darah keluar dari mulutku.
            “Keris itu hanya sebagian kecil kabutku, kau tak mungkin membunuhku dengan keris itu kikikikik”.
            “Bangsat, aku tak mungkin tertipu kembali olehmu” kembali serang Iblis, namun sekarang dengan sebuah serangan yang berbeda. Kuayun-ayunkan kerisku mencoba untuk membunuh Iblis, dia hanya membalas dengan sebuah serangan dan dengan sebuah serangan itu aku harus kembali terpental jauh dan terluka lebih parah.
            Akhirnya kuputuskan untuk mengeluarkan seluruh kekuatanku yang tersisa, kurapalkan mantera terhebat yang pernah kupelajari. Keris di tanganku berguncang begitu hebat, seluruh tempat itu bergetar.
            “Kikikikikik ayo lakukan”.
            Dengan seluruh kesaktianku, kembali kumelompat ke arah Iblis dan dengan kecepatan tinggi kutusukkan kerisku menembus dadanya. Kami berdua jatuh, seluruh tempat ini berguncang dengan hebat.
            “Hahahahahaha lihatlah istriku, aku telah membunuhnya. Sebagai tanda bukti bahwa aku telah membunuhnya akan kupotong salah satu jarinya, akan kutunjukkan padamu dan kesemua orang bahwa aku telah membunuh Iblis”.
            Sesampainya di hadapan tubuh istriku kucium dan kupeluk tubuhnya. “Kini dendammu telah kubalas. Beristirahatlah dengan tenang”. Kuberjalan keluar pintu rumahku. Hari telah memasuki pagi yang begitu cerah. Para tetanggaku telah memulai aktifitasnya kembali.
            “Heiiii para tetanggaku lihatlah di tanganku ini apa!! Ya ya benar ini adalah telunjuk sang Iblis, semalam aku telah membunuhnya. Aku marah padanya karena istriku telah dibunuh olehnya” air mataku keluar begitu deras.
            Ketua RT dan beberapa orang anak muda mencoba menahan kedua tanganku dan terus berbisik kepadaku untuk menyebut nama Tuhan. “Apa-apaan kalian! Lepaskan aku! Jika tidak maka kakan kubunuh kau!” jerit dan rontaku, “Aku telah membunuh Iblis kau tahu, lihatlah jarinya telah kupotong hahahahahaha”.
            “Pak RT, luka di tangannya cukup parah, darahnya tak mau berhenti” ucap seorang anak muda kepada Ketua RT.
            “Carilah perban dan tutup luka potongnya dan bawa jarinya pula. Kita bawa dia ke rumah sakit dahulu sebelum ke kantor polisi”.



Ridwan
            

Sabtu, 10 November 2012

Cahaya Untuk Kubur Sang Penyair



Sebuah senja pada sebuah pekan terakhir dari jangka waktu pemberitaan yang seakan berlalu-lalang di berbagai media pemberitaan kini menjelang. Sebuah senja tentang penguburan dari seorang penyair terkenal yang mengguncangkan dunia dengan sajak-sajaknya yang indah, yang diberitakan pada seluruh dataran dan lautan Indonesia, tengah berlangsung. Sebuah acara penguburan yang dihadiri berbagai macam golongan, dari golongan rendah hingga golongan tinggi status sosialnya. Jasadnya telah rapi berbalut gaun kebesaran menghadap Tuhan, telah bermandikan wewangian dan berhembuskan nafas doa pada setiap kujur tubuh. Kini sang jasad telah siap untuk dikubur, dimasukkan ke dalam liang lahat, tanah merah basah terguyur sisa hujan tadi siang.
Isak tangis keluarga beserta derai air mata rakyat Indonesia mewarnai kepergiannya, kepergian sang penyair yang pergi tanpa pemberitahuan, yang bahkan pergi tanpa pewaris akan ilmunya yang seharusnya ilmunya terus mengalir untuk tanah Indonesia.
Prosesi penguburan telah selesai ketika hujan bintang menjembatani langit. Seluruh keluarga dan para kolega yang hadir kini tengah beringsut untuk pulang. Pulang pada kehidupannya masing-masing meninggalkan tanah kubur tempat bersemayamnya sang penyair yang penuh wewangian bunga-bunga sajak kematian.
Sebelum ketika sang malaikat datang menjemputnya, sang penyair telah tahu akan ajal yang menantinya dengan sebuah sajak ramalan kematian yang ia tuliskan. Sajak ramalan kematiannya. Sehingga ia dan seluruh keluarganya telah bersiap ketika sang malaikat pencabut nyawa mengayunkan sabitnya membelah jiwa dan raga sang penyair untuk dibawanya ke tangan Tuhan.
Kuburan itu terlihat seakan damai dikelilingi bebungaan dan taburan bintang berpemimpinkan bulan di atasnya. Doa-doa seakan menguap dari segala penjuru kuburan itu mengiringi perjalanan ruh sang penyair untuk sampai pada singgasana Tuhan. Tetapi sesuatu seakan terjadi, memutuskan rantai jembatan doa yang menghubungkannya ke jalan singgasana Tuhan.
“Gelap!!” sebuah pekikan keras menggemuruh seluruh kubur sang penyair, “malaikat, kenapa kau tidak memberitahuku bahwa tempat ini akan begitu gelap? Aku tak ingin meninggalkan tubuhku pada tempat gelap ini. Malaikat jawab aku!” ronta sang penyair menggerogoti tanah kubur.
Pertanyaan yang ia lontarkan untuk malaikat seakan tidak terdengar satupun jawab. “Jika kau tidak menjawab pertanyaanku, maka datanglah. Bawakan kuburku cahaya untuk tubuhku ini!” sebuah jawab sekan tidak terdengar kembali.
“Baiklah jika kau tidak ingin menjawab pertanyaanku dan tidak ingin membawakan tubuhku cahaya, maka akan kucari cahaya itu dengan tanganku sendiri!. Akan kubawa matahari ke kuburku!”.
Tubuh sang penyair meronta-ronta dalam gelap tanah, tanganya mengkais-kais merahnya tanah hingga lecet. Hingga gores. Hingga luka. Hingga darah. Hingga nanah. Hingga akhirnya tubuhnya tegak keluar dari kuburnya menantang langit.
“Apa ini?. Makhluk-makhluk hina, berani betul kau menggerogoti tubuhku!” sebuah kemarahan terlontar kembali dari mulut sang penyair ketika melihat beribu cacing mengigit grogot seluruh daging tubuhnya. Dihentak-hentakkan tubuhnya sehingga beribu cacing itu terjatuh dan terkapar menggeliat di atas tanah. “Rasakan itu!”.
Namun, tanpa disadari tubuhnya tiba-tiba saja menghujam tanah. “Apa ini? Kenapa tubuhku tak bisa bergerak?”. Kekagetan menjalari seluruh permukaan tubuh dan mental sang penyair. “Sialan!”.
Melihat tubuh sang penyair tergolek tak bergerak, ribuan cacing yang telah dihempaskan oleh sang penyair kembali berjalan memasuki setiap pori tubuh sang penyair, kembali menggerogoti tubuhnya. “Pergi kau makhluk hina! Jangan kau kembali menghancurkan tubuhku!”. Tanpa disadarinya ketika cacing-cacing itu memasuki setiap pori tubuhnya, tubuh sang penyair dengan seketika dapat kembali bergerak berguling-guling ke sana kemari.
“Apa ini?! Kenapa tanpa bantuan cacing-cacing ini tubuhku tak dapat bergerak? Kurang ajar!” geramnya menraung dunia. “Jika aku tetap membiarkan cacing-cacing ini tetap di tubuhku maka tubuhku niscaya akan hancur, dan aku tak akan dapat membawa matahari ke kuburku” sebuah perasaan kalut mengerubungi pikirannya, “aku harus cepat sebelum tubuhku hancur”.
Sang penyair berjalan meninggalkan tanah pekuburan di mana merupakan tempat ia disemayamkan. Dilihatnya langit bertabur bintang menghiasi seluruh jagat alam semesta raya. Di manakah matahari? Pikirannya melayang tentang keberadaan matahari. Dengan apa dia kan sampai pada matahari? Kembali waktu semakin ia tipiskan dengan berbagai macam pikiran.
“Aku adalah penyair. Aku adalah Tuhan dari kata. Dengan kata aku dapat menjadi Tuhan. Dengan kata aku dapat menciptakan dan menjadikan sesuatu. Dengan kata aku akan membuat sebuah jembatan, jembatan menuju matahari. Dengan jembatan kata itu aku kan membawa matahari” diciptakannya sebuah jembatan menuju matahari dengan beribu kata. Tidak, berjuta kata. Ahh tidak, bermiliar-miliar kata akan ia gunakan untuk sampai pada matahari. Jembatan dari bermiliar-miliar kata itu seakan begitu indah dan agung bagi yang melihatnya, keindahan dan keagungannya seakan hampir menyamai keindahan dan keagungan Nirwana. Tak ada yang dapat melukiskannya. Kecuali Tuhan.
Dia berjalan meniti tiap titian jembatan yang ia buat dengan bermiliar-miliar kata dengan sangat cepat, untuk memburu waktu. Dia tidak akan mati tercekik karena kehabisan oksigen bila ia telah mencapai angkasa luar sana karena ia adalah mayat. Mayat yang tidak memerlukan oksigen untuk hidup. Mayat yang kembali hidup karena sebuah keinginan yang ingin ia capai, sebuah keinginan yang tidak mayat lainnya inginkan karena ia adalah mayat seorang penyair. Penyair yang agung.
Telah sampailah ia pada matahari yang bara cahayanya menjilat-jilat hingga seluruh ruang hampa udara angkasa raya yang begitu luas. Bara apinya terpancar ke segala penjuru kehidupan, memanaskan setiap pori-pori tubuh sang penyair yang telah menjasad.
“Aku kan membawamu ke kuburku yang gelap dan sunyi dingin wahai matahari yang memancarkan berjuta cahaya kehidupan” dengan berjuta kata dibuatnya sebuah rantai yang ia ikatkan pada seluruh permukaan matahari. Tak akan putus rantai itu karena rantai itu terbuat dari kata, kata yang tidak kan terkelupas karena bara api cahaya yang melumerkan dan menghanguskan.
Sebelum ia tarik matahari itu keluar dari kursi jabatannya, ia melihat pada bumi. Alangkah kecilnya bumi ini bila dibandingkan matahari yang ukurannya begitu besar. “Aku akan membunuh bumi bila matahari ini sampai pada bumi. Akan hancur kubur persemayamanku” seakan niatnya menciut untuk membawa matahari. Sirna menjadi debu. “Jika tidak matahari, maka bulan akan kubawa”. Ukuran bulan memang tidaklah lebih besar dari matahari begitu pula tidak lebih besar dari bumi, maka tepat.
Ia kembali menggelar jembatan menuju peraduan bulan yang bersemai indah pada orbitnya. Perjalanan menuju bulan memang tidaklah mudah bila dibandingkan menuju matahari, begitu banyak batu ruang angkasa yang terbang melintas pada jalan menuju jalan bulan. Jika pada perjalanan menuju matahari memang lebih banyak batu angkasa yang beterbangan, namun begitu ia terbang melintas dekat dengan matahari maka ia akan lebur mendebu akibat sengatan dan pancaran lidah api yang menyentuh permukaan kulitnya.
Rintangan berat kini telah ia lalui dengan cukup mudah karena, ketika batu angkasa yang terbang menuju ke arah hamparan jembatan yang ia ciptakan, ia gunakan gada, pedang dan berbagai macam senjata lainnya dari kata-kata untuk menghancurkan batu angkasa itu dengan mudah. Hingga telah sampailah ia pada bulan itu berada.
Sebuah nyeri ia rasakan pada tubuhnya. Astaga! daging tubuhnya kini mulai lepas sedikit demi sedikit akibat cacing yang terpaksa ia biarkan hidup di tubuhnya hanya untuk sekedar dapat menggerakkan tubuhnya. Ia terus terburu akan waktu, yang seakan ia dapat rasakan bahwa apa yang ia lakukan seakan tidak berguna karena ia kembali menemukkan hal yang mustahil. Bulan tidaklah menciptakan cahaya ia hanya memantulkan cahaya yang dipancarkan oleh matahari kepadanya. Bulan tidak akan memberikkan sinar untuk kuburnya. Lalu apa? Apa lagi yang harus ia bawa untuk menyinari kuburnya? Listrikkah? Lampukah? Senterkah? Kunang-kunangkah? Manusiakah? Bidadarikah? Ya bidadari,  ia mulai berpikir bahwa bidadarilah yang dapat memancarkan sinar cahaya. Tidak ada lagi yang lain selain bidadari, selama ini ia selalu menggambarkan bidadari pada sajak-sajak ciptaannya merupakan makhluk yang bercahaya sepanjang waktu tak kunjung padam. Tapi di manakah dia? Siapakah dia?
Sang penyair kembali hanyut dalam pikirannya, merenung. Merenung dalam keindahan bulan yang selalu ia lukisan tentang keindahan cintanya terhadap sang istri, bagaimana ia selalu memberikkan tawa kepada bintang-bintang yang berdendang dalam gelapnya langit dalam sunyinya angkasa. Memberikkan mereka alas an untuk tetap mempertahankan sinarnya menerangi beribu galaksi alam semesta raya. “Tunggu dulu, istri? Ya istriku, istriku adalah bidadari yang aku cari. Aku harus membawa dia” pikirnya dalam kekalutan waktu.
Dibentangkannya kembali jembatan yang tadi ia gunakkan untuk membawa dirinya menuju matahari dan menuju bulan untuk sekarang membawanya menuju kembali ke bumi, meuju rumahnya. Dimana tempat sang bidadari berada. Tempat istrinya.
Dilihat dari balik jendela rumahnya, sang istri tengah tertidur lelap memimpikan tentang kehidupan yang akan ia lalui tanpa kehadiran sang suami yang dahulu senantiasa menghadapi problema masalah kehidupan bersama, kini telah tiada. Meski semua kecukupan yang ia perlukan dan yang anak-anak mereka perlukan tidak lagi harus dipikirkan lagi hingga akhir ia datang, bergandeng tangan menjemput hari akhir bersama sang suami yang telah mendahuluinya menhadap kuasa tangan Tuhan.
Sang penyair membuka pintu rumahnya, yang ia tahu bahwa sang istri tidak mungkin menguncinya karena ia tahu bahwa sang istri masih belum merelakan ia pergi lebih dahulu. Masih mengharapkan untuk sang suami kembali pulang padanya. Dilewatinya ruang tamu dan ruang keluarga yang penuh kenangan kehidupan bersama keluarganya, hingga pada air mata yang sekarang menetes hingga pintu kamar ia dan istrinya. Didekati tubuh istrinya yang lelap dalam tidur.
“Kau masih cantik, Elsa. Seperti dahulu kita bertemu” tangannya ia dekatkan dengan wajah sang istri yang ia cintai. “Aku baru beberapa hari amataku telah tertutup meninggalkan dirimu, tetapi kau telah merindukkan aku dengan sinar wajahmu, Elsa” diusapnya kening sang istri. “kau memang bidadariku”.
Tiba-tiba saja sang istri berteriak membuka matanya. Ia ketakutan melihat bahwa sang suaminya kini telah berdiri di hadapannya, mengusap keningnya.  Sebuah ketakutan ang amat sangat.
“Tenanglah istriku, ini aku suamimu” ucap sang penyair.
“Kau… kau apa yang kau lakukan di sini?” sebuah ketakutan memancar deras pada diri sang istri.
“Aaaa.. aku hanya ingin melihatmu”.
“Kau pasti Iblis! Kau pasti Iblis! Pergilah! Pergi!”.
“Tenang, tenanglah ini aku suamimu. Seorang penyair hebat”.
“Tidak! Tidak mungkin kau suamiku! Suamiku telah mati!”.
“Aku memang telah mati, tapi aku hidup kembali untuk bertemu denganmu, Elsa”.
Sang istri terus menjerit ketakutan melihat suaminya tengah bangkit dari kuburnya dan kini ia telah berdiri di hadapannya dengan keadaan yang begitu buruk. Daging-daging tubuhnya kini telah menghilang, menampakkan putihnya tulang-tulang tubuh khas seorang manusia. Dengan terpaksa sang penyair berlari pergi, takut akan kehadiran anak-anaknya yang hanya akan memperkeruh keadaan. Dilihat dari kejauhan anak-anaknya memeluk mencoba menenangkan kekalutan sang ibu.
“Aku tidak mungkin membawanya pula, aku lupa akan anank-anakku yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua. lagipula ia pun pasti akan mati sama seperti halnya diriku” sebuah keputus asaan melanda jiwa sang penyair yang kini seakan tidak memiliki tekad kembali.
Dilihatnya ke tanah sebuah Koran yang memberitakan tentang dirinya terserak terhampar. Diambil dan dibacanya koran tersebut. “Indonesia kini tengah berduka atas dua hal. Yang pertama adalah berita tentang kematian seorang penyair hebat Indonesia dan yang kedua adalah kematian dari penyair tersebut yang tidak meninggalkan ilmunya kepada para pewaris generasi baru Indonesia…..”.
“Sekarang aku tahu bahwa kenapa kuburku begitu gelap” sang penyair kembali berjalan menuju kuburnya dengan sebuah perasaan yang sedih, “Aku telah menerima kegelapan kuburku”.
Di berjalan kembali masuk ke dalam lubang kuburnya dan membaringkan tubuhnya kembali di atas tanah yang merah, menutup rapat lubang kuburnya rapat-rapat. Memejamkan mata.

Beribu kata kuukir dalam sebuah jembatan
Antara bumi, matahari, dan bulan
Entah kapan waktu seakan mencampakkan
Namun bidadari tetap telah pergi
Aku kini lelap dan tunggu



Ridwan


Ieshua Hamasyiâkh


Di Golgota, di Golgota, langit semakin memancarkan mendung biru tua, yang semakin menggelayut di udara. Perarakan telah sampai, Simon yang malang memancangkan salib-Nya diatas bukit. Ikatan kepala menandai siksa, Inilah Dia Raja Orang Yahudi, menegaskan alasan penyaliban. Dua penyamun, yang juga disalib, tepat di kanan dan di kiri tiang salib-Nya hampir mati namun dengan sendu mengawasi.
“Hai, Engkau yang ingin meruntuhkan Bait Suci, dan membangunnya kembali dalam tiga hari! Selamatkan diri-Mu jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” Beberapa yang hadir disana menggelengkan kepala.
Rambut-Nya basah dengan darah. Dahi-Nya tersaput mahkota duri, dan diliputi noktah hitam. Darah campur debu. Tak ada yang memahami dengan jernih pengorbanan ruh dan daging yang menyatu menjadi firman itu.
“Orang lain diselamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan? Ia Raja Israel? Jika Ia turun dari salib itu, kami akan percaya kepada-Nya!” Ludah muncrat dari mulut Hakim, celaan yang panjang menyeruak. Jam duabelas, tepat ketika pendulumnya berdentum.
Kegelapan penyaliban tiba. Matahari lama terpejam tidak pada waktunya. Tanah hitam, dedaunan juga hitam. Mata hati kasih sayang manusia turut menghitam.  Tiga jam lamanya, kehitaman dan kegelapan meliputi tanah, semak, dan setiap jiwa manusia. Golgota kehilangan cahaya. Tepi-tepi langit tak terlihat, gagak juga kehilangan arah dan hinggap sekenanya.
Tangannya yang kering terhunjam bersama paku besar.  Kakinya terikat dengan erat, lagi-lagi bersaput darah. Rusuk-rusuk kedagingan-Nya menyembul terbungkus kulit, dan wajah teguhnya semakin menyerukan kegetiran. Rasa sakit semakin erat bersama dosa-dosa manusia yang ditanggungnya. Iesyhua Hamasyhiakh.
Ia membabtis segenap manusia dengan kematian Daging-Nya, dan juga akan dimakamkan bersama-sama dengan-Nya oleh baptisan dalam kematian. Manusia menjadi satu dalam kematian-Nya, dan dengan segera menjadi satu dengan kebangkitan-Nya. Daging-daging dosa manusia sirna, hilang seutuhnya, lunglai kuasanya,berganti tubuh kuasa yang baru.
Runduk-Nya berganti tengadah, Dia melihat awan hitam berarak dan beberapa gagak menyeruak. Bau bangkai penyaliban meruah. Dengan sisa-sisa daya, Dia hendak menyeru Yang Sangat Dicintai-Nya. Dia rindu Ayahnya, rindu serindu-rindunya.
Elia, Elia! Lama sabakhtani?” Ia menyeru-Nya untuk kembali. Ruh-Nya meregang. Getar suaranya memenuhi perladangan Golgota. Menggema.
 Tangan-tangan surgawi tersingkap, sebuah tangga emas mempesona udara. Dia mendaki, membuka kembali pintu rumah-Nya di surga, pintu rumah Ayah-Nya. Daging telah melambaikan tangan kepada sukma. Firman-Nya kembali menjadi sebentuk tubuh mati. Penebusan abadi telah terlaksana. Kini, dosa-dosa segenap anak manusia tertebus dengan sempurna.
Tubuh beku-Nya diturunkan dari salib, lalu dengan pilu terbungkus linen yang putih tua. Liang pemakaman telah digali, pada sebuah bukit batu yang keras. Perlahan, Yusuf Arimatea, salah seorang murid-Nya, membaringkan ayat-ayat-Nya. Debu-debu beterbangan, memberikan penghormatan. Daging tanpa sukma. Sebelumnya, tentara yang berjaga menikam lambung-Nya dengan tombak, memastikan kematian. Mengucur darah dan air, menjadi satu warna merah.
Pilatus memerintahkan tentara-tentara datang menjaga makam-Nya yang bertanda batu besar, menantikan kebangkitan. Mereka takut, kebangkitan akan menyesatkan lebih banyak penduduk. Mereka telah tahu sebelumnya, Sang Ieshua Hamasyhiakh mewartakan kebangkitan-Nya setelah tiga hari penyaliban.
Fajar Ahad. Setelah hari Sabat, membangkitkan matahari dengan rona yang tidak biasa. Kedua Maria, mengenakan gaun peziarah, dengan sisa-sisa ketegaran mengunjungi pembaringan. Mendadak, tersingkaplah sebagian langit dalam penglihatan mereka. Tanah terguncang dan tergetar, mereka mencari perlindungan.
Tanah terus bergetar, sangat hebat, kedua Maria terperangah. Malaikat agung, dengan kebesarannya menuruni singgasana angkasa, membuat penjaga kubur ketakutan, dan mematung sewarna batu tua. Keagungan dan caranya turun membuat tanah tergetar dengan keras
“Jangan takut, Maria. Aku tahu, engkau mencari Dia, yang disalibkan itu. Ia tak ada lagi disini, ia telah bangkit,” Getar suaranya tidak seperti manusia. Agung, namun lembut seperti cahaya. Getaran tanah berhenti, namun langit masih seperti terbelah. Terkesima atas cahaya sang Malaikat.
“Mari, lihatlah ketempat Dia berbaring,” Lanjutnya dengan arif. Ia memerintahkan keduanya untuk mengabarkan yang lain, bahwa Dia telah bangkit, dan di Galilea, di Galilea, mereka akan berjumpa dengan kekasih manusia itu.
Dia menjumpai mereka sebelum di Galilea. Wajahnya agung, kehilangan nista. Darah-Nya bersih, sepenuhnya terbasuh. “Salam bagimu,”  Dengan kerinduan yang besar.
Rabuni...!” Maria memeluknya, airmatanya berdentangan. Wangi. Detak jantung Maria terasa oleh-Nya.
 Percakapan-percakapan selanjutnya berlangsung, seperti penggembala yang rindu ladangnya. Percakapan yang mampu menghentikan dentangan airmata Maria, tepat pada refrain tertingginya.  
“Jangan takut, pergilah dan katakan pada saudara-saudara-Ku, agar mereka ke Galilea, dan melihat Aku,” Kasihnya tergetar menjadi suara. Lembut dan agung, seperti firman itu sendiri. Maria begitu gembira, ia menyaksikan Tuhan bangkit dengan matanya sendiri. Sang Ieshua ingin menitahkan sesuatu pada muridnya di sana.
Di Galilea, kesebelas murid yang tersisa berkumpul dalam sebuah perjamuan. Wajah mereka sayu, menantikan kedatangan Guru dan Tuhan yang mereka kasihi.
“Damai sejahtera bagimu,” sapa-Nya. Tenang seperti danau.
Lambung dan tangannya disingkapkan, sebagai tanda. Luka-lukanya suci dan mengering. “Damai sejahtera bagimu, sama seperti Ayah mengutus Aku, kini saatnya Aku mengutus Kamu,”
“Terimalah Roh Kudus,” Ia menghembus murid-muridnya dengan lembut.  “Jika engkau mengampuni dosa seseorang, dosanya akan diampuni. Tetapi jika kamu menyatakan dosa, dosanya akan tetap ada,” Semuanya memejamkan mata, terasa energi putih mengaliri darah.
Di Galilea, di Galilea, Ia berfirman terakhir kalinya. Di Galilea, di Galilea, “Pergilah keseluruh dunia, beritakanlah injil kepada seluruh makhluk,” Rambut ikal-Nya berkibaran tersapa angin yang ringan. Busana putih tua-Nya menghablur bersama cahaya, menari-nari dalam sapaan angin pula.
“Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum,” Masih terbayang dimatanya, bagaimana penyaliban tiba untuk membaptis segenap manusia, upacara agung surgawi yang membebaskan manusia dari dosa-dosa masa lampaunya.
“Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya,” Ia berhenti sejenak. Menatap segenap wajah murid-muridnya. Tak ada yang kuasa menunduk, semua membalas tatapnya dengan cinta.
“Mereka akan mengusir setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka,” Angin terhenti.
“Mereka akan memegang ular, dan sekalipun minum racun maut, mereka tidak akan mendapatkan celaka; mereka akan meletakkan tangannya diatas orang sakit, dan orang itu akan sembuh.”  Untuk terakhir kalinya, suaranya tergetar. Firman-Nya telah diakhiri.
Perlahan-lahan ia mendaki menara cahaya langit bersama malaikat, dan menembus surga yang Maha Tinggi. Ia mengambil pusara di sisi Elia, di sisi kanan-Nya.
****
Kenangan-kenangannya mengangkasa, ini saat-saat terakhirnya. Ia menatap kesebelas muridnya yang tersisa. Getir. Wajahnya diliputi cahaya suci dan tak urung juga muram. Ia menuju pembaringan, Tuhan telah genap memastikan janji-Nya. Jubah putihnya semakin terlihat tua. Kini ia bersembunyi dari kejaran tentara Romawi.
Wahai Isa, sesungguhnya Aku akan menyelesaikan tugasmu...” Hatinya tergetar. Ia belum mendapatkan murid seperti harapannya. Hanya sebelas orang saja.  Hari itu telah tiba. Maryam, ibunya, hanya bisa berdoa dan terus mendekatkan diri pada Allah.
Israel teramat ingkar, entah dari batu seperti apa kepalanya diciptakan. Sang Rasul gelisah. Tugasnya teramat berat. Berbagai mukjizat telah turun. Dengan tangannya yang agung, dan sukmanya yang terhubung langsung dengan Yang Maha Hidup, rupaan tanah liat merpati menjadi hidup. Berkepak jauh.
 “Sungguh, aku datang kepadamu dengan membawa mukjizat dari Tuhanmu, aku membuatkanmu sebentuk burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi burung (Yang hidup) dengan seizin Allah.Masih terbayang tangannya yang lembut merupa burung dari tanah liat. 
Sukmanya terpusat langsung kepada kehidupan. Berkepak jauh, burung itu menjadi mukjizat yang indah. Mukjizat yang melambangkan kasih sayang yang beterbangan bersama manusia. Merpati putih, yang kini dijadikan lambang persaudaraan dan perdamaian manusia.
“Dan aku menyembuhkan seorang yang buta sejak lahir, dan orang yang berpenyakit sopak. Dan aku juga menghidupkan orang mati dengan seizin Allah;” Seorang buta, yang meminta padanya, juga akhirnya dapat menyelami warna-warna dunia dengan seksama, namun belum juga membuka hati mereka.
 “Dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sungguh! Yang demikian itu adalah suatu tanda bagimu, jika kamu sungguh beriman!” Kata-kata mulia tersabdakan dengan indah. Keteguhan tersirat dari susunan kalimatnya. Namun tak juga menjemba hati manusia.
“Aku datang membenarkan Taurat yang datang sebelum aku,” Setengah tengadah ia bersabda. Keringatnya berdentingan seperti permata. Jubahnya hampir basah.
Kini matanya terpejam semakin dalam. Pejamnya adalah pejam para nabi. Matanya tertutup, tetapi hatinya tetap cemerlang, terbuka mengawasi peredaran dunia. Lebih cemerlang dari matanya sendiri.
Dan mengangkat kamu kepada-Ku...” Ia selalu rindu kepada Allah, rindu kepada yang menciptakannya. Rambutnya yang basah telah menyentuh sangga kepala. Firman Allah yang nuzul sebagai nubuat akhir kerasulannya teramat menggambarkan akhir yang sulit, yang akan menggetarkan hati manusia. Ia akan mendaki menuju Allah. Tugasnya yang pertama telah genap.
“Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu,” Angin bertiup dari surga, menawarkan keringatnya, namun ladang penggembalaan ini lebih panas karena hati manusia. Semakin banyak yang menentangnya.
“Karena itu, sembahlah Dia! Inilah jalan yang lurus!” Jalan kerasulannya teramat sulit. Kekuasaan menghidupkan, yang bahkan jarang dimiliki para rasul yang lain, tak juga menjadi air yang menetes perlahan dan menembus rongga batuan. Ia hanya meminta manusia menyembah Allah dengan cara yang benar dan indah.
Ia gelisah. Sendirian. Meski Allah dan segenap rahim-Nya selalu menyertai, tetapi seorang rasul hanya dapat disunggingkan hatinya dengan murid-murid yang setia.
“Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku, untuk Allah?” Suaranya kembali tergetar bersama angin, namun kali ini tersampaikan kepada keduabelas hawari yang setia.
“Kami!” Jawab mereka tanpa ragu. “Kamilah penolong-penolong agama Allah!”
 “Serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir...” Pagi hari yang sejuk, pagi hari terakhir ia menyentuh wajah murid-muridnya dengan pandangan penuh kasih sayang dan rindu. Embun belum lama hilang. Kelak Allahnya yang terkasih akan membersihkan dirinya dari fitnah.
Barisan pepohonan mulai sayu, mengiringi berakhirnya masa kerasulan seorang yang mulia. Malaikat telah menjembanya. Siap mengantarnya menuju Yang Terkasih di Ar-Rafiq. Ia rindu, ingin bertemu Tuhannya.
“Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu...” Ia seorang hamba yang tak akan menyangsikan saat-saat kembali pada Tuhan. Ia tak akan sedikitpun mundur. Ia telah terbaring sempurna, dan memasuki alam tidur para nabi. Alam tidur fisik yang membiarkan hatinya tetap terbuka dan terhubung dengan Tuhan.
Hatinya telah bulat, ini bukan saat ketika kemanusiawiannya menghalangi kehendak Tuhan. Ia adalah rasul, pembawa risalah agung Injil. Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Yang Maha Penyayang, dan bersiap menemui-Nya, beserta raga dan sukma. Dunia ini hanya akan seperti mimpi, dan kehidupan di dunia ini, hanyalah main-main dan seperti mimpi.
Kegetiran Sang Rasul memuncak, manakala Allah, Kekasihnya, menubuatkan akan ada perselisihan setelah kemoksaannya. Setelah ia naik ke sisi Kekasihnya itu. Manusia akan berselisih dengan keras.
Kelak, meskipun ia yang turun untuk membersihkan perselisihan itu, adalah luka yang luar biasa bagi seorang Rasul menyaksikan umatnya saling tikam. Luka yang teramat dalam, seperti ayah yang menyaksikan putera-puteranya saling membunuh.
Akhirnya, Allah, dengan perantara malaikat, mengangkatnya kelangit, dan menuju sisi-Nya dengan agung. Ruh dan raga, secara serentak. Kesebelas hawarinya berlinangan air mata, yang berdenting selayaknya dawai-dawai yang digetarkan nada-nada perpisahan.  
Dedaunan hening meski bergerak karena angin. Cahaya yang masuk lewat jendela berusaha meredam tangis para hawari, namun Sang Rasul memang amat dicintai. Seorang muridnya yang lain, tengah berjuang menghadapi penyaliban.
Ya, Lapangan Golgota. Menghadapi tuduhan sebagai Rasul penyesat. Tetapi ia bahagia, wajahnya kini serupa dengan wajah orang yang dicintainya. Rambutnya selalu basah, dan harum dengan kesturi surga. Fisiknya diserupakan dengan fisik Sang Rasul. Dari wajahnya cahaya kenabian Sang Rasul menyeruak pula, semakin menyenangkan hatinya. Ia paham, sepaham-pahamnya, hari itu ia akan mati. Tetapi ia mati demi orang yang dicintainya. Mahkota duri-duri tajam, tidaklah setajam duri perjalanannya menegakkan Injil.
Paku telah menembus kedua tangannya, lalu rasa sakit menghunjam hingga kedasar hati. Darah menjadi hujan deras. Tali semakin erat menjerat, tetapi rasa sakit semakin membuatnya cinta kepada Rasul dan Allah. Kematian yang ia tuju, adalah kematian yang indah. Cambuk dan gada berulang-ulang memisahkan kulit dengan dagingnya. Menarik-narik ruhnya dari tubuh yang hancur disiksa.
Ia tetap akan ingat, bagaimana Sang Rasul meminta seseorang menggantikan raganya, agar kesebelas murid yang lain selamat. Sang Rasul berjanji, ia akan datang kembali menjelang akhir dunia, dan berkumpul bersama mereka dalam surga yang diliputi cahaya. Janji seorang rasul adalah seperti ayat-ayat wahyu itu sendiri.
Cahaya mengiringi perjalanannya diatas kayu salib, seperti pagi. Rambutnya terliputi darah yang mengering. Luka-lukanya begitu dalam. Wajahnya sudah mengeras dan menyunggingkan senyuman seorang martir kenabian. Matahari baru saja terbit, sinarnya sedikit meredup, tersamar dengan berakhirnya tugas kehidupan dua anak manusia yang mulia. Merah jingga yang maha agung.
Di saat yang sama, Sang Rasul, bangun dari mimpi duniawi menuju kenyataan ukhrawi. Menuju cinta sejatinya. Dunia ini adalah alam mimpi, dan kematian hanyalah seperti air yang digunakan untuk membangunkan seseorang dari lelapnya. Meski, itu berarti meninggalkan umat yang dicintainya, beserta kesebelas hawari, dalam perselisihan yang abadi.
Sang Rasul mengalami mimpi yang berat dan panjang, dan kelak akan bermimpi kembali pada tidur duniawinya menjelang kiamat. Menjadi Messiah. Nuzulnya untuk kedua kali akan menjelaskan misteri yang turut tersalib selama ribuan tahun setelahnya.
“...Lalu Aku memutuskan hal-hal yang kamu selalu berselisih darinya.



Ar-Risalah

Tinggal Dibaca. Jangan diingat. Mata merah darah.



Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
“Engkau yakin, akan melanjutkan tahap ini?” suaranya sedikit bergetar, seperti mengingat-ingat sesuatu. Jubah putihnya berbau obat keras, sangat menusuk. Mata merah darah.
“Engkau mungkin hanya akan kehilangan beberapa jam, atau berbulan-bulan.” Mata merah darah.
“Aku yakin, tidak sakit kan?” Jawabku. Aku memang bosan dengan rasa sakit, meski sedikit kebal. Mata merah darah.
“Ceritakanlah semuanya,” Mata merah darah.
“Jangan berhenti sebelum aku perintahkan” Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
            Aku agak termenung, ingatan-ingatan tentang masa lalu memang terkadang sulit diceritakan. Aku seorang biasa, keuanganku biasa saja. Cukup sehari-hari dan kadang makan bersama rekan-rekan terdekat. Mata merah darah.
Aku mahasiswa, dan pekerjaanku adalah meneliti segala hal tentang kebudayaan. Aku pernah meneliti masyarakat urban kota satelit jakarta, dan menemui berbagai masalah dari orang-orang tua dan terpinggir. Mata merah darah.
            Tetapi, mungkin karena dualisme tugas itu, aku kelelahan. Tubuhku memang sangat lemah. Aku sedang menjalani terapi, tidak boleh tidak minum sejam pun. Kulitku akan mengering, bibirku akan pecah. Aku memiliki kemampuan meranggas. Mataku sudah jauh menurun, terlalu  peka. Aku tak mampu lagi melihat dalam cahaya terang. Berat badanku bahkan tinggal dua pertiganya. Mata merah darah.
            “Lanjutkan, masih banyak tentu,” Ia terus memaksa aku bercerita. Mata merah darah.
            Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
            Caraku mengajar sepertinya memang terbilang keras. Bahkan, untuk kesatuan khusus Pramuka, kesatuan militer mata elang. Pasukan yang khusus hanya diturunkan pada missi serius dan berbahaya. Mencari informasi. Detasemen mata-mata kepramukaan tingkat penegak, yang memiliki kemampuan bertahan tanpa istirahat selama dua hari berturut-turut. Mata merah darah.
            Batu dan kayu menjadi alat latih mereka. Udara panas ditengah hujan, hujan ditengah matahari terik, bahkan bekerja tengah malam, semuanya aku ajarkan.  Menyusup ketengah kerusuhan, menjadi pemimpin sebuah organisasi yang kita susupi dengan cepat, bahkan menjadi sutradara sebuah peristiwa, rekayasa sosial, dengan sempurna tanpa diketahui para pemain. Mata merah darah.
Prestasi sudah banyak diraih, dari kota hingga nasional. Mata elang sebelum kepelatihanku berada dalam kondisi hampir bubar. Dengan kerjasama yang baik, semuanya berhasil disatukan, dan organisasi ini menjadi pemuka dimana-mana. Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
            Hingga pada suatu ketika, seorang pemain lepas dari kontrol sutradara. Pemain kelas kakap.  Ia menggugat aku, ia menyatakan ketidaksukaannya,  namun tidak didepan latar panggung. Ia bergerak di balik layar, dengan mengumpulkan para pemain lain untuk menggulingkan aku, si sutradara. Mata merah darah.
            Ditengah kekisruhan, aku berhenti. Aku memutuskan menyelamatkan organisasi yang aku bangun dengan susah payah, dan menyingkir dari kemungkinan terburuk. Aku ingin hilang. Aku ingin dilupakan orang. Mata merah darah.
            Mungkin mereka belum siap menerima gaya kepelatihan yang keras, yang memang bukan gaya Pramuka. Mata elang, sebagaimana detasemen Sandiyudha, memerlukan teknik tingkat tinggi. Menyerupai beladiri. Mata merah darah.
            Mungkin mereka bertanya-tanya, darimana aku mendapat kemampuan seperti itu, dimana seniorku bahkan tak pernah mengajarkannya. Kemampuan yang mampu menembus malam. Kemampuan menembus rasa takut seseorang, dan mengubahnya menjadi kepatuhan. Mata merah darah.
            Aku ingin hilang, terlalu banyak sisi lainku yang bertumpuk dan membingungkan. Bahkan untuk pemilik jatidiri itu sendiri. Kemampuan-kemampuan yang aneh bagi banyak orang, dan aku menguasainya. Dengan beberapa teknik yang bahkan hanya dikuasai seorang militer. Kelas atas. Mata merah darah.
            “Engkau haus?” sambungnya. Mata merah darah.
            “Ya, berikan aku air,” Mata merah darah.
            Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
            Aku mencintai seorang gadis, yang satu almamater denganku. Namanya indah sekali, jika disebut namanya, akan terbayang hutan yang wangi, dengan semak-semak basah muncul disela pepohonan. Mata merah darah.
Ia mengenakan jilbab, caranya khas sekali. Ia akan melilitkan jilbab dengan satu jarum, dan melilitkan kedua sisi lainnya kebahu, tanpa mengikatkan atau mengaitkannya dengan jarum. Ia suka warna abu-abu dan coklat tanah, seperti matanya. Mata merah darah.
Ya, matanya coklat tanah. Seperti tanah yang kita gunakan untuk menanam cinta setiap harinya. Tanah yang diambil dari lahan-lahan surga dan dipadatkan menjadi matanya. Mata merah darah.
Mata itu, satu-satunya mata yang mampu menatap kearahku dan langsung menembus kedalam hati. Menghunjam. Meredakan amarah. Kata orang, mataku dingin, tanpa ekspresi namun tajam. Entah kenapa ia tidak berpikir demikian. Mata merah darah.
Ia kuliah ditempat yang teramat jauh. Jauh dari kota asalku dan asalnya. Ia terpilih kesana dan sempat bimbang, ia begitu khawatir dengan masa depannya. Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
“Apakah aku ambil kesempatan ini? Aku tak dapat berpisah dengan orangtuaku,” Katanya, sendu. Mata merah darah.
“Ambillah, orang tuamu akan senang, kamu akan menjadi wanita yang kuat. Mandiri, hingga kelak bisa bertahan tanpa seorangpun” Kataku mencoba menegarkan. Mata merah darah.
Dalam asrama, memang ia nampak senang. Teman-teman barunya menjadi sahabat karib, seperti satu tubuh. Aku menjemputnya setiap akhir pekan, langsung ke asrama. Ia senang, meski setelahnya aku akan sakit. Tetapi aku tak memberitahunya sama sekali. Ia pasti akan marah, dan tak ingin kujemput lagi dengan alasan kesehatanku akan memburuk. Mata merah darah.
            “Kau tampak lelah,” Kata pembimbingku, ia melihat sesuatu dalam mataku. Mata merah darah.
            “Tidak apa-apa, aku memang terlalu mengingatnya, cinta memang terlalu memakan banyak ruang dalam pikiran. Harus dikosongkan,” Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
Aku suka membuat puisi, dan puisiku banyak yang memang tertuju padanya. Kebanyakan dikaitkan dengan hujan, mata, kupu-kupu, atau apalah. Yang penting aku bisa menyenangkan hatinya. Mata merah darah.
Ya, wanita memang lebih senang pengorbanan yang terlihat di matanya daripada pengorbanan yang dilakukan di belakangnya, tanpa sepengetahuannya. Ia akan menganggapnya kebohongan, diluar kenyataan. Mata merah darah.
Sebagaimana aku, hidup diluar kenyataannya. aku tak pernah memberitahukannya siapa aku, banyak pertimbangan. Entah aku dibencinya, entah aku yang malu nanti. Mata merah darah.
Tetapi aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
Sore itu, mendung menggelayut di langit yang dekat, tak lama memancar juga kedalam hati. Mata merah darah.
“Aku sudah tak bisa” Kata-katanya pelan, namun menyimpan berbagai arus yang deras. Mata merah darah.
“Kenapa? Bukankah akhir bulan ini, kita akan pergi ke Taman Bunga?” Aku tak percaya, aku harus mengungkap sesuatu. Ia mendadak berubah, dan aku tidak peka! Apakh terjadi sesuatu dengan hari-hari lalunya tanpa aku tahu? Mata merah darah.
Ia tak melanjutkan kata-katanya. Masam. Hujan yang turun menjadi masam. Matanya tiba-tiba basah, aku tak kuasa memandangnya.  Aku laki-laki, dan tak tahu harus bagaimana.  Matanya semakin deras mengambangkan perasaanku, hanyut kesegala arah. Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Harus! Mata merah darah.
“Baiklah,” Pembimbingku sudah menyelesaikan prosesnya. Mata merah darah.
“Nanti, jika engkau ingin tahu sesuatu, bukalah data ini, kusimpan dalam bentuk tulisan. Silakan, nikmati hidup dengan sepantasnya” Ia melanjutkan. Mata merah darah.
 Pekerjaanku, kekasihku, masa laluku, tetap akan ada di masa lalu. Aku sekarang dengan leluasa bisa berpikir tanpa derau dari masa lalu itu. Banyak alasan, namun, mengenai masa lalu: Mata merah darah.
Aku harus lupa sepenuhnya. Sebelum terjadi sesuatu di masa depan. Harus. Secepatnya. Mata merah darah.
Semerah-merahnya. Sedarah-darahnya. Dilupakan dengan melupakan diri sendiri. Mata merah darah mengawasi.


Ar-Risalah