Selasa, 23 Juli 2013

Menulis, Seriuslah !




"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  (Pramoedya Ananta Toer : Rumah Kaca)
   Saya sempat terdiam dan berpikir setelah membaca kalimat di atas ternyata benar pernyataan dari Pram –sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer –  ketika jiwa dan raganya telah pergi meninggalkan dunia pada 30 april 2006 nama Pram pun masih ada dan terus hidup di dalam karya-karyanya. Berbagai penghargaan pun telah ia raih karena karya-karyanya itu, dan sampai saat ini pengagum karya dari pram sendiri pun tak pernah habis dimakan usia.
   Dalam pernyataan diatas sang nominator peraih nobel sastra itu pun mengemukakan sangat pentingnya menulis dan dampak buruk akibat tidak menulis, tetapi dewasa ini jarang sekali dari kita yang menyadari pentingnya menulis, kita lebih berpikir menulis itu adalah pekerjaan yang buang-buang waktu dan tidak menghasilkan apa-apa semoga pikiran itu tidak ada pada mahasiswa jurusan sastra, memang pada hakikatnya menulis itu bukanlah sebuah cara untuk mendapatkan uang Pram pun berpendapat "Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya pelacuran?” (Pramoedya Ananta Toer : Anak Semua Bangsa) tampaknya Pram sangat mengecam itu, misalnya kita hanya mau menulis jika karena ada tugas saja, ada lomba dan mengharap hadiah saja, bukankan itu tidak ada sangkut pautnya dengan kata hati?  Sepertinya kita harus tahu bahwa menulis adalah sebuah adalah cara untuk menyampaikan sebuah pesan. Para penyair menulis puisi dan sajak karena ada makna dan pesan yang ia sampaikan bukan hanya memamerkan keindahan kata-kata semata, lalu para sastrawan mereka menulis cerpen, novel, roman serta naskah drama karena ada tujuan yaitu sebuah pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Bukan untuk komersil dan kepentingan lain.
  Sebelum menulis ada baiknya kita perlu membaca terlebih dahulu, kita tidak mungkin tahu cara menulis puisi tanpa pernah membaca sebuah buku kumpulan puisi, kita pun takkan pernah tahu cara menulis cerpen bila kita tidak pernah membaca buku kumpulan cerpen begitupun seterusnya. Dari membaca kita bisa dapat mengetahui struktur dari sebuah puisi, cerpen dan yang lainya, kita juga bisa tahu dengan apa para penyair dan sastrawan menyampaikan pesan dari tiap tulisannya dan mungkin kita bisa menirukannya untuk memulai menulis kreatif kita.
  Yang menjadi pertanyaan apakah yang membuat seseorang ingin menulis? Dan masalahnya banyak sekali seorang yang telah memiliki semangat untuk menulis  tetapi mudah pula patah semangatnya.
  Saya pernah menghadiri sebuah forum diskusi antar komunitas sastra di cianjur yang membicarakan tentang masalah menulis kreatif, memang banyak sekali teori yang dijabarkan dan saya tidak bisa memaparkanya. Memang teori-teori itu sangat penting tetapi jika berbicara teori terus-menerus kapan kita mau memulai praktek untuk menulis? Lagipula apa artinya jika seorang dengan segudang teori tetapi miskin praktek?
   Dalam forum itu dapat saya tangkap dari jawaban mereka bahwa yang pertama adalah niat, seorang yang sudah niat untuk menulis pasti akan menulis tanpa memikirkan bagus atau tidak tulisan itu, mungkin karena ia telah membaca sebuah karya yang membuatnya terkagum dan berniat ingin menirukan penulisnya dengan menulis pula. Yang kedua tulislah apa yang ada di sekitar terlebih dahulu, yang sering kita lihat, alami dan rasakan misalnya hujan, tulislah tentang hujan yang sejujurnya dan jangan terlalu jauh karena banyak sekali penulis yang kadang menulis terlalu jauh (banyak dalam puisi) contonya “aku merekam wajahmu pada festival kembang api di paris” padahal si penulis tak pernah ke paris. Yang ketiga adalah yang saya garis bawahi yaitu keseriusan dalam menulis karena banyak dari penulis muda (baru) khususnya, yang pada awalnya giat menulis tetapi ketika mendapat kritik dan hinaan langsunglah menurun semangatnya. Saya memang berpendapat jika penulis yang baru mulai untuk menulis sangat membutuhkan motivasi lebih untuk memperbaiki tulisanya bukan cercaan yang membuat mereka down tetapi pendapat saya langsung terbantah disini, mereka berpendapat seseorang yang sudah menulis berarti telah serius untuk menulis, karena seseorang yang telah serius pasti akan lebih bersemangat bila mendapat kritik dan hinaan, ia akan lebih termotivasi agar karnyanya tidak diremehkan lagi oleh orang yang telah menghina karyanya.
   Saya pun langsung menghancurkan pendapat saya yang tadi, memang jika seseorang yang telah serius untuk menulis pasti kritik setajam apapun akan berubah menjadi motivasi untuknya, menjadi senjata untuk menulis lebih bagus lagi dan berusaha memperbaikinya.
    Maka untuk para penulis muda (baru) janganlah sungkan untuk membagikan karyanya kepada orang lain yang lebih dahulu menulis, lebih tahu kelemahan dan kelebihan tulisan karena kita tidak dapat menilai tulisan kita sendiri. Biarpun karya kita telah dibakar, disobek ataupun di jadikan asbak buatlah itu sebagai motivasi , jika kita telah serius apapun yang menjadi penghambat keseriusan kita pasti akan terlewat.
  Dan saya hanya bisa berpesan : menulislah, jadikanlah itu sebagai pengungkapan perasaan yang seringkali tidak dapat tersampaikan oleh lisan, mengaranglah dengan cerita-ceritamu karena serorang R.A Kartini pun berpendapat “mengarang adalah bekerja untuk keabadian” (Pramoedya Ananta Toer : Anak Semua Bangsa) dan seriuslah, jika kita telah siap memulai untuk menulis kita pun sudah siap menerima berbagai serangan dari para penulis yang telah menulis lebih dulu sebelum kita.
  Semoga dengan tulisan yang kita tulis masyarakat dan sejarah takkan pernah melupakan dan menghilangkan kita walau waktu kita untuk menulis telahlah selesai.



Dos “Boim” Santos
Jakarta, 18.03.13

Senin, 22 Juli 2013

Bahasa Bangsa



  Bahasa, seperti yang kita kenal, ia menunjukan sebuah identitas bangsa. Karakteristik dari sebuah bangsa yang berarti sebuah keutuhan dengan bahasa. Dari kalimat itu kita sudah menyimpulkan bahwa adanya kecendrungan dari  suatu stuktur masyarakat tertentu yaitu dengan mengukur atau menilai suatu kelas seseorang dari cara bertutur. Kita bisa membedakan mana yang pantas disebut bangsawan dan mana yang bukan, mana yang bisa disebut petinggi dan mana yang rendahan, dengan kata lain bahasa dapat menjadi suatu patokan tinggi rendahnya martabat dan latar belakang seseorang.
  Hal ini dapat terlihat jelas dalam bahasa jawa, misalnya seorang jawa yang mengaku sebagai priyayi, tetapi tidak tahu dimana ia harus memakai kata sare dan dimana ia harus memakai kata tilem (yang dua-duanya berarti “tidur”) , dan seorang betawi yang bertingkah sebagai pejabat tinggi Negara, tetapi tidak tahu dimana ia harus memakai kata saya dan dimana ia harus memakai kata gue (yang keduanya berarti menunjukan diri sendiri) pasti ia tidak akan diakui sebagai anggota lapisan yang baik dan dianggap kurang tahu adat.
  Memang menakjubkan bagaimana bahasa itu dapat menjadi remote control bagi jutaan individu banyaknya, tempat orang mengukur diri dalam berbahasa dan beradat-istiadat. Tetapi apakah bahasa kita sudah sangat benar-benar sempurna dengan kata lain sudah menjadi suatu centre of excellent?
Bukankan bahasa kita –Indonesia – hanya suatu perkembangan dari bahasa melayu-riau saja yang dahulu hanya menjadi sebuah pengantar untuk seluruh Nusantara.
  Mungkin tak ada jeleknya. Bahasa ini dengan demikian mudah diikuti dan semakin luas dikenal. Dan lahir juga ejaan baru sebagai pembakuan bahasa kita yang diperkenalkan dan dibuat oleh para ahli bahasa. Tetapi dewasa ini bahasa bangsa kita semakin tidak jelas, dari munculnya bahasa asing ditempat-tempat keramaian, lalu bahasa aneh yang sering disebut alay dan lagi mencul sebuah pemendekan kata –akronim – yang  ada tanpa sistem yang jelas. Bukankah itu masalah?
  Kini di pintu-pintu masuk setiap hotel lebih banyak pengunaan kata welcome daripada kata selamat datang, memang penting mencoba mengerti dan memahami bahasa asing tetapi jika lama-kelamaan kita mulai terikat dengan bahasa luar, apa itu bukan suatu masalah? Belum selesai masalah itu kini hadir lagi bahasa yang aneh –alay –yang contohnya mulai marak pada iklan-iklan di media : ciyus, miapah, enelan.
dan yang terparah bahasa alay itu pun ada di sebuah naskah ujian nasional. Apakah para ahli bahasa tidak memikirkan hal ini sampai-sampai masalah bisa masuk kedalam naskah ujian nasional, dan terlebih manjadi konsumsi publik di iklan-iklan yang beredar bebas.
  Penggunaan akronim –pemendekan kata – pun mulai menyebar di media-media Koran, contohnya ada pada sebuah berita yang menceritakan tentang pencurian kendaraan bermotor tetapi pada judul kolom berita itu malah akronim dari pencurian kendaraan motor itu lah yaitu curanmor  yang terpajang. Apakah akronim ini termasuk kedalam sistem bahasa kita? Apakah ada sebuah rumusan untuk memendekan suatu kata misalnya dari suku kata depan atau suku kata belakang saja? Bukankah dalam tata bahasa hanya dijelaskan tentang kata dasar dan kata turunan, kata ulang atau bentuk ulang, gabungan kata, cetak miring, cetak tebal, tanda koma, titik, titik koma dan lain-lainnya. Tentulah ini sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh para ahli bahasa, apakah bangsa kita yang telah lama merdeka ini akan terus merana dalam kebahasaan yang semakin tidak jelas.
  Lalu dimakah identitas bangsa kita bila bahasa kita masih tidak jelas seperti sekarang ini. bahasa yang telah tersusun rapih dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pun serasa tidak berguna, contoh kata abaimana, candang, dursila, ebek, kenes dan lain-lain apakah kata-kata itu dikenal oleh banyak orang? Tentu tidak, yang mengenal kata-kata itu hanyalah para ahli bahasa dan yang mau mempeelajari bahasa saja. Lalu dimanakah peran badan bahasa sebagai satu-satunya wadah untuk menjaga bahasa kita, bahasa bangsa, bahasa pemersatu, Bahasa Indonesia.
  Lalu bagaimana bahasa kita bisa dikenal dunia bila bahasa kita ini sedang dalam ketidaktidakjelasan yang menjamur, bagaimana kita memperkenalkan bahasa Indonesia kepada dunia sebagai identitas bangsa?
  Akankah bangsa kita selalu dalam ketidak jelasan bahasanya, ketidak jelasan identitas bangsanya, terus dijajahan oleh bahasa-bahasa asing dan alay yang semakin menyebar luar hingga menjadi konsumsi masyarakat yang makin lama semakin merusak bangsa yang menjunjung tinggi bahasa pemersatu , Bahasa Indonesia.
  Mungkin ada baiknya kita kembali membaca dan merenungkan sajak dari M. Yamin yang berjudul “Bahasa bangsa” tentang bagaimana sebuah bangsa seharusnya berbahasa dan memegang teguh bahwasanya tanpa bahasa maka bangsapun tiada.

Bahasa bangsa 
(Muhammad Yamin)

Selagi kecil berusia muda,
Tidur sianak dipangkuan bunda
Ibu bernyanyi. Lagu dan dendang,
Memuji sianak banyaknya sedang

Berbuai sayang malam dan siang,
Buaian tergantung di tanah tuan

Terakhir dibangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri,
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka sertakan rayu,

Perasaan serikat menjadi padu,
Dalam bahasanya permain merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya

Bernafas kita pemanjangan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Dimana sumatra, disitu bangsa
Dimana perca, disana bahasa

Andalasku sayang, jana bejana,
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatra malang
Tiada bahasa, bangsapun hilang

(1920)



Doni Ahmadi
Jakarta, 06.04.13

Mati Sebagai Orang Asing



  Waktu menunjukan pukul lima sore, saat itu aku berada di sebuah taman bersama teman perempuanku –Ana –di kawasan menteng untuk  melepas jenuh sembari memandangi sekumpulan awan putih yang tampak seperti bulu-bulu, menambal langit biru cerah yang bermunculan diantaranya. Awan itu diam seolah-olah mereka tertancap di puncak pohon pinus tua. Suasana yang berisik kini terasa sunyi dan hening di hati.
  Aku ingat sudah beberapa tahun silam semenjak aku meninggalkan kampung halamanku, suasana ini tidak dapat kurasakan lagi, kalau di kampung pasti jam segini aku sedang bersama Udin –Teman semasa kecilku –untuk  bersepeda mengelilingi kampung lalu beristirahat sembari tiduran di padang ilalang yang damai sambil menunggu matahari berhenti memancarkan sinarnya dan pergi sebelum cahaya bulan mulai mengintip.
  Aku ingat sekali saat-saat itu, saat itu Udin sahabat kecilku sering sekali menyuruhku untuk pulang sebelum adzan magrib, tetapi aku abaikan dan biarkan menunggu sampai matahari benar-benar padam. Udin juga sering sekali berguyon dan membuat kami tertawa riang, Kini tidak ada lagi teman yang lucu sepertinya, mungkin kapan-kapan aku akan kembali menjumpainya ke desa.
  “Yan, ini minumanya” seru Ana. Yang baru saja kembali setelah ku suruh untuk membeli minuman
  “Iya, taruh saja disampingku”
  “Kau tampak bingung Yan? Mungkin nanti malam kita bisa bersenang-senang ”
  “Tidak An, aku baik-baik saja, baiklah sayang kita kerumahku dulu sehabis itu baru kita bersenang-senang”
  Aku dan Ana pun langsung pergi meninggalkan taman itu dengan mobil sedan pemberian Ayah dan langsung menuju rumah untuk berganti pakaian. Malam itu aku dan Ana pun pergi menuju bar untuk bersenang senang, sembari meminum beberapa gelas alkohol dan berdansa mengikuti irama musik di ruangan yang gelap dan tentu saja dipenuhi banyak manusia pecinta hiburan malam. Ana hanyalah wanita penghibur yang selalu siap melayaniku dengan uang. Sepulang dari bar kami pun langsung menuju hotel dimana aku beserta wanita-wanita penghibur lainnya selayaknya Ana, menuruti nafsu birahiku.
  Pagi harinya aku teringat akan Udin sahabat kecilku, jadi aku sempatkan pagi ini untuk pergi menuju kantor pos untuk menulis surat kepadanya. Setelah berpakaian aku langsung meninggalkan Ana dalam keadaan tanpa busana dan tidak lupa meninggalkan beberapa lembar ratusribuan di atas meja sebagai servis Ana malam tadi.
  Aku menuliskan tentang rasa rinduku terhadap teman masa kecilku itu, memberi alamat kediamanku agar dia dapat berkunjung dan tak lupa nomor ponselku agar ia dapat menghubungiku.
***
  Sesampainya di rumah Ayah bilang padaku ia akan pergi ke luar kota untuk beberapa pekan, dan aku langsung memanfaatkan keadaan itu untuk membuat sebuah pesta kecil-kecilan bersama teman-temanku. Aku langsung menelpon Rizal, untuk memberi tahu Adri dan Indra mengenai pesta kecil-kecilan yang akan aku buat di rumah, dan tentu saja sekalian menyuruh Rizal membawakan bidadari-bidadari penghiburnya.
  Sore hari aku mulai menyiapkan persiapan untuk pesta malam ini, speaker aktif dengan volume suara yang besar pun aku keluarkan agar rumahku terkesan selayaknya bar, tak lupa ku pesan minuman beralkohol ber dus-dus. Tak lama kemudian Adri pun datang bersama Rizal dan Indra.
  “Hey Yan, sudah siap kita berpesta malam ini” seru Adri.
  “Canggih bener lo Yan” tambah Rizal.
  “Iya lah, oh ya, mana pesanan gue Zal, jangan bilang lupa dah”
  “Santai saja Yan, lima menit lagi sampai” jawab Rizal
  “Sabar sebentar Yan, kalo masalah itu mah Rizal nomer satu, ga bakal terlewat haha” seru Indra sembari tertawa.
  Ting nong ting nong, terdengar bunyi bell pertanda adanya tamu. Benar saja apa yang dikatakan Rizal, belum sampai lima menit sudah datang bidadari-bidadari pesananku itu. Mereka ada empat orang dan Rizal pun langsung mengenalkan bidadarinya satu persatu.
  “Maaf ya Zal agak sedikit telat, abis supir taksinya lelet” seru salah seorang dari mereka yang menggunakan gaun berwarna merah, dengan rambut yang tergulai menutupi bagian dada yang lumayan besar itu.
  “Iya Zahra, kami juga baru mau mulai” seru Rizal
  “Oh ya, perkenalkan Ini Zahra, yang menggunakan gaun merah” lalu Zahra pun bersalaman kepadaku Indra dan Adri sembari mencium pipi kanan dan kiri.
  “Ini Fitri yang bondol dan agak pirang, lalu Tesya yang bergaun biru dan satu lagi Misya” merekapun mengikuti apa yang Zahra lakukan terhadap ku Indra dan Adri sebelumnya.
  “Zal, pintu di tutup rapat-rapat ya” tambahku sembari masuk kedalam ruang tamu yang telah disulap menjadi tempat pesta”
  Memang  kalau masalah ini Rizal sangat cekatan. Sudah banyak sekali aku dapat kenalan wanita darinya. Malam ini terasa sangat sempurna ada teman-temanku, ada alkohol kesukaanku, ada pula wanita-wanita yang menemaniku, aku pun tenggelam dalam suasana gemerlap dengan irama yang menghentak ini.
  Dorr dorr dorr,Assalamualaikum. Terdengar bunyi ketukan pintu dan salam ditengah pesta kecilku.
  “Yan itu yang ketuk pintu siapa Yan?” tanya Adri.
  “Tunggu, biar aku yang bukakan” jawabku. Dan langsung aku menghampiri pintu rumahku yang di ketuk itu. Ketika aku membuka pintunya dalam keadaan setengah sadar aku tak dapat mengenali sepenuhnya siapa orang itu dan ia langsung berkata.
  “Rianto, piye kabar? Iki udin” dan ia langsung memeluku.
  “Oh,  ya Din baik-baik kamu bagaimana?”
  “Aku ya apik. Wah, wis suwe ora ketemu ki. Kangen rasane karo kanca”
  “Sama Din, kau bukan kabari aku dulu?”
  “Tak sempat aku Yan, iki lagi ada pesta Yan” belum sempat aku jawab pertanyaan Udin tiba-tiba Rizal dan Indra sudah ada di belakangku.
  “Siapa dia Yan? Pake blangkon, baju aneh, ngomong medok hahaha” seru Rizal sembari tertawa.
  “Tau Yan, bukan mahluk bumi ini mah hahaha” tambah Indra.
  “Mereka sopo Yan?” tanya Udin.
  “Lo berkawan dengan alien Yan haha” tambah Rizal
  “Asal kalian tahu ya, blangkon dan baju yang kupakai ini adalah ciri dari berbudayanya orang Indonesia, bahasa yang kupakai ini juga ragam dari bahasa asli Indonesia. Aku tahu sejarahnya apa yang aku pakai ini, setidaknya aku lebih mengenal budaya di negeriku ini, tidak seperti kalian yang mengaku menetap di Indonesia tapi masih seperti orang asing bila melihat budayanya. Asal kalian tahu aku jugu bisa berbahasa Indonesia !” seru Udin dengan nada tinggi, sepertinya ia agak marah dengan ucapan Indra dan Rizal tadi.
  “Bangsat! tak usah jadi dosen mendadak kau di sini” jawab Rizal dengan keras.
  “Itulah, mengapa aku bilang kau orang asing. Kau lebih memakai kekerasan dari pada akal. Budaya bangsamu sendiri kau hinakan. Persatuan yang tertulis di bawah cakar sang garuda pun kau lupakan, mau jadi anak haram kau di negeri ini?”
  “Sudah-sudah !” teriakku.
  “Maaf Yan, sepertinya kehadiranku tidak diharapkan di pestamu ini. semoa kau tak jadi orang asing dan anak haram di bangsamu ini, Rianto kanca ku” dan Udin pun langsung pergi meninggalkan kami, pergi entah kemana dan membuatku merasa sangat bersalah terhadapnya.
  Keseokan harinya aku hanya berdiam diri di kamar menerenungi ucapan udin kemarin malam, sepertinya aku telah benar-benar menjadi orang asing di negeriku ini. hari-hari selanjutnya tubuhku pun terasa tidak enak sekali, terus-terusan diare hinga dalam sehari aku bisa hampir lima kali bolak-balik kamar mandi, batuk hingga mengeluarkan darah hingga berat badanku turun drastis. wajahkupun tampak pucat hingga yang terparah aku pingsan dan harus di bawa kerumah sakit.
***
  Ketika kedua kelopak yang menghalangi indera penglihatanku terbuka terdapat alat pembantu untuk bernafas terletak menutupu hidung dan mulutku, ternyata aku masih dapat melihat indahnya dunia ini. Saat itu aku berada dalam ruangan yang di penuhi alat alat kedokteran , tiba-tiba ayah datang dengan seorang laki-laki yang berkacamata dan berpakaian serba putih lalu mereka berdiskusi di hadapanku. Aku tidak mengerti apa yang mereka diskusikan itu, beberapa menit kemudian pria berkacamata yang memakai pakaian serba putih itu keluar, lalu ayah menghampiri aku dengan matanya yang berkaca-kaca dan masih terlihat sedikit bekas air matanya. Akupun langsung membuka alat bantu pernafasanku seraya bertanya.
  “Apa yang terjadi padaku Yah?”
  “Maafkan Ayahmu nak, kau terlalu Ayah biarkan bebas sehingga kau menjadi seperti ini”
  “Memang Aku ini sakit apa Yah?” Ayah pun langsung pergi meninggalkanku di ruangan itu dan menunggalkan sepucuk amplop putih dengan keterangan rumah sakit yang ku tinggali sekarang ini.
  Aku ambil keluarkan kertas keterangan dari sepucuk amplop itu dan membacanya.  betapa hancurnya leburnya persaanku saat mengetahui itu, airmataku pun tidak mampu lagi kutahan, aku merasa hidupku sudah amat tidak berarti lagi. Ternyata aku sanghatlah bodoh, aku bukanlah orang yang pantas untuk tinggal di negeriku ini, aku terlalu mengikuti gaya negeri asing yang penuh hura-hura dan pesta serta kebebasan sex yang mengakibatkan aku terkena virus mematikan ini –HIV/AIDS .
  Sepertinya umurku sudah tidak panjang lagi, sebelum aku tutup hidupku aku meminta suster untuk membawakan pulpen dan beberapa lembar kertas.


Untuk  Ayah,
  Ayah maafkanlah aku yang telah terlalu bebas ini, aku benar-benar anak yang tidak bisa dibanggakan olehmu, aku terlalu terbawa oleh kenikmatan dunia malam yang membuatku terjerat seperti ini. dan untuk Ibu yang telah melahirkan akau, andai saja kau masih ada, pasti kau yang akan selalu melarangku, menasihatiku memberiku jalan yang seharusnya ku langkahkan tetapi semua telah terjadi dan biarkan aku menikmati buah yang aku tanam ini.
Untuk Udin sahabatku,
  Aku ingat semasa kecil waktu itu kita sering sekali bersepeda keliling kampung, pergi ke sungai untuk berenang, menonton televisi di rumah Pak Lurah, melihat pertunjukan wayang dan bangyak lagi yang tak dapat kusebutkan satu persatu. Tapi setelah aku pindah ke kota semua itu teasa hilang, aku lebih banyak berfoya-foya untuk kesenanganku hingga lupa akan dari mana aku berasal. Lupa akan kesederhanaan kita semasa kecil, lupa akan budaya kita, bahasa kita yang dulu, dan rasa cinta antar sesame dulu. memang kini aku telah menjadi orang asing di negeriku sendiri, seorang anak haram di negeriku sendiri. Lupa akan gaya hidup di negeriku sendiri dan lebih mengikuti gaya orang asing yang selalu bersenang-senang tanpa memikirkan sebab akibat perbuatanku. Kini aku telah terjangkit virus yang mematikan yang mungkin akan meniadakan aku hingga beberapa hari kedepan. Maafkan aku Din, yang telah lupa akan negerinya, yang telah terlalu jauh melangkah hingga lupa kan asal mulanya. Semoga kau mau memaafkan aku Din.
Jakarta, 10 maret
Ahmad Rianto

  Ku selesaikan tulisan itu lalu meninggalkannya di meja sebelah tempat tempat tidurku, lalu pergi keluar rumah sakit untuk melewati jam-jam terakirku pada jalan, tanah, dan trotoar negeriku. Negeri di mana aku dilahirkan, dibesarkan dan dimatikan walau sebagai orang asing.



Boim Dos Santos
Jakarta, 09.04.13

Biodata Penulis :

Doni Ahmadi (Boim Dos Santos), sekarang sedang sibuk mengambil S1 jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta. Bergabung dengan komunitas Tembok Sastra UNJ , biasa menulis dengan nama pena Boim Dos Santos. Dan biasa mengarsipkan karyanya di blog pribadinya Donedossantos.blogspot.com

Jerat yang Menjadi Tangkap



Jalan setapak di tengah hutan, di kanan terdapat bukit yang menjulang dengan banyak 
pohon berdiri tegak di miringnya konstruksi tanah. Sementara di sisi kiri pepohonan dan semak 
tumbuh tak beraturan hingga menutupi jarak pandang untuk melihat lebih jauh lagi.
Di kanan jalan tepat di atas bukit, tersembunyi di balik pepohonan yang berdiri miring, 
dua orang dengan wajah sangar sedang sibuk mempersiapkan sebongkah batu raksasa 
seukuran sebuah rumah dengan pengungkit kayu yang terjepit di bawahnya.
“Hmmm seberapa jauh lagi rombongan pengawal pembawa upeti yang kau lihat?” ucap 
salah satu orang dengan ukuran tubuh yang lebih besar dari satunya.
“Kira-kira tepat matahari menyentuh ujung daun pohon itu” pria itu menunjuk ke arah
belakang, sebuah pohon tepat di seberang jalan di atas bukit, tempat mereka mempersiapkan 
jebakan untuk menghadang rombongan pengawal pembawa upeti kerajaan.
“Bagus, kuda-kuda besar yang kucuri dari peternakan kerajaan pun dalam kondisi sehat 
untuk mengangkut pundi-pundi emas yang sebentar lagi akan menjadi milik kita hahahaha”.
“Tapi apakah kau yakin, batu raksasa ini akan membunuh semua prajurit pengawal upeti 
itu?”.
“Haah, dasar bodoh! Tidak mungkin akan membunuh semuanya. Itulah sebabnya kau 
kusuruh membawa pedang!”.
“Ta tapi apakah kita mampu berhadapan melawan mereka yang jumlahnya jauh lebih 
banyak”.
“Heyy Adik bodohku. Jumlah kita memang kalah banyak, tapi dengan batu ini sebagian 
besar dari merak pasti akan terlindas mati”.
“Aah, kau memang pintar Kak!”.
“Tentu saja, aku! Dan jangan lupa, siapakah bandit terkuat seantero dunia persilatan 
saat ini”.
“Iya Kak, yak au betul. Aku hampir lupa”.Bila dilihat secara seksama tanpa mmepedulukan ukuran tubuh mereka, wajah di antara 
mereka berdua sangatlah mirip, dari bentuk wajah, hidung, mata, bibir serta tahi lalat di pipi 
kanan pun begitu sama. Mereka berdua sebetulnya kembar, namun akibat perbedaan ilmu 
silat. Meski dari perguruan yang sama membuat ukuran tubuh mereka berbeda. Si kakak begitu 
besar dan tinggi badannya karena ia begitu kuat, sedangkan si adik tubuhnya kecil karena ia 
lebih lincah dan cepat dalam bertarung. Mereka berdua saling melengkapi satu sama lain dalma 
pertarungan, tapi meskipun begitu tiada manusia yang sempurna begitupula mereka tetap 
memiliki kelemahan.
“Heyy kalian berdua! Apa yang sedang kalian lakukan?” tiba-tiba terdengar suara 
mengagetkan mereka berdua dari belakang.
“Hah!” begitu terkejutnya mereka melihat seorang berbadan tegap serta berpakaian 
prajurit lengkap dengan senjata perang tengah duduk di atas kudanya, tiba-tiba muncul di 
belakang mereka.
“Cepat jawab pertanyaanku!”.
Dilihat oleh mereka tepat di belakang prajurit berkuda itu, rombongan pengawal 
pemabawa upeti kerajaan tengah berbaris diam menunggu aba-aba dari prajurit di atas kuda 
itu.
“Eee aa anu…”.
“Apa yang akan kalian lakukan dengan batu raksasa itu?”.
Siku tangan si kakak mendorong tubuh adiknya, “bodoh kau!”.
“Maaf Tuan, kami hanya sedang memindahkan batu ini”.
“Oohh apakah batu itu tadinya menghalangi jalan ini?”.
“Betul, Tuan” agak kikuk si kakak menjawab.
“Hmm sungguh mulia perbuatan kalian berdua. Tapi….” Prajurit berkuda itu mematut 
wajah kakak beradik itu baik-baik, sambil mengelus-elus dagunya. Berpikir, “sepertinya aku 
pernah melihat wajah kalian, tapi dimana? Sungguh tak asing”.
“Kami hanya penduduk di sini, Tuan. Yang kebetulan sedang melintas, lantas melihat 
batu ini menghalangi jalan maka kami singkirkan”.
“Ya, tapi…. Apa pekerjaan kalian?”. Prajurit itu bertanya sambil erus berpikir.
“Pe pekerjaan kami hanya pengumpul kayu bakar saja, Tuan. Untuk dijual ke pasar”.Prajurit itu melihat sekeliling, ditemukannya dua ekor kuda yang bgeitu sehat terikat 
pada sebuah pohon, “lantas kuda-kuda siapakah itu?”.
“Kuda itu, Tuan?”.
“Ya kuda itu. Tidak mungkin kuda yang terikat itu kuda liar bukan?”.
“Tentu bukan kuda liar, kuda-kuda itu milik kami”.
“Hmmm ada dua orang pencari kayu bakar dengan dua ekor kuda yang sehat. Tunggu 
dulu! Kenapa kalian membawa pedang?”.
“I ii ini…”.
“Pedang perang?! Jangan-jangan kalian?!”.
Begitu cepat tubuh si adik melontar ke udara hingga tak disadari oleh si prajurit. Dengan 
pedangnya si adik menebas leher si prajurit hingga kepalanya memisah dari lehernya.
Melihat hal itu para prajurit pengawal lainnya segera bersiap dengan senjatanya masingmasing.
“Bandit!!”.
“Kita ketahuan Kak!”.
“Ya, Adik. Terpaksa kita mesti berhadapan dengan mereka semua!”.
“Jaga upeti!” teriak seorang prajurit pada prajurit lainnya.
Seringan bula angsa tertiup oleh angin, tubuh si adik melontar kembali ke udara menuju 
rombongan pengawal upeti, menyerang. Sementara si kakak berlari, mencondongkan bahunya 
ke dapan, menyeruduk seperti badak kalap.
“Arahkan tombak ke udara! Jangan sampai dia mendarat!”.
“Astaga!” begitu tepat di atas para prajurit pengawal upeti, tubuh si adik tertusuk 
beberapa tombak di tubuhnya lantas melaynaglah nyawanya seperti tubuhnya yang begitu 
ringan melayang di udara, di hadapan tombak-tombak tajam para prajurit pengwala upeti.
“Adikk!!”suara teriakkan si kaka terdengar membahana seisi hutan. Beberapa prajurit 
pengawal upeti yang diserang oleh si kakak rupa-rupanya roboh dengan tubuh remuk setelah 
terhempas tubrukkan si kakak. Ia kembali berlari menyeruduk ke arah prajurit pengawal upeti 
yang menombak tubuh adiknya, “bangsat kalian!”.


Ridwan