Pelukis itu masih
saja duduk di terminal menunggu bus, sudah setengah jam ia menunggu. Agaknya
dia akan melakukan perjalanan jauh kali ini, meski hanya membawa sebuah kanvas
tertutup koran beberapa kuas dan satu kotak cat minyak. Tapi ia tak peduli
dengan apapun karena sudah mantap betul tujuan dia untuk pergi menggunjungi
berbagai tempat untuk melukis. Melukis sebuah wajah. Bus yang ia tunggu tiba.
Ia hampiri kondektur bus tersebut.
“Bang,
ke Puncak?” tanyanya.
“Iya
Mas”.
Pelukis
itu berjalan beberapa langkah tak jauh dari pintu belakang bus. Dinyalakannya
sebatang rokok, mengisi waktu luang menunggu Bus tersebut selesai menaikkan
penumpang lantas pergi. Agak lama ia menunggu sembari memperhatikan wajah
orang-orang yang lalu lalang, naik dan turun dari bus.
“Ayo
mas, busnya mau berangkat!” ajak Kondektur bus padanya.
Selama
perjalanan ia hanya terus menatap ke luar jendela memperhatikkan awan dan
puncak-puncak gunung yang terlihat di kejauhan. Angin yang deras membabat rambutnya
yang panjang dan keriting, mengibar ke belakang.
“Mau
ke mana, Mas?” ucap ramah seorang penumpang di samping si Pelukis.
“Ohh
mau ke Puncak, Mas”.
“Hmmmm
mau melukis ya?.
“Iya,
Mas”.
“Mau
melukis apa, Mas?”.
Tatapan
kosong di mata si Pelukis menatap wajah ramah seorang penumpang yang
bertanyanya, “entahlah, Mas. Saya pun bingung mau melukis apa”.
“Lho
kok bingung, Mas. Kan Mas bisa pelukis. Otomatis bisa melukis apapun dong”.
“Tidak
semuanya dapat saya lukis, Mas. Ada seseorang yang tak dapat saya lukis”.
“Siapa,
Mas? Pacarnya ya?”.
“Bukan”.
“Lantas
siapa?”.
“Seseorang”.
Setibanya
di terminal penurunan, ia berjalan menaiki angkot biru yang terparkir menunggu
penumpang. Ia duduk di samping supir. Angkot itu meluncur deras, menaiki kelokkan-kelokkan
jalanan puncak, sesekali jalanan itu macet karena beberapa warga pengguna
sepeda motor mencoba untuk menyebrang jalan.
“Rokok,
Bang?” Sopir angkot menawarkan rokok dari bungkusnya kepada si Pelukis.
“Oh
iya, terima kasih Pak” Pelukis itu menolak dengan halus.
“Mau
menjual lukisan ya, Bang?”.
“Ooh,
saya mau melukis, Pak”.
“Mau
melukis apa, Bang?”.
“Entahlah,
Bang” tetap sorot mata si Pelukis masih kosong menatap aspal jalanan yang basah
karena gerimis yang membasuh.
Ia turun di sebuah terminal satelit dekat
perumahan warga dan sebuah kebun teh. Ia berjalan menyebrang perkampungan
hingga sampai di kebun teh. Terus berjalan menuju atas melewati kabut tipis
yang sesekali turun dan ia mesti menutup kanvas yang terbungkus koran dengan
plastik hitam besar, agar tak basah.
Turunan
dan tanjakkan terjal ia lewati, meski harus melewati beberapa aliran mata air
yang membasahi sepatunya. Udara yang dingin ia lewati dengan jaket tebal yang
lengket bersama tubuhnya, walau celana jeans yang ia kenakan sobek pada lutut
sebelah kirinya. Ia tetap berjalan, hingga sampai pada sebuah tempat tepat di
mulut jurang. Di sana ia melihat dari kejauhan pohon-pohon liar tumbuh
serampangan dan gunung tinggi yang akhirnya mengakhiri pandangannya.
Kabut
sudah tak turun lagi. Ia keluarkan kanvas dari plastik dan korang yang
membungkusnya. Kuas-kuas dan sekotak cat minyak yang ia bawa dipersiapkan. Di
buatnya sandaran kanvas dengan tiga batang pohon yang telah jatuh, ia tancapkan
pada tanah yang basah hingga berdiri tegak.
Cat
warna hitam ia buka tutupnya lantas ia usapkan bulu kuas di atasnya, rupanya ia
tak menuangkan cat itu di atas valet biasa ia gunakan untuk melukis. Usapan
pertama bulu kuas ia tuangkan pada kanvas hingga menyerupai bentuk setengah
lingkaran dan di usap terus hingga penuh setengah lingkaran di luarnya. Ia
berganti dengan berbagai cat mulai dari cat putih, hingga ia campurkan dengan
berbagai warna yang ditindihkan sampai membentuk warna lainnya. Begitu
seterusnya.
Telah
selesai ia melukis bagian kepala dan setengah badan pada kanvas menyerupai
tubuh seorang wanita dengan kerudung hitam yang menutup hingga tubuhnya. Namun
kuas yang diapit jari telunjuk dan jempol kanannya tiba-tiba terjatuh lemah ke
atas tanah.
Ia
menarik rambutnya yang basah dengan tangan kanan, “bahkan untuk wajahmu pun aku
tak mampu! Apakah aku lupa akan wajahmu? Matamu, hidungmu, bibirmu? Bahkan aku
lupa tempias cahaya yang jatuh membias di kening dan pipimu?”.
Diambil
kembali kuas lainnya, dicolekkan cat warna kembali mengulang dari semula.
Menindih lukisannya yang semula. Kini ia melukis seseorang tanpa wajah dan tak
mengenakan kerudung, meski sama hanya setengah badan yang ia gambar. Wajahnya
pun belum ia lukis.
“Aku
harus melukis wajah kali ini. Meski wajah dan orang yang berbeda!”.
Ia
usapkan bulu-bulu kuas dan catnya membentuk sesosok wajah yang begitu jelas
kali ini. Tapi alangkah terkejutnya kembali ia, ketika selesai melukiskan
lukisannya. Ternyata yang ia lukis adalah wajahnya sendiri dengan rambut
panjang yang sama seperti dia, mata, hidung dan mulut.
Ia
tertegun, matanya terus menatap ke dalam mata dalam lukisannya begitu dalam.
Begitu dalam hingga ke dalam cat-cat yang mennghiasnya.
Diambilnya
sebungkus rokok dari kantong jaketnya, sebatang rokok ia nyalakan. Asap yang
berhembus berwarna kuning gelap. Setelah sekali isapan dia hanya tetap terdiam,
terus memandang lukisannya sendiri. Ia begitu bingung dengan apa yang ia lukis.
Kenapa menjadi seperti ini? Rokoknya tidak ia hisap kembali, biar ia terbakar
sendiri. Biar ia mati karena tak ada lagi yang dapat terbakar. Biar asap-asap
itu bebas dari wujudnya yang lama kewujudnya yang baru.
Kabut
seketika datang dan turun membasahi lukisannya. Cat-cat yang tadi ia torehkan
perlahan dibasahi oleh kabut yang turun. Kainnya kini telah basah. Bulir-bulir
cat minyak yang terbasahi mulai muncul dari setiap pori kanvas, lantas semakin
lama lukisan itu hancur gambarnya. Pudar. Pelukis itu tetap terdiam sembari
samar air matanya menyatu dengan gerimis yang turun dari kabut. Tak ada suara.
Ia tak menangis. Hanya air matanyalah yang menangis.
Ridwan