Selasa, 11 Juni 2013

Wajah Dalam Kanvas


Pelukis itu masih saja duduk di terminal menunggu bus, sudah setengah jam ia menunggu. Agaknya dia akan melakukan perjalanan jauh kali ini, meski hanya membawa sebuah kanvas tertutup koran beberapa kuas dan satu kotak cat minyak. Tapi ia tak peduli dengan apapun karena sudah mantap betul tujuan dia untuk pergi menggunjungi berbagai tempat untuk melukis. Melukis sebuah wajah. Bus yang ia tunggu tiba. Ia hampiri kondektur bus tersebut.
                “Bang, ke Puncak?” tanyanya.
                “Iya Mas”.
                Pelukis itu berjalan beberapa langkah tak jauh dari pintu belakang bus. Dinyalakannya sebatang rokok, mengisi waktu luang menunggu Bus tersebut selesai menaikkan penumpang lantas pergi. Agak lama ia menunggu sembari memperhatikan wajah orang-orang yang lalu lalang, naik dan turun dari bus.
                “Ayo mas, busnya mau berangkat!” ajak Kondektur bus padanya.
                Selama perjalanan ia hanya terus menatap ke luar jendela memperhatikkan awan dan puncak-puncak gunung yang terlihat di kejauhan. Angin yang deras membabat rambutnya yang panjang dan keriting, mengibar ke belakang.
                “Mau ke mana, Mas?” ucap ramah seorang penumpang di samping si Pelukis.
                “Ohh mau ke Puncak, Mas”.
                “Hmmmm mau melukis ya?.
                “Iya, Mas”.
                “Mau melukis apa, Mas?”.
                Tatapan kosong di mata si Pelukis menatap wajah ramah seorang penumpang yang bertanyanya, “entahlah, Mas. Saya pun bingung mau melukis apa”.
                “Lho kok bingung, Mas. Kan Mas bisa pelukis. Otomatis bisa melukis apapun dong”.
                “Tidak semuanya dapat saya lukis, Mas. Ada seseorang yang tak dapat saya lukis”.
                “Siapa, Mas? Pacarnya ya?”.
                “Bukan”.
                “Lantas siapa?”.
                “Seseorang”.
                Setibanya di terminal penurunan, ia berjalan menaiki angkot biru yang terparkir menunggu penumpang. Ia duduk di samping supir. Angkot itu meluncur deras, menaiki kelokkan-kelokkan jalanan puncak, sesekali jalanan itu macet karena beberapa warga pengguna sepeda motor mencoba untuk menyebrang jalan.
                “Rokok, Bang?” Sopir angkot menawarkan rokok dari bungkusnya kepada si Pelukis.
                “Oh iya, terima kasih Pak” Pelukis itu menolak dengan halus.
                “Mau menjual lukisan ya, Bang?”.
                “Ooh, saya mau melukis, Pak”.
                “Mau melukis apa, Bang?”.
                “Entahlah, Bang” tetap sorot mata si Pelukis masih kosong menatap aspal jalanan yang basah karena gerimis yang membasuh.
                 Ia turun di sebuah terminal satelit dekat perumahan warga dan sebuah kebun teh. Ia berjalan menyebrang perkampungan hingga sampai di kebun teh. Terus berjalan menuju atas melewati kabut tipis yang sesekali turun dan ia mesti menutup kanvas yang terbungkus koran dengan plastik hitam besar, agar tak basah.
                Turunan dan tanjakkan terjal ia lewati, meski harus melewati beberapa aliran mata air yang membasahi sepatunya. Udara yang dingin ia lewati dengan jaket tebal yang lengket bersama tubuhnya, walau celana jeans yang ia kenakan sobek pada lutut sebelah kirinya. Ia tetap berjalan, hingga sampai pada sebuah tempat tepat di mulut jurang. Di sana ia melihat dari kejauhan pohon-pohon liar tumbuh serampangan dan gunung tinggi yang akhirnya mengakhiri pandangannya.
                Kabut sudah tak turun lagi. Ia keluarkan kanvas dari plastik dan korang yang membungkusnya. Kuas-kuas dan sekotak cat minyak yang ia bawa dipersiapkan. Di buatnya sandaran kanvas dengan tiga batang pohon yang telah jatuh, ia tancapkan pada tanah yang basah hingga berdiri tegak.
                Cat warna hitam ia buka tutupnya lantas ia usapkan bulu kuas di atasnya, rupanya ia tak menuangkan cat itu di atas valet biasa ia gunakan untuk melukis. Usapan pertama bulu kuas ia tuangkan pada kanvas hingga menyerupai bentuk setengah lingkaran dan di usap terus hingga penuh setengah lingkaran di luarnya. Ia berganti dengan berbagai cat mulai dari cat putih, hingga ia campurkan dengan berbagai warna yang ditindihkan sampai membentuk warna lainnya. Begitu seterusnya.
                Telah selesai ia melukis bagian kepala dan setengah badan pada kanvas menyerupai tubuh seorang wanita dengan kerudung hitam yang menutup hingga tubuhnya. Namun kuas yang diapit jari telunjuk dan jempol kanannya tiba-tiba terjatuh lemah ke atas tanah.
                Ia menarik rambutnya yang basah dengan tangan kanan, “bahkan untuk wajahmu pun aku tak mampu! Apakah aku lupa akan wajahmu? Matamu, hidungmu, bibirmu? Bahkan aku lupa tempias cahaya yang jatuh membias di kening dan pipimu?”.
                Diambil kembali kuas lainnya, dicolekkan cat warna kembali mengulang dari semula. Menindih lukisannya yang semula. Kini ia melukis seseorang tanpa wajah dan tak mengenakan kerudung, meski sama hanya setengah badan yang ia gambar. Wajahnya pun belum ia lukis.
                “Aku harus melukis wajah kali ini. Meski wajah dan orang yang berbeda!”.
                Ia usapkan bulu-bulu kuas dan catnya membentuk sesosok wajah yang begitu jelas kali ini. Tapi alangkah terkejutnya kembali ia, ketika selesai melukiskan lukisannya. Ternyata yang ia lukis adalah wajahnya sendiri dengan rambut panjang yang sama seperti dia, mata, hidung dan mulut.
                Ia tertegun, matanya terus menatap ke dalam mata dalam lukisannya begitu dalam. Begitu dalam hingga ke dalam cat-cat yang mennghiasnya.
                Diambilnya sebungkus rokok dari kantong jaketnya, sebatang rokok ia nyalakan. Asap yang berhembus berwarna kuning gelap. Setelah sekali isapan dia hanya tetap terdiam, terus memandang lukisannya sendiri. Ia begitu bingung dengan apa yang ia lukis. Kenapa menjadi seperti ini? Rokoknya tidak ia hisap kembali, biar ia terbakar sendiri. Biar ia mati karena tak ada lagi yang dapat terbakar. Biar asap-asap itu bebas dari wujudnya yang lama kewujudnya yang baru.

                Kabut seketika datang dan turun membasahi lukisannya. Cat-cat yang tadi ia torehkan perlahan dibasahi oleh kabut yang turun. Kainnya kini telah basah. Bulir-bulir cat minyak yang terbasahi mulai muncul dari setiap pori kanvas, lantas semakin lama lukisan itu hancur gambarnya. Pudar. Pelukis itu tetap terdiam sembari samar air matanya menyatu dengan gerimis yang turun dari kabut. Tak ada suara. Ia tak menangis. Hanya air matanyalah yang menangis.  


Ridwan

Tarian Rumi


Tuan Asmara namanya, tinggal di kota tempat Tuhan menciptakan dan dianggap diciptakan. Orang-orang mengemasnya agar bisa dibagikan dan dijual kepada yang lain, dan agar nilai-Nya terasa. Harganya mahal sekali. tak sembarang bisa membelinya. Sekali ini ia butuh Tuhan. Penisnya mengkeret, rupanya buruk sekali. ia percaya Tuhan mampu menguatkan hati dan penisnya, lalu membaguskan rupanya. Tapi Tuhan mahal sekali. perempuan juga mahal sekali. seharga rupa dan penisnya.
Ia melihat Tuhan dijual di toples-toples kaca, di toples-toples plastik, dan di botol-botol air mineral. Ia ingin membelinya tapi takut harganya mahal sekali. ia lalu mencari cara; lalu ia pergi ke masjid-masjid dan gereja. Ia cari keran yang memancarkan Tuhan dengan gratisnya setiap hari. Ia menadahnya dengan botol bekas air mineral sebanyak-banyaknya. Ia bawa pulang dan disimpan di tempat yang terjaga.
Setiap hari ia menjadi pengunjung masjid dan gereja. Keperkasaannya bertambah, sebab minum air keran yang memancarkan Tuhan. Ia begitu menikmati proses ketika: ia membuka keran. Ia menadahkan botol. Tuhan mengalir deras. Botol berguncang, lalu terpenuhi Tuhan. Ia menutup keran. Ia menimang-nimang botol. Ia mengocoknya sedikit. Mencium bau segar-Nya. Ia membawanya pulang. Diambilnya sebuah gelas kaca. Ia menuangkannya hati-hati. Tersenyum licik dan ngeri. Gelas penuh. Didekatkannya gelas itu ke mulut, dibauinya sejenak. Ia minum-Nya dengan hati-hati.
“Aku haus, aku haus
Haus sekali
Tuhan basahi aku basahi aku”
Begitu setiap hari, sampai ia merasa sangat perkasa dan jantan. Sangat-sangat perkasa. Satu perempuan tertarik padanya. Kuning bening kulitnya. Mungil manja bibirnya. Matanya menyala dan liar. Tangannya kecil dan lincah menemukan kegelian laki-laki. Buah keperempuanannya lembut, tapi ranum. Tak cukup tinggi tapi juga tak pendek sekali. kedua kakinya seperti ingin berlari-lari mesra dan mengapit kelelakian dengan sempurna.
Dua perempuan tertarik padanya. Rupanya hampir sama, tetapi hatinya lebih manja. Siap berbagi penis dan memegangnya berdua. Di kanan dan kiri, seperti dua malaikat yang memanen buah-buahan yang tumbuh dari laki-laki kedalam keranjang kewanitaannya. Semakin hari semakin Tuhan adanya, semakin Tuhan adanya, dan keran-keran air di rumahnya juga memancarkan Tuhan.
Kebiasaannya menadah air di gereja dan masjid membuatnya dikenal sebagai si penadah air. Ia lalu air Tuhan itu kepada siapapun yang lewat, karena ia sendiri merasa harus membagi-bagikan itu. Pun tubuhnya semakin Tuhan saja, meminum Tuhan setiap hari membuatnya makin seperti Tuhan. Air itu mempengaruhi perawakannya.
Lonceng gereja berdentang setiap kali Jesus turun dan membagikan kelelakiannya ke seluruh dunia, ke seluruh dunia termasuk tempat tuan Asmara berada. Tuhan mengalir sampai jauh, mencampuri darah dan air benih-benih dimana manusia diciptakan darinya. Perempuan dan laki-laki mengalir sampai jauh, sampai Tuhan berhenti alirannya.
Semakin hari, semakin Tuhanlah ia. Semakin bercahaya. Janggut dan matanya tegas. Laki-laki sekali. dadanya bidang berambut. Tangan kekar. Yang lebih Tuhan, penisnya yang menirdayakan perempuan-perempuannya. Ia berlari-lari kecil dalam kamar dan telanjang, kanak-kanak yang polos tanpa busana. Penisnya menggantung-gantung dan memanggil perempuannya. Perempuan-perempuannya datang dan telanjang juga, buah dadanya mengayun-ayun. Belahan panggulnya yang sintal berguncang, dan pintu keperempuanan mereka memancarkan aroma mawar yang meruah dan mengalir kedalam penis Tuan Asmara. Mereka terus berlarian sampai berkeringat. Tertawa-tawa kecil. Sekali-sekali menyentuh, sekali-sekali mencolek.
Suatu ketika, Tuan Asmara merebahkan dirinya di dipan putih tua. Penisnya terbuka, perutnya terbuka, dadanya terbuka. Ia siap menerima hutan-hutan pinus yang manja. Perempuan-perempuannya mengerti, mereka menindih Tuan Ahmad. Yang satu menanti di sisi, sambil mengurut-urut kedua sayap perempuannya. Yang satu membukakan pintunya, kunjungan penis ia terima dengan perlahan. Jari-jemari saling meremas dan menghangatkan. Maju-mundur malu-malu dan tersipu. Buah dada perempuan itu mengusap-usap dada Tuan Asmara yang berdentang seperti tinju. Perutnya yang halus, membimbing pintu dan tamunya terus bercengkrama. Panas membuncah, sebuah kesepakatan dibuat. Penis menjatuhkan diri di pelukan manja liang perempuannya.
Pada perempuan kedua tangannya lebih lincah, ia membelai-belai sayap perempuan itu agar bisa terbang dan mengajaknya serta. Tangan perempuannya lebih leluasa, jemarinya yang lentik dan halus kuning langsat memijit-mijit manja penis Tuan Asmara. Lalu ketiganya tertawa sepanjang malam itu, sampai pagi terbit dan matahari baru mandi yang muncul juga tertawa-tawa. Masih tanpa busana, mereka mandi bersama.
Dari busa-busa sabun beterbangan cinta. Putih warnanya. Harum aroma bunga. Bergemericik air dipermainkan Tuan Asmara dan kedua wanitanya. Saling membersihkan dari kotoran-kotoran. Terus-menerus digosok sampai bening dan tersisa Tuhan saja tanpa noda. sampai badan ketiganya harum sekali dan bening sekali.
Tuan Asmara terus meminum Tuhan yang memancar-mancar mengalir dari keran masjid dan gereja. Ia merasa tak akan pernah cukup hausnya, tak akan pernah sampai puasnya. Ia lantas tak lagi menggunakan gelas, ia langsung minum dari botolnya. Ia tuangkan sampai basah janggut dan dadanya. Ia lakukan itu setiap hari dan setiap malam bersetubuh kembali ia dengan kedua perempuannya.
Ia benar-benar menghayati ketika teguk demi teguk Tuhan membasahi lehernya, memasuki lambungnya, dan memasuki metabolisme darahnya. Darahnya lebih jernih, dan tubuhnya serasa tak akan tua. Botol demi botol Tuhan dari keran air masjid dan gereja ia teguk, tak juga memuaskan dahaganya. Ya. Suatu waktu ia mulai merasakan hausnya tidak wajar. Hausnya tak bisa dipuaskan. Hausnya haus sekali.
“Basahi aku Tuhan basahi aku
Haus sekali Tuhan aku haus sekali”
Ia mulai lupa pada wanitanya. Ia kini memusatkan perhatian pada botol-botol Tuhannya. Yang bisa ia reguk setiap hari, memuaskan hausnya. Pada satu pagi, kehausan menjalari mulutnya. Panas dan kering sekali. ia minum satu reguk Tuhan dari gelas kaca. Hausnya malah merambat sampai bibir dan lehernya. Ia reguk sepuasnya Tuhan di botol-botol air mineral, hausnya menjalar sampai paru-parunya. Nafasnya haus sekali. panas sekali. kering sekali. sesak sekali. ia siramkan air ke lehernya langsung, agar segarnya lebih kuat lagi. Kini hausnya ia rasakan mengelupaskan kulit tangannya. Panas. Tangannya kehausan dan seperti terbakar, mengerut dan mengerut seperti diasapi dan dikeringkan. Ia berlari, ia lepas bajunya. Ia kepanasan sekali. ia lari, ia lepas celananya. Ia lari, ia kepanasan sekali. ia lepas celana dalamnya, hingga penisnya yang kehausan juga nampak. Seluruh tubuhnya seperti diperas, ia menggigil kehausan dan gemetar. Ia berlari, ia mencari keran Tuhan tempat Tuhan dipancarkan dan bisa diminum sepuasnya. Ia lari, ia lari, panasnya semakin mengejarnya dan mengeringkan kulitnya. Matanya merah. Kulitnya kisut. Nafasnya sesak sekali. telanjang tanpa busana dan perlindungan.
Sampai di keran Tuhan di masjid ia buka kerannya, ia putar sampai lubang yang paling menganga. Tuhan memancar mengalir deras sekali dan Tuan Asmara mandi tapi makin kering juga tubuhnya, ia balurkan Tuhan pada sekujur kulitnya, tapi makin mengering saja. ia gemetar, ia melompat-lompat sementara Tuhan makin mengaliri tubuhnya.
Sambil berteriak-teriak “Aku haus, aku haus!” katanya.
“Aku haus, aku haus!”
“Aku haus, aku haus!”
“Basahi aku Tuhan basahi aku, biarkan aku dibanjiri alir-Mu!”
“Aku kering, aku kering, basahi aku Tuhan basahi aku!”
“Aku haus minumi aku Tuhan minumi aku!”
“Aliri aku aliri aku!”
Sementara di rumah, perempuannya kebingungan, laki-lakinya hilang dan ditemukan sedang menari-nari Rumi di keran masjid. Tuhan, Tuhan, katanya. Tuhan, Tuhan, basahi aku, katanya. Seperti ketika malam persetubuhan dengan mereka berdua: basahi aku, basahi aku, basahi kami!
Perempuan-perempuan itu berlari sambil menari mengejar Tuan Asmara yang menari-nari kehausan, dan menyerukan nyanyian kehausan. Sampai di tengah kota, perempuan-perempuan itu melihat banyak laki-laki, dan mengejarnya. Mereka mengoyak-ngoyak setiap celana dan menari-nari di depan penis laki-laki di seluruh kota. Mereka terus mengejar dan tidak menyisakan sedikitpun penis di kota itu.
Satu demi satu laki-laki di kota itu dikoyak celananya dan ditarik-tarik lembut penisnya. Diajaknya menari seperti orang-orang kehausan yang gemetaran dan berputar-putar. Penis-penis yang menegang digenggam itu berlari, berlari, berlari mengejar-ngejar perempuan yang mengoyak-ngoyak celananya. Terlanjur ikut merasa haus dan ingin menari juga. Sementara Tuan Asmara masih terus dialiri di keran Tuhan namun tak juga hilang kering dan hausnya.
Sampai pada senja hari, tepat ketika Tuan Asmara larut dalam kehausan dan tersapu aliran air dari keran masjid menuju gorong-gorong dan kanal irigasi yang dialiri Tuhan, semua laki-laki di kota itu tanpa busana menari-nari, penisnya terbuka. Celananya terbuka, dibuka. Kedua perempuan Tuan Asmara yang mencari juga menari, lalu membentuk formasi tarian roda gigi, dan kedua perempuan sebagai porosnya. Saling menggenggam penisnyadan mereka menari-nari seperti roda gigi yang terus berputar seperti galaksi, lalu menyanyikan kehausan mereka. Terus menerus menggoyang-goyangkan penis mereka.
Perempuan di tengahnya meronta-ronta dan menyanyikan kehausannya seperti sangat dahaganya. keduanya mengusap-usapkan dara kemaluannya seperti sedang berdoa, seperti sedang berdoa. keduanya memeras-meras payudaranya seperti Maria menyusui Jesus pertama kalinya. Tanpa busana , tanpa busana! Pantatnya yang sintal dan kepalanya yang indah di ayun-ayunkannya dan bernyanyilah keduanya karena hausnya!
Mata rantai itu teguh dan tak tergoyahkan, sampai satu ketika sakral tarian itu sampai dan api cinta di pusat roda gigi membuncah, sperma bersemburan dari para lelaki dan membasahi kedua perempuan di tengah putaran. Semuanya berseru, semuanya berseru: Aaaaah! Aaaah! Semakin haus, semakin keras semburan. Semakin dahaga si perempuan. Semakin basah keduanya. Semakin basah keduanya! Semua lelaki itu orgasme, dan melenguhkan nyanyian-nyanyian kehausannya. Semuanya orgasme! Sambil terus mengeratkan genggaman dan menguatkan rantai roda giginya, terus memuncratkan sperma ke tengah, kepada kedua perempuan yang sedang menari karena kehausan dan dibasahi sperma dari laki-laki di kotanya. Iramanya semakin orgasme, semakin orgasme! Dan dara kemaluan kedua perempuan demikian pula adanya! Aaah! Aaah!
Terus menggenggam, terus mengecilkan roda sehingga makin lekat pada kemaluan kedua perempuan itu dan semakin muncrat mereka seperti keran Tuhan yang melarutkan Tuan Asmara! Semakin basah mereka!
Tarian Rumi yang sempurna!
Semuanya berseru dalam orgasme dan tercipta paduan suara yang indah dan bergelora!
Semuanya muncrat!
Semuanya muncrat!
Semuanya menguatkan genggaman!
Semuanya menguatkan genggaman!
Aah! Aaaah! Aaaah! Omm Parararraaraa! Omm Parararrraaaa!
Ommm paraaararararaaaaaaaaaaa!
Semakin lama tarian mereka makin cepat, dan semuanya tanpa busana. Sambil menyanyikan lagu haus mereka terus menari, dan nyanyian mereka begini bunyinya:
“Aliri kami Tuhan aliri kami
Yang haus sekali Tuhan haus sekali
Kering sekali Tuhan basahi kami
Yang haus dan Tuhan basahi kami...”



Ar-Risalah

Di Laut Selatan.

            
Malam hari. Pantai itu begitu sepi. Pantai selatan lebih tepatnya. Ada desas-desus mengatakan bahwa penguasa laut selatan mengamuk. Ia menghadirkan gelombang besar yang menyapu daerah sekitar pantai. Masyarakat menjadi heboh dan ketir-ketir dengan keadaan ini. Mereka tercengang. Dari mitos berubah menjadi sebuah petaka yang harus dipercaya.
            Pantai selatan ditutup sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
            Beberapa pengunjung tetap nekat datang di malam hari. Maklum, malam hari penjagaan pantai kurang ketat, sehingga pengunjung gelap bisa leluasa memasuki pantai tersebut. Dan ketika pagi harinya mereka yang gelap akan ditemukan. Hanya saja berupa jasad. Ruhnya sudah tidak melekat lagi. Begitu murkanya ia. Dan setiap malam selalu ada gelombang besar. Hingga akhirnya tidak ada lagi pengunjung gelap.
            Masyarakat setempat yang biasa datang untuk mencari nafkah tidak kena murka. Sehingga para nelayan tidak ambil pusing. Bahkan mereka lebih bisa menikmati sebatang rokok saat pantai selatan menjadi sepi. Dan yang biasa mendapatkan keuntungan dari pengunjung, kini kembali menjadi nelayan. Hasil tangkapan sudah bisa memenuhi kebutuhan dan menjadi salah satu barang komoditas ekspor.
            Para pengusaha gelisah. Mereka tidak ingin menggulung brangkasnya cepat-cepat. Sebagian dari mereka ada yang belum balik modal katanya. Bisa dicekik para penagih. Sebagian dari yang lain ada yang belum melunasi cicilan ini-itunya. Juga bisa dicekik para penagih. Akhirnya mereka semua berkumpul untuk mencari solusi. Mereka memintah petuah kepada orang paling pintar. Setelah mendapatkannya, sesajen mulai terlihat.
Dan gelombang tetap ganas jika  ada pengunjung.
Malam itu. Pantai yang sepi. Penguasa laut selatan. Roro Kidul. Sedang berkeliling pantai menggunakan kereta kudanya yang gagah berjalan di atas gulungan ombak. Kuda yang menarik keretanya ada dua. Yang satu berwarna putih, dan yang satu lagi berwarna hitam. Ia berkeliling bukan untuk patroli. Laut sudah diberikan titah. Sehingga mereka akan bergerak secara otomatis. Kini ia lebih suka merenung. Berjalan-jalan di sekitar pantai selatan adalah cara ia merenung.
Tentang dendam. Ia tak pernah punya dendam. Bahkan saat ia ditulah karena kedengkian yang bersumber dari orang lain. Ia tak dendam. Ia bahkan berdoa untuk keselamatan orang yang memberinya penderitaan sekaligus jalan menuju keabadian. Ia tak merenungi sebuah dendam.
Terkadang ia sedih melihat banyak sesajen berserakan di pantainya. Ia sedih karena mereka yang membuat sesajen, tidak tahu tujuannya apa. Hanya ikut-ikutan. Takut sial. Betapa bodoh, pikirnya. Ia tak membutuhkan itu untuk keabadiannya.
Keabadian membuatnya pilu. Sudah berapa generasi yang ia saksikan jatuh bangun. Dan kini hadir generasi yang kian jatuh. Tidak bangkit-bangkit. Tidak bangun-bangun. Begitu lama. Keburukan adalah konsumsi utama.
Dan kini, pantai kesayangannya dibuat perbudakan. Perbudakan yang halus. Pantainya dibuat menjadi tempat melakukan kesalahan oleh pemuda-pemudi. Pantai yang ia cintai menjadi tempat kemusyrikan.
Dan ia hanya murka dengan penyimpangan.
Ia berhenti di sebuah pantai yang indah. Pasir putih dan beberapa batu besar yang muncul dari permukaan. Pada malam hari bulan begitu bulat menemaninya. Ia tersenyum kepada para nelayan yang mulai memainkan perannya. Dan ia juga tersenyum kepada manusia yang datang ke pantai itu untuk merasakan Tuhannya. Ia tersenyum. Cantik. Dan tidak kasatmata.
Pantai berusaha diamankan dari kesalahan.
Ia turun dari kereta kudanya. Berjalan ke arah laut. Permukaan laut menjadi begitu tenang. Ia merasakan kembali laut yang dulu dicintainya. Kemudian ikan-ikan menghampirinya. Mengajaknya menari. Tarian yang elok begitu basah dengan riak gelombak kecil. Ia tersenyum. ikan-ikan sudah mau menemaninya lagi. Kini perenungannya juga akan diisi tarian dan senyuman. Dan laut melindunginya.
Dari kejauhan. Terlihat sepasang mata terus memperhatikan tarian indah Roro Kidul. Ia begitu tertarik. Ia membawa tombak bermata tiga. Berkendaraan kereta perang yang ditarik 4 mahluk berbadan setengah kuda dan setengah ikan, biasa ia panggil hippokampos. Ia bertelanjang dada.
Ia begitu terpana melihat Roro Kidul yang menari begitu gemulai. Ia ingin memilikinya. Begitu ingin. Ia ingin menghampiri, namun niatnya diurungkan. Kini di depannya hadir sesosok yang juga membawa tombak bermata tiga. Ditemani dua ekor lumba-lumba. Ia menggunakan hiasan kepala. Ia menghadang sambil tersenyum licik.
“Apa para wanitamu sudah tidak memuaskan, Poseidon?”
 “Hahaha. Pertanyaan bodoh macam apa itu?”
Ketawanya memecah langit.
“Aku yakin kau ingin memilikinya.”
“Neptunus... tahu apa kau tentang aku?”
“Siapa yang tidak tahu bahwa kau ini mempunyai reputasi buruk terhadap wanita. Tak cukupkah Medusa menjadi tumbal dari buah kekacauanmu dalam mengendalikan hawa nafsu?”
Poseidon terdiam. Ia jadi teringat masa lalunya. Ironis jika pada akhirnya Medusa pun harus mati di tangan Perseus. Untuk kepentingan Zeus yang gampang dibodohi.
“Cukup Neptunus. Kau tidak usah ikut campur.
“Kita serupa tetapi tidak sama. Kau hanya lahir di bawah bayang-bayangku.”
“Angkuh sekali kau. Dan aku kesini untuk menjadi satu-satunya dewa yang menguasai air di bumi ini. Sudah siap enyah?”
“Jangan kau lupakan Nethuns. Ingatlah kita bertiga masih bersaing untuk mendapatkan peran tunggal.”
Lalu Neptunus melempar kepala Nethuns ke hadapan Poseidon. Ia tersenyum.
“Pantas keberadaannya tak bisa lagi kurasakan.
“Jadi hanya tinggal kita berdua ya.”
Mereka bertatap mata. Harus ada yang tunggal. Kemudian mereka bertarung. Hippokampos dilepas oleh Poseidon untuk membantunya, tapi kedua lumba-lumba bawaan Neptunus tidak tinggal diam dan menghadang hippokampos yang mencoba menyerang Neptunus. Berhadapanlah mereka berdua.
Roro Kidul tetap menari bersama ikan-ikan. Ia menyadari kedatangan Poseidon dan Neptunus. Laut selatan adalah dirinya. Apa saja yang ada di dalamnya bisa dirasakannya. Ia tidak peduli. Ia baru saja menumpas penyimpangan. Ia ingin menari-nari terus. Sampai waktu yang tidak ditentukan.
Dan Poseidon sudah berada di hadapannya.
Bersama dengan badan yang mengucur darah di berbagai lekukan. Kereta perang yang hancur di beberapa bagian, ditarik oleh satu hippokampos. Tangan kirinya memegang tombak yang kini tinggal bermata satu... setengah. Dan di tangan kanannya, ia memegang kepala Neptunus dan Nethuns.
Roro Kidul menatap dengan ramah. Ia kagum terhadap Poseidon yang bisa mengalahkan Neptunus. Tapi ia juga sempat berpikir bahwa Neptunus sedang dalam kondisi kelelahan sehabis mengalahkan Nethuns. Karena pertarungan antar dewa pasti akan menghasilkan banyak tsunami, seperti yang baru saja terjadi di tempatnya.
“Tuan mau apa?”
“Aku menginginkanmu.”
“Aku abadi, apakah Tuan bisa mengimbangi keabadianku?”
“Aku juga abadi.”
“Oh begitu. Maaf aku tidak tahu.
“Dan... bagaimana Tuan mendapatkan keabadian?”
“Begini nona.
“Manusia menyembahku. Itulah yang kubutuhkan untuk keabadian dan kekuatanku.”
“Tuan, kalau memang begitu. Aku akan membunuhmu dengan mudah.”
Poseidon tercengang. Itulah air muka Poseidon yang sekarang kepalanya dipegang oleh Roro Kidul. Ia begitu merasakan siksaan yang amat terasa, saat kepalanya dicabut dari badannya oleh Roro Kidul hanya dengan tangan. Begitu memedihkan.
Lalu Roro Kidul memandangi ketiga kepala yang sekarang ada di hadapannya. Lalu ia pandangin lama wajah Poseidon yang tak lagi bisa angkuh.
“Bodoh, sekarang hanya debu yang menyembahmu.
“Debu yang menempel di sisa kejayaanmu.
“Dan itu bukan Manusia.”
Lalu Roro Kidul melihat hippkampos yang ketakutan. Hippokampos itu tidak kuat lagi bergerak.
“Tenang, kau akan menjadi bagian keluarga di sini.
“Dan aku tertarik dengan warna sisikmu.”
Kemudian ia meminta laut selatan untuk menguburkan apa yang terjadi setelah peperangan. Roro Kidul kembali menaiki kereta kudanya. Mengambil sesajen yang berserakan di pantai. Sesajen itu ia gunakan untuk melaksanakan hobinya. Memberi makan ikan dari tangannya.
Dan Zeus yang memerhatikan dari tadi di olimpus sedang sibuk meracik manusia baru, untuk kepentingan keabadiannya.





mnash mei 2013

Antrokan.1

            
Matahari tepat berada di atas kepala. Sinarnya terik. Ragam pepohonan. Hamparan sawah tumpah ruah dengan keelokan sengkedan dan tarian padi yang mulai merendah. Sungai dan anak-anaknya tak luput. Puncak gunung yang terlihat begitu megah. Beberapa hewan dan tumbuhan sesekali menyapaku dengan senyum.
            “Sejuk...”
            Kira-kira beberapa hari yang lalu. Aku lupa tepatnya. Kakiku menginjak kota pahlawan. Matahari berkuasa disana, mungkin juga karena dibantu pesisir dan racun yang mengisi kadar udara. Begitu pekat. Sebuah potret kezaliman.
            Pada akhirnya aku sampai dengan sebuah keputusan untuk mencukupkan perbekalan dan berjalan. Meninggalkan sebuah tempat ramai. Jika kau mau tahu, aku lebih suka sepi. Aku berjalan. Terkadang menumpang truk-truk yang hilir laju, masuk dan keluar.
            Dan sampai ke tempat ini.
            Aku terus melangkah. Desa, ya tempat ini adalah sebuah desa. Hal ini bisa kuketahui dari sebuah gapura. Aspal dan lampu jalan sudah berkenalan dengan desa ini. Tubuhku ditemani irama hewan dan barisan tumbuhan yang jarang kutemukan. Kau tahu? Rasanya aku ingin berlama-lama disini.
            “Awas!!”
            Teriakanku dihiraukan.
            Seorang anak kecil di tengah jalan, terlalu sibuk dengan bola di kakinya, tidak menyadari truk yang melintas tidak jauh di belakangnya. Dia masih belum sadar akan hal itu. Aku lepaskan tas dan berlari, kemudian menariknya ke pinggir jalan. Tak lama berselang. Truk itu lewat membawa batangan pohon sengon dengan kecepatan tinggi. Aku rasa ngantuk si pengemudi.
 Terlambat empat sampai lima langkah. Mungkin hari ini akan ada sebuah pemakaman.
            “Makasih ya nak.”
            Wanita paruh baya menghampiriku. Wajahnya pucat. Habis menahan panik sepertinya.
            “Sudah ibu bilang, jangan bermain di jalanan. Kau tahu kan, di sini truk sering lewat!”
            Anak itu hanya diam sambil menggaruk-garuk kepalanya. Aku tak tahu apa kepalanya benar-benar gatal. Pandangannya iba menatap bolanya yang hancur terlindas. Mungkin dipikirannya ia bertanya, bagaimana kalau kepalanya yang ada di posisi bola itu. Mungkin.
            Setelah kujelaskan tujuanku ke desa ini. Sri, wanita paruh baya itu, mempersilahkanku untuk beristirahat dirumahnya. Sepuluh menit kira-kira jarak antara rumah Sri dengan tempat aku bertemu dengannya. Aku berbincang sambil jalan, terkadang dengan Sri, terkadang dengan anaknya, atau terkadang dengan alam yang masih asri.
            Rumah Sri. Ramah dan luas. Pekarangannya dihiasi kolam ikan dipadukan dengan bunga-bunga padma. Beberapa bilik masih terpasang. Sederhana namun bernuansa kearifan lokal. 
Kami makan siang bersama. Setelah itu Sri pergi mengunjungi suaminya sambil membawa rantang. Aku duduk di pekarangan. Belum bosan menikmati apa yang ada di sini. Setiap orang yang melintas saling menegur sapa. Begitupun aku juga disapa, terkadang dengan suara, terkadang hanya dengan wajah.
Beberapa kulihat mata mereka menanti. Mata seorang istri yang sedang menanti kepulangan suaminya. Mata seorang suami yang sedang menanti kepulangan istrinya. Atau mata seorang ibu yang sudah rentan menanti kepulangan anak-anaknya, dari negeri antah berantah.
“Banyak dari warga sini yang ke Malaysia, mas.”
Bocah yang tadi kuselamatkan sudah berada di sampingku. Surdi namanya. Tiba-tiba berkata demikian. Bocah dua belas tahunan yang mempunyai logat khas.
Mungkin sebagian besar banyak yang menjadi tenaga kerja di luar. Tanah ini sudah tidak lagi menjanjikan.
“Di sini ada antrokan mas.”
“Oh ya. Apa itu antrokan?”
“Air terjun, mas. Besar.”
Matanya begitu semangat membayangkannya.
“Jadi.. antrokan itu artinya air terjun?”
Surdi mengangguk sambil mengunyah cemilan yang juga menjadi orang ketiga di pekarangan ini.
“Bisa kau antarkan aku kesana? Hm... kalau perlu ajak beberapa temanmu.”
Wajah surdi berubah. Ada garis-garis ketakutan yang terkuak.
“Yah mas. teman-temanku ndak boleh sama orang tuanya.”
“Kenapa?”
“Katanya, di sana ada ular besar, monyet gila, dan banyak setannya.”
Dengan mitos dan desas-desus rupanya, para orang tua melarang anaknya. Menakut-nakuti.
“Kalau kamu boleh?”
“Ndak tau mas, coba tanya bapak ibukku.”
Senja mengisi langit. Sri dan suaminya telah sampai rumah. Aku berkenalan dengan suaminya setelah ia mandi. Aku heran. Mereka begitu memercayaiku. Terimakasih masih bisa mengenal niatku yang memang tidak ingin merugikan siapapun.
Sehabis isya aku meminta kepada Sri dan suaminya, Parjo namanya. Aku meminta Surdi untuk menjadi pemanduku mengunjungi antrokan besok pagi. Aku ingat betul, ada dua pesan yang harus aku pegang erat.
“Jaga baik-baik keselamatanmu dan anakku.”
Ini dari Sri.
“Jika sudah sampai, jangan kau berdiri tepat dibawah air terjunnya.
“Cukup kau berdiri di batu terakhir, aku yakin itu sudah memuaskanmu.”
Ini dari Parjo.
Aku dan Surdi berangkat di iringi kicau dan doa dari Sri dan Parjo.
“Kira-kira satu jam, mas. Kita sampai di sana.”
Aku hanya mengangguk. Setelah kulewati habis jalan aspal, kini tiba jalan setapak bebatuan yang menemani kami. Suasana alam makin kental. Suara-suara hewan dan rerimbun pepohonan yang mengapit jalan menjadi penyemangat.
“Surdi mau kemana kamu?!”
Tiba-tiba ia berlari ke arah pepohonan. Ya, aku panik. Kesurupan kah? Bisa saja aku kejar dia, tapi resikonya aku akan nyasar. Aku masih mematung. Kakiku bimbang untuk bertahan atau melangkah.
Dikebingungan ini, datanglah Surdi dengan sebuah durian di tangannya. Wajahnya begitu ceria. Kemudian dia ambil batu dan menghantam durian itu.
“Makan mas, legit.”
“Kamu mencuri?”
“Loh ndak, mas. Saya nemu di tanah. Ndak memetiknya.”
Aku tersenyum. durian ini menambah senyumku.
Kami melanjutkan perjalanan. Makin melangkah, makin sejuk.
“Itu mas, antrokan!!”
Surdi antusias dan berlari kecil menuju batu untuk lebih jelas melihat antrokan. Aku menghampirinya. Belum sampai aku padanya.
“Surdi!!”
Batu yang dipijakkan Surdi longsor. Aku masih ingat bahwa suara aliran sungai menyatakan arus mereka kuat. Dan tujuan longsoran batu itu adalah ke arah sungai. Ke arah sungai. Surdi ikut menghilang bersama runtuhnya batu itu. Aku berlari.
“Perlu bantuan?”
Tangan Surdi memegang akar pohon yang kuat mencuat dari tanah. Wajahnya tidak panik. Wajahku panik. Naiklah dia, tanpa bantuanku. Bocah ini seringkali membuatku deg-degan.
“Ayo mas, sebentar lagi sampai.”
Proses menuju titik air terjun memang tidak mudah. Keindahannya mengandung resiko. Susah payah aku dan Surdi, melewati deras, licin, atau lumpur yang menjerembab. Kadang aku lemah. Namun kau tentu tahu, aku tak gampang terpuaskan.
Air terjun ini. Baru kali ini aku melihat yang jarang terjamah tangan manusia. Itu bisa dibuktikan tak adanya plastik-plastik kemasan atau tulisan-tulisan di batu-batu besar yang tertanam di dasar sungai dan muncul di permukaan.
Dan akhirnya aku berada di batu terakhir. Tepat di depanku air berterjunan. Jarakku amat dekat. Pertemuan itu menghasilkan hempasan yang indah. Bias warna,  angin, dan air terbang dengan kuat ke arahku. Aku rentangkan tanganku. Aku resapi tiap-tiap butirannya.
Aku ingin tepat berada di pertemuannya. Surdi memegang celanaku.
“Cukup, mas. Kau ingat pesan bapak kan?
“Coba ambil bambu yang panjang itu dan ukur kedalamannya dari sini.”
Ya... ya, aku ingat. Aku ambil dan aku ukur. Dasarnya tidak kutemukan. Bambu ini panjangnya tiga kali tubuhku.
Aku tersenyum kepadanya.
“Iya, cukup.”




mnash desember 2012(diketik : mei 2013)

Bisu.

            
Aku datang ke ranah pemakaman yang disemayami beribu jasad. Tuan matahari memantau tepat di atas kepala. Pakaianku hitam. Mungkin sebagian orang akan berkata aku sedang berziarah. Nyatanya tidak. Aku ke tempat ini untuk sesuatu yang lain.
            Langkah demi langkahku, melewati nisan-nisan yang bisu. Begitu bisu hingga aku bisa melihat sebuah kesunyian abadi. Kesunyian yang akan aku rasakan juga nanti atau sekarang.
Beberapa orang sedang sibuk menaburkan bunga dan menuangkan air mawar. Sesekali mata mereka melihatku, dan selebihnya tidak memedulikan. Aku pun tidak peduli.
Telah sampai aku kepada dua makam berdampingan. Tanahnya masih basah. Bunga dan wewangiannya masih kental kurasakan. Beberapa meter di antara kedua nisan, pohon kamboja begitu lirih menemani makam ini. Tak sanggup menjadi sebuah peneduh. Kemudian, di sekitar pohon kamboja, beberapa bunga-bunga dan daun-daunnya gugur menghiasi.
Aku berdiri mematung. Melipat tangan dan terus menatap makam itu. Mataku sayu terus dijejali ruang-ruang masa depan yang begitu dilema. Lidahku membeku. Kemasygulan tak henti-henti mengisi sukmaku. Kupandang kedua nisan itu dalam-dalam. Kakiku lemah hingga akhirnya lututku menyentuh tanah. Mataku semakin sayu. Aku terus pandangi kedua makam itu dengan wajah lemah. Aku menyangsikan kemarin dan hari ini.
Pohon kamboja begitu setia berdiri di depanku. Kerut di batangnya nampak jelas terlihat. Aku tanya dia,
“Tuan, apakah ini nyata?”
Pohon kamboja itu diam. Tak pedulikah dia? Aku sungguh butuh jawaban. Aku tanyai dia lagi,
“Tuan Pohon Kamboja, apakah ini nyata?”
Pohon kamboja itu tetap membisu. Aku bertanya sekali lagi.
“Tuan Pohon Kamboja, tolong jawab aku, apakah ini nyata?”
Pohon kamboja hanya diam. Dia tetap tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya peduli pada angin yang sesekali menggugurkan bunga dan daunnya. Denganku, dia tak peduli.
“Baiklah tuan, terima kasih atas bisumu.”
Kemudian aku lihat bunga kamboja putih pasi baru saja gugur dari pohonnya. Aku hampiri dia. Mungkin saja pohon itu menjawab melalui bunga yang gugur ini. Aku tanya dia,
“Tuan, apakah ini nyata?”
Bunga kamboja itu diam. Kenapa dia juga tak mau menjawab. Mungkin bunga itu hanya akan menemani makam ini sampai kering menelannya. Aku coba bertanya lagi,
“Tuan, apakah ini nyata?”
Bunga itu tetap tak menjawab. Aku urungkan niatku untuk bertanya lagi.
Aku kembali menatap kedua makam ini. Aku ambil satu bunga mawar dari kedua makam. Aku lihat mawar itu sudah mulai layu dan wanginya sudah ditelan suasana. Aku tatap dalam-dalam kedua mawar itu. Cukup lama, kemudian aku tanyai dia,
“Tuan-tuan, apakah ini nyata?”
Kedua mawar itu tidak menjawab. Mereka lebih memilih pergi bersama angin ketimbang berada di telapak tanganku. Mereka tak menjawab dan meninggalkanku.
Pada siapa aku harus bertanya. Bahkan semalam bulan yang kutanyai juga lebih memilih menarik mendungnya. Bertanya pada tuan matahari lebih seperti memanggang mata. pada akhirnya aku terdiam.
Aku lihat nisan yang berada di sisi kiriku. Sepertinya sepi. Aku tatap, masa lalu muncul begitu saja. Mataku berkaca. Aku tanyai dia,
“Istriku, apakah ini nyata?”
Nisan itu terdiam. Tak apa kalau tidak mau menjawab.
Aku beralih ke nisan yang berada di sisi kananku. Kaca di mataku meleleh. Aku tanyai dia,
“Nak, apakah ini nyata?”
Aku terisak-isak. Tak apa, tak apa kalau tidak mau menjawab. Kalian berdua tak apa kalau tidak mau menjawab. Silahkan tidur dengan nyenyak. Aku harap posisinya nyaman untuk kalian.
Aku tahu dengan siapa aku akan bertanya. Aku mengadahkan kepalaku ke langit. Dengan wajah mengiba dan suara lirih aku bertanya,
“Tuhan, apakah ini nyata?
“Jawab aku, apakah ini nyata?
“Tidakkah kau tahu bahwa Kau juga mengubur aku bersama dengan makam ini. Tidakkah kau tahu?
“Jika Kau tak menjawabku, maka aku berdoa pada-Mu,
“Tolong juga kuburkan jasadku.”
Dan aku terbaring di antara makan ini menunggu Tuhan.



mnash mei 2013 

Jalan Layang.


Jika kebanyakan orang ingin menghabiskan waktu sorenya dengan menatap matahari yang akan tenggelam, mungkin mereka akan ke pantai. Sesekali melirik gulungan ombak. Mengajak pasangan. Memanggang daging, atau paling tidak jagung. Live music. Indah bukan. Iya. Tapi itu mereka.
            Aku juga suka melihat detik-detik matahari hilang. Namun tidak di pantai. Tidak bersama pasangan. Tidak juga dengan memanggang daging ataupun jagung. Live music? Ada.
            Ya memang pantai bukan tempat satu-satunya menghabiskan matahari. Aku memandang matahari di atas sebuah jalan. Kau tentu tahu jalan layang? Ya aku biasa menghabiskan soreku di atas sana. Tentu tidak di tengah jalan. Hanya di pinggirnya. Sesekali melirik kemacetan. Terkadang pengamen suka asik menyanyikan lagu untukku. Ini live music bukan? Dan aku juga bisa memakan daging panggang atau jagung bakar, dari kemasan. Meski hanya rasanya saja. Indah bukan? Paling tidak menurutku.
            Aku juga ingin menghabiskan matahari bersama pasangan. Sayangnya... syarat utama membawa pasangan tidak kupunya. Tebakanmu benar. Aku masih belum mempunyai pasangan. Tetapi ini bukan suatu ironi. matahari tetap berjalan. Dan aku masih bisa menikmatinya.
            Hari ini orang-orang yang punya hobi sama sepertiku jarang terlihat. Jalan layang itu begitu sepi. Jarang orang di pinggir jalan. Mugkin karena mendung. Tetapi aku sudah lihat ramalan cuaca, di sini tidak akan turun hujan, atau bahkan gerimis sekalipun. Dan matahari masih tetap terlihat sempurna. Dan mereka yang tidak ke sini karena takut hujan telah tertipu.
            Matahari masih belum akan habis. Dari sini aku biasa melayangkan pikiranku. Kemana-mana. Kasihan otakku jika pikiranku terus berkecamuk. Lebih baik aku terbangkan. Meski nanti dengan sendirinya akan datang kembali. Untuk sesaat... tak apalah.
            Terkadang ingin juga aku membawa seseorang, tak usah pasangan tak apalah. Hanya seseorang yang mau merasakan juga keindahan ini. Sambil berbincang tentang matahari yang akan tenggelam dan bercabang-cabang entah kemana. Asyik bukan? Kau mau? Ayolah, ini tidak aneh. Kau hanya perlu mengubah sedikit pandanganmu tentang indah. Ah yasudah jika kau tidak mau. Aku sendiri saja.
            Beberapa meter di sampingku ada seseorang yang juga sedang menatap matahari. Aku berharap dia juga suka menikmati matahari dari sini. Tetapi aku baru liat dia kali ini di sini. Mungkin jalan layang yang biasa dia pakai sudah penuh, sehingga pindah ke sini.
            Kasihan orang ini kalau aku perhatikan lebih lanjut. Rambutnya panjang tak beraturan. Kusut. Pandangannya kosong. Ada warna kehitaman di bawah matanya. Bibirnya pecah-pecah. Aku yakin dahulu bibirnya ranum. Pergelangan tangannya penuh lecet dan tanda luka. Badannya kurus. Kurus yang mencirikan dia jarang makan. Atau tak mau makan.
            Dia terus memandangi matahari. Hanya saja tatapan matanya tajam. Tidak damai seperti yang biasa menikmati matahari. Mungkinkah dia marah kepada matahari? Tapi kenapa matahari begitu bersalah padanya? Dia mulai meracau. Suaranya lirih. Aku juga tidak tahu apa yang dikatakannya. Mungkin kalau aku bisa membaca gerakan bibir. Apa yang diucapkannya akan kuceritakan padamu.
            Aku mulai tidak memedulikannya. Biarkanlah. Hak dia jika dia memang ingin menatap tajam matahari dan memaki-makinya. Itu urusan dia. Aku ingin menikmati matahari seperti biasanya. Dengan tatapan damai. Dengan menerbangkan pikiranku. Menikmati sepenuhnya.
            Senja mulai datang. Beberapa orang yang ke sini untuk menikmati matahari sudah mulai bergegas melanjutkan aktivitas lain. Aku? Aku juga sama. Aku ingin melanjutkan pekerjaanku. Berbincang dengan bulan dari atas genting rumah. Ya rumah siapa saja yang bisa kunaiki.
            Tetapi orang di sampingku tidak juga meninggalkan tempatnya. Dia tetap menatap tajam langit. Dia tetap meracau. Kau benar juga. Dia tidak marah pada matahari. Tapi pada siapa? Kepada langit? Ada baiknya jika aku dekati dia. Aku ingin menanyakan dengan siapa dia marah. Kau setuju denganku? Baiklah. Aku dekati dia dengan langkah pelan. Supaya tidak mengusik.
            Aku sudah di sampingnya. Dia tidak lagi meracau. Malu mungkin. Ya malu denganku. Tetapi dia tak memedulikanku. Dia tetap menatap tajam langit. Ya aku tahu apa yang kau inginkan. Aku tanyai dia kan? Baik, baik.
            “Permisi. Bolehkah saya tahu dengan siapa anda marah?”
            Perlahan dia menoleh padaku. Tatapan matanya seperti orang tidak peduli. Lama dia menatapku. Matanya tidak tajam. Aku cari dia didalam matanya. Tetapi tidak ada. Kosong.
            “Apa pedulimu?”
            “Maaf jika mengganggu. anda menatap tajam dan meracau kepada matahari dan juga langit. Mungkinkah anda marah kepada keduanya?”
            Lama dia terdiam. Masih tetap menatapku. Aku pun menatapnya. Dia mulai memainkan rambutnya yang kusut. Menjadi bertambah kusut.
            “Maaf. Apa anda tidak mau menjawab saya?”
            “Kau benar-benar ingin tahu?”
            Aku mengangguk. Tatapannya menjadi dalam kepadaku. Dalam sekali hingga mataku seperti di tekan oleh sebuah tekanan yang luar biasa.
            “Aku marah kepada jagat raya.”
            “Kenapa anda memarahi matahari dan langit?”
            “Ya mereka hanya perwakilan saja.”
            “Baik. Hm... lalu kenapa dengan jagat raya?”
            “Ya. Dia membiarkan sebagian orang untuk tinggal. Dan kau mau tahu apa yang dilakukan sebagian orang itu hingga aku marah?”
            Aku mengangguk lagi. Mengangguk pelan. Dengan wajah tercengang.
            “Sebagian orang itu adalah keluargaku. Selama empat tahun aku dikurung di dalam sebuah gudang. Tak lupa pasung yang merampas kebebasan jasadku.
            “Tadi sore aku berhasil kabur. Ya selesai sudah kayu pasung itu aku gerogoti.”
            Ternyata giginya yang hancur karena itu. Iba aku melihat orang ini. Ini kota, dan ternyata di kota ada yang seperti ini. Semakin mirip desa yang ada di dongeng.
            “Hm.. dan kenapa anda bisa dikurung dan dipasung?”
            Makin tajam tatapannya.
            “Entah, aku disangka sesat, gila, dan sebagian bilang aku jelmaan setan.
“Kau tahu... aku hanya bilang kepada keluargaku untuk tidak mementingkan menghafal kitab-kitab Tuhan. Belum  lagi selesai aku bicara. Aku sudah di bungkam dan tidak dibiarkan bicara.
            Wajahnya menjadi sedih. Air mata mulai berjatuhan. Tatapannya tak lagi tajam.
            “Tidakkah mereka tahu bahwa aku belum selesai berbicara. Mereka terlalu kolot.
            Ia mulai meratapi tangisnya.
            “Aku hanya ingin menjelaskan bahwa lebih penting memahaminya sebagai panduan hidup.
“Sekarang mereka luntang-lantung. Terpecah belah. Terbukti mereka hanya menghafal tanpa mengerti apa isi kitab itu.”
            Dia menangis tersedu-sedu. Cukup lama aku menunggunya kembali tenang.
            “Lalu sekarang anda mau apa?”
            Dia belum menjawab. Isak masih sesekali menghampirinya.
            “Akan aku adukan mereka kepada Tuhan atas perbuatanya.”
            “Dengan menyalahkan jagat raya?”
            “Apa kau bodoh? Tentu tidak.
            “Aku akan menemui Tuhan.”
            “Maaf jika anda tidak setuju. Tetapi dengan kontruksi tubuh ini. Manusia seperti saya dan anda belum mampu.”
            “Iya saya setuju akan hal itu. Untuk itu saya kesini.
            “Kematian adalah pintu menuju Tuhan.”
            Kemudian dia tersenyum padaku. Dia melompati pagar pembatas dan terjun bebas. Tubuhnya menghempas aspal. Aku bisa lihat dari sini darah menyembur dari tubuhnya.
Sebuah bus dengan cepat melindasnya. Aku lihat beberapa bagian tubuhnya terlepas dari bagian tubuh yang lainnya. Dan beberapa bagian tubuh mengeluarkan isinya.
            Oh iya, aku lupa bilang kepadamu. Saat dia tersenyum kepadaku. aku pun membalas senyumannya dengan senyumanku yang paling manis. Dan terus tersenyum saat berkata lirih,

            “Cara anda yang ini salah.”


mnash mei 2013