Senin, 25 Februari 2013

Kegenitan Berfilsafat Dengan Ajaran Pemikiran Agama Islam "esai"



            Bila kita cermati hubungan filsafat dengan pemikiran agama Islam dapat kita temukan adanya ketidakcocokkan antar keduanya. Bilamana lebih codong pada salah satu, permisalkan filsafat maka pemikiran kita terhadap agama Islam tidaklah begitu kuat. Sedangkan apabila pemikiran kita begitu kuat diwarnai oleh pemikiran agama maka pemikiran tentang filsafat sudah tentu tidak mungkin terjadi. Dalam agama Islam tentunya mesti kita ketahui bahwasanya berfilsafat dilarang, oleh sebab karena filsafat lebih mengedepankan akal dibandingkan dalil, maka jelas hal ini bertentangan dengan prinsip agama Islam yang segala sesuatu harus mengedepankan Al-Quran dan Al-Hadist. Dalam pemahaman Islam akal yang harus menyesuaikan dengan Al-Quran dan Al-Hadist bukan malah Al Quran dan Al-Hadist yang menyesuaikan dengan akal karena Al-Quran dan Al-Hadist tidak akan bertentangan dengan akal.
            Dalam sastra sering kita temukan ada beberapa karya yang mengangkat tema cerita yang jauh membuat pembacanya berpikir tentang apa yang disajikan oleh sang penulis. Tema cerita ini biasanya begitu banyak membawa hasil berpikir sang penulis ke dalam tulisannya, tak ayal pembacanya sering menyebut karya itu begitu berfilsafat. Berfilsafat dalam suatu karya bagi yang memegang kepercayaan Islam sudah barang tentu bertabrakan dengan pemikiran agama yang melarang berfilsafat. Kita pun tentu dibuatnya begitu bingung antara pemikiran berfilsafat dan pemikiran ajaran agama.
            Bilamana kita mempelajari ilmu-ilmu dasar tentang filsafat, sebagai contoh adalah kasus saya. Sering saya temui pengajar filsafat terlalu membawa kita pada teori-teori pembahasan yang bila diaplikasikan pada contoh-contoh kegiatan berfilsafat pada akhirnya sampailah kita pada Tuhan sebagai akar dari kegiatan berfilsafat yang tidak dapat dibahas lebih lanjut.        
            Dalam pemikiran filsafat di sastra sering kita temui bahwa pengangkatan tema dalam tulisan oleh pengarang lebih condong pada tema-tema kehidupan yang banyak bergejolak di samping kita. Jarang sekali kita menemui adanya pemikiran filsafat di sastra mencapai pada Tuhan─ walau pun ada tetapi sedikit jumlahnya. Tema-tema sufisme yang banyak mengangkat agama jarang ada pengarangnya berfilsafat di karyanya.
“Langit Makin Mendung” Ki Panji Kusmin mungkin adalah salah satu karya yang begitu dalam pemikiran filsafatnya begitu ekstrim menurut saya, sehingga dalam tokoh-tokohnya banyak mengambil nama-nama yang begitu suci nilainya dalam agama. Lain halnya dengan Seno Gumira Ajidarma, karya-karya banyak dinilai pembaca sebagai komikal filsuf. Karya Seno begitu banyak membuat pembacanya menilai bahwa di setiap karya-karyanya merupakan hasil pemikiran filsafatnya.
            Bila kita bandingkan antara “langit Makin Mendung” Ki Panji Kusmin dan karya-karya Seno Gumora Ajidarma yang dua-duanya menggunakan pemikiran filsafat, begitu terlihat jauh perbedaan kadar-kadar filsafatnya. Terlepas dari salah satunya pernah memasuki meja hijau, tema cerita dan pemikiran karyalah yang mestinya diperhitungkan dengan lebih cermat antar keduanya.
            Kegiatan berfilsafat dalam karya-karya sastra dalam mata agama Islam pula memasuki kawasan yang sama dengan hanya berkegiatan filsafat biasa. Hanya saja berfilsafat dalam karya-karya sastra, kegiatan itu telah dimasukkan ke dalam sebuah karya. Baik dalam mau pun di luar karya, pemikiran agama tetaplah berlainan dengan pemikiran filsafat. Agak disayangkan jika kita terlanjur mengetahuinya, kebimbangan tiba-tiba saja muncul antara menumpahkan pemikiran filsafat dalam setiap karya-karya kita dengan pemikiran agama yang melarang kegiatan filsafat.
            Ada pula sebaiknya menurut pemikiran saya, kita kembali berkaca kepada tujuan kita dalam menulis atau menghasilkan karya sastra, demi apakah sebenarnya kita berkegiatan sastra? Bila dalam karya-karya kita terdapat pemikiran filsafat tetapi tujuan dari pesan yang ingin kita sampaikan memiliki nilai yang positif, saya kira dalam pemikiran agama Islam pun yang mengajarkan nilai-nilai positif tidak akan bertabrakan sedemikian jauh. Dan sekiranya kesadaran tentang agama pun semestinya kita bawa dalam kegiatan bersastra kita agar terbangun pemikiran yang begitu sehat.


            Ridwan

Bendera



Anak kecil itu berdiri di balik sebuah pagar tinggi yang pada pertengahannya terdapat celah-celah dari pipa-pipa besi yang dibuat pada bagian atas pagar. Dilihatnya ke dalam, ratusan anak-anak berseragam putih-putih sedang berbaris mengikuti alunan lagu Indonesia Raya yang menyeruak di udara bersama tangan-tangan kanan kecil mereka yang terlipat manis di pelipis menghormati bendera merah-putih yang terus ditarik menuju tiang teratas. Anak itu melihatnya dengan mata yang begitu sendu, terlintas bagaimana sebuah ingatan beberapa hari silam membayang di pikirannya.
                Walaupun biaya sekolah telah gratis namun Ibu tidak dapat membelikankan kamu seragam untuk bersekolah…., itulah ucapan sang Ibu yang terus terbayang ketika ia melihat teman-teman sebayanya bersekolah. Satu kotak donat telah habis di pangkuannya, kini tinggal satu kotak kurang lagi donat yang harus ia jajakan mengitari perkampungan dan juga di halaman luar sekolah ini.
                Matahari di atas seakan membuat kita tahu bahwa waktu seakan telah beranjak menuju siang. Anak kecil itu tidak berjalan menjajakkan donatnya mengelilingi perkampungan, ia hanya berdiri di luar pagar sekolahan  memperhatikan bendera merah-putih yang terus berkibar di atas tiang sana karena tiupan angin yang begitu kencang tanpa diterhalang apapun.
                Setiap hembusan angin yang begitu kencang menyerbu setiap penjuru bendera si atas tiang sana seakan memberikan sesuatu ke dalam benak anak itu. Setiap detiknya sesuatu itu semakin deras menabrak benaknya sehingga dengan seketika wajah anak itu tiba-tiba saja menengok ke kanan dan kiri memperhatikan suasana sekolah yang begitu sepi aktivitasnya, kecuali yang berada di dalam kelas dan beberapa penjual mainan di samping kanan dan kirinya yang tengah sibuk tanpa melakukan apapun.
 Mencuri bendera yang berkibar megah di atas tiang bendera sana itulah yang terbesit dari keinginan anak itu. Ia memanjat pagar sekolahan ketika penjaga sekolah tengah pergi dari pos tempatnya berjaga. Dan diam-diam menurunkan bendera dari atas tiangnya dan kembali pergi sebelum orang-orang menyadari bahwa ada yang mencuri bendera.

“Assalamulaikum…” ucap anak itu sembari membuka pintu rumah.
“Waalaikum salam…” jawab sebuah suara hangat Ibunya sembari mengusap-usap tangannya yang penuh tepung karena sedang menggoreng beberapa donat yang akan dijual untuk besok, “sudah habis semua nak?”.
“Sudah Bu, ini uangnya” anak itu memberikan uang hasil berjualan donat pada Ibunya dan meletakkan kotak donat di atas meja.
“Alhamdulillah, itu apa nak?” Ibunya menunjuk pada sebuah plastic hitam di tangan anak itu.
“Ohh i.. ini Bu, Yandi dapat kain dari tetangga. Katanya ini bisa dibuat seragam sekolah buat Yandi” agak kikuk jawab anak itu.
“Mana coba Ibu lihat?” anak yang bernama Yandi itu memberikan sebuah plastic hitam pada Ibunya, “lho inikan bendera nak?”.
“I.. iya Bu”.
“Memang siapa yang memberikannya?”.
“Tadi pas Yandi berjualan donat, ada orang yang memberikannya Bu, Buat Yandi”.
“Lho katanya dari tetangga?” agak mengernyitkan dahinya Ibu Yandi.
“Iya Bu, soalnya orang itu baik jadi Yandi bilang dia tetangga Bu”.
                “Alhamdulillah, nanti Ibu bawa ke pejahit ya biar Yandi besok bisa sekolah”.
                “Iya Bu” sebuah senyum senang keluar dari wajah anak itu.

                Beberapa suara pintu diketuk berbunyi dari sebuah pintu ruangan Kepala sekolah.“Ya silahkan masuk” ucap Kepala sekolah. Ibu dan anak masuk ke dalam ruangan itu. “Silahkan duduk Bu” ucap Kepala sekolah dengan ramah, “Ada yang bisa saya bantu Bu?”.
                “Ini Pak, anak saya Yandi ingin mendafar masuk ke sekolah ini”.
                “Ohh iya Bu, silahkan isi beberapa formulir ini dulu” Kepala sekolah menyodorkan beberapa lembar kertas beserta dengan pulpen, “Namanya Yandi ya Bu?.
                “Iya Pak” jawab singkat dari Ibu Yandi.
                “Baru sekolah tahun ini ya?”.
                “Iya”.
                “Tapi bagus juga, padahal belum menginjak sekolah tapi sudah bisa baca dan tulis. Jadi tidak perlu ikut pendaftran siswa baru tahun depan, sekarang pun langsung dapat diterima”.
                “Ini Pak, sudah selesai diisi”.
                “O iya terima kasih Bu. Silahkan nanti saya antar Yandi ke kelasnya” Kepala sekolah membimbing anak dan Ibu itu keluar dari ruangannya, membawanya ke kelas nanti tempat Yandi belajar, “o iya Bu. Ibu sudah dengar berita buruk yang terjadi di sekolah ini?”.
                “Belum Pak, memang berita buruk seperti apa?”.
                “Ya beberapa hari yang lalu ada pencurian bendera di sekolah ini”.
                “Astaga, bendera merah-putih Pak” sejurus sebuah pikiran tidak menyenangkan melintas dibenak sang Ibu terhadap anaknya, Yandi.
                “Iya Bu. Nah mari ini sudah sampai kelasnya. Mulai dari sini Ibu sudah bisa percaya kepada kami untuk membimbing anak Ibu”.
                “Ya Pak, terima kasih. Yandi Ibu pulang dulu ya”.
                “Iya Bu”.
                “Kamu belajar yang benar ya nak”.
                “Ya Bu” sebelum Ibunya pergi Yandi mencium tangan Ibunya dan ikut bersama Kepala sekolah masuk ke dalam kelas.
                “Perkenalkan anak-anak ini ada teman baru yang baru masuk sekolah hari ini. Namanya Yandi” ucap Kepala Sekolah di depan kelas, “Silahkan duduk di sana” sembari menunjuk kea rah bangku kosong di sebelah anak di sudut kelas. “Mohon maaf Bu. Silahkan dilanjutkan pelajarannya”.
                “Baik Pak”.
                Kepala Sekolah meninggalkan ruangan pelajaran.
                “Nah naik anak-anak tidak usah ribut. Nanti saja perkenalannya setelah pelajaran usai”.
                “Baik Bu”.
                Pelajaran pun kembali dimulai dengan Ibu Guru menjelaskan beberapa lembar dari buku LKS.
                “Eh nama aku Dani” seorang anak di samping Yandi agak berbisik.
                “Namaku Yandi”.
                Tangan Dani menyentuh baju Yandi dengan sengaja, “kok baju kamu bahannya beda ya dengan baju aku. Punya kamu seperti bahan bendera ya?”.ber
                “Ahh bukan kok!’ agak panik wajah Yandi mendengar ucapan Dani.
                “Iya aku tahu kok. Soalnya kemarin aku yang jadi pengibar bendera”.
                “Ah bukan kok!”.
                “Kamu bohong ya?” agak keras tangan Dani menarik baju Yandi.
                “Nggak kok!” dengan sekuat tenaga Yandi mencoba melepaskan tangan Dani dari bajunya.
                “Bohong kamu! Jangan-jangan bendera kemarin yang hilang kamu yang mencurinya?!”.

                “Bukan!”.
                “Ayo mengaku saja kamu!” Dani tetap tidak mau melepaskan tangannya dari baju Yandi. Tiba-tiba Yandi yang merasa marah, mendorong tubuh Dani hingga terjatuh ke lantai. Terdengar pula baju Yandi yang sobek.
                “Ada apa ini?” teriak Bu Guru.
                “Itu Bu, Yandi ternyata yang mencuri bendera kemarin yang hilang!”.
                Yandi yang begitu kaget seakan-akan terlihat begitu pucat wajahnya. Segera ia berdiri dari bangkunya dan langsung berlari keluar ruangan.
                “Yandi mau ke mana kamu?!” ucap Bu Guru, “Dani apa-apaan kamu ini?!”.
                “Benar Bu, Yandi yang mencuri bendera sekolah kemarin! Ini buktinya” Dani berjalan perlahan mendekati Bu Guru sembari menyerahkan sobekan baju Yandi.
                “MasyaAllah” Bu Guru melihat sobekan baju Yandi, “cepat kalian cari Yandi. Ibu akan pergi menemui Pak Kepala Sekolah.
                Percakapan di ruang kepala sekolah terjadi begitu hebat. Di sana hampir semua guru meninggalkan ruangannya dan beradu argumen.
                “Sudah Bapak-bapak dan Ibu-ibu, tidak perlu diributkan seperti ini. Mungkin Yandi mendapatkannya dari tempat lain” Kepala Sekolah menenangkan suasana.
                “Tidak mungkin Pak. Sekolah satu-satunya yang ada di daerah ini hanya satu dan sekolah lainnya jaraknya begitu jauh”.
                “Baiklah kalau begitu, kita buktikan saja pendapat kita masing-masing” keringat dingin keluar dari dahi Kepala Sekolah, “Pak Rustam, bapak sebagai Pembina osis di sekolah ini pasti mengenali cirri-ciri bendera kita yang hilang bukan?”.
                “Tentu saja Pak. Di ujung sebelah kiri bendera sekolah kita terdapat tanda melintang bergaris hijau yang begitu tipis. Bila mata kita tidak teliti melihatnya mungkin garis itu tidak akan terlihat”.
                “Baiklah kita tunggu orangtua dari anak tersebut yang sedang dipanggil Pak penjaga sekolah”.
                Pintu ruangan kepala sekolah dibuka oleh Yandi yang masuk dengan wajah tertunduk. Tak berapa lama Ibu Yandi memasuki ruangan.
                “Pak apa yang terjadi dengan anak saya?!” begitu khawatir wajah Ibu Yandi.
                “Mohon Ibu untuk duduk sejenak” Ibu Yandi duduk di hadapan Kepala Sekolah.
                “Silahkan Pak Rustam untuk mengecek baju Yandi”.
                “Lho memangnya ada apa ini Pak?!”.
                “Tenanglah sejenak Bu. Ibu sudah tahu bukan kasus tentang pencurian bendera di sekolah kami”.
                “Ya?!”.
                Kepala Sekolah mengangguk dan segera mengalihkan perhatiannya pada Pak Rustam yang sedang meneliti baju Yandi. Ibu Yandi hanya menlihat Yandi dengan tatapan tajam. Yandi tertunduk lesu.
                “Benar Pak. Ini tandanya” Pak Rustam menunjukkan sebuah garis tipis di balik baju Yandi.
                “MasyaAllah!” sebuah tatapan tiba-tiba saja di arahkan kepada Ibu Yandi.
                “Itu apa Pak?!” tanya Ibu Yandi penasaran.
                “Ini tanda bahwa bahan kain yang dipakai Yandi adalah bendera sekolah yang hilang kemarin”.
                “Astaga Yandi” air mata Ibu Yandi keluar tak tertahankan. Yandi yang dari tadi telah tertunduk meneteskan air mata yang membasahi lantai ruangan.
                “Kami dengan berat hati memohon maaf untuk Ibu dan Yandi. Kami tidak bisa menerima seorang siswa yang memiliki perilaku buruk di sekolah ini. Kami sekali lagi memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Ibu dan Yandi” agak berat terasa suara Kepala Seolah,”kami berjanji tidak akan memanggil pihak kepolisian”.



Ridwan

Sebuah Kisah Untuk Hari Esok




Panel I
                Hujan rintik-rintik membasahi tanah hutan yang gembur. Daun-daun pepohonan dan tumbuh-tumbuhan meneteskan setiap bulir air hujan yang jatuh tertahan olehnya, menyentuh tanah. Aroma mesiu begitu menyengat hidung ditambah dengan amisnya darah yang mulai basah setelah mengering di atas kain baju. Air yang mengalir dari langit mulai membasahi mayat-mayat yang perlahan darahnya bersatu dengan aliran air.
                Pasukan berbaju putih berbaris menutup jalanan menuju bukit. Pasukan mereka telah dipukul mundur.              
                “Cepat bawa pasukanmu mundur!” seorang manggalayuda dari pasukan lain memberitahu Wisamarta yang membariskan pasukannya menutupi jalan dan tidak ikut mundur ke dalam bukit.
                “Sebagai manggalayuda, aku akan tetap di sini. Memberikan waktu untuk Pangeran memasuki daerah hutan”.
                “Apa-apaan kau ini?!”.
                “Cepatlah pergi. Lindungi Pangeran!”.
                Manggalayuda itu pergi memacu kudanya, menyusul pasukannya yang dititahkan untuk melindungi Pangeran bersama pasukan pelindung Pangeran.
                Dari jauh terlihat pasukan Kompeni telah tiba. Jumlahnya ratusan bahkan semakin bertambah hingga ribuan.
                “Allahhu Akbar!” teriak Wisamarta yang kemudian diikuti teriakan pasukannya dengan diiringi bunyi letusan senapan dari berbagai arah.
                Banyak tubuh-tubuh yang bergelimpangan di kedua kubu. Ketika bunyi letusan senapan telah berhenti, pasukan Wisamarta mencabut pedangnya dan berlari menyongsong lawan. Seketika banyak terjadi tubrukan-tubrukan antar tubuh. Ada yang jatuh hingga terpental, ada pula yang tertusuk bayonet dan pedang-pedang lawan, dan ada pula yang berhasil menusuk lawannya. Pertarungan yang berlangsung terjadi begitu sengit, suara tebasan pedang bercampur dengan suara kematian tubuh-tubuh yang tertusuk dan tertembak.
                Wisamarta berlari menyongsong seorang Jendral yang duduk di atas kuda sembari menyabetkan pedangnya pada musuh. Mula-mula tebasan pedangnya ia sabetkan pada leher sang kuda hingga keseimbangannya terjatuh dan Jendral di atas kudanya terjatuh. Dengan sigap Wisamarta menendang pedang di tangan Sang Jendral. Diduduki tubuhnya, diarahkan pedangnya di atas leher Sang Jendral.

……..
ngluhurke asmane wong tua
dadia pendekaring bangsa
cup menenga anakku
kae bulane ndadari kaya ndas buta nggilani
lagi nggoleki cah nangis
tak lela lela lela ledung
……
            Sebuah lantunan lagu tiba-tiba saja menyeruak di telinga Wisamarta membawa pikirannya melayang jauh pada sebuah masa.
            “Sudah tidur?”.
            “Iya Kang mas” suara lembut perempuan yang sedang menidurkan bayinya begitu indah di pendengaran Wisamarta, “sudah larut, kok masih saja belum tidur. Besok kau bekerja”.
            “Tak apa, aku ingin sekali mendengar nyanyianmu itu. Merdu sekali”.
            “Masih aja genit” sebuah senyuman terlihat mewarnai wajah cantik perempuan itu sembari mletakkan tubuh anak mereka ke atas tempat tidur.
            “Baiklah kalau begitu, aku akan pergi beristirahat” Wisamarta berjalan perlahan melewati ruang tamu mematikan setiap api penerangan ruangan sebelum ia pergi ke dalam kamar.    
            Tiba-tiba saja suara ketukan pintu membuat Wisamarta terkejut dan mengurungkan niatnya untuk mematikan api penerangan.
            “Siapa Mas?”.
“Assalamualaikum” ucap seorang dari balik pintu.
            “Tidak tahu” Wisamarta berjalan membukakan pintu, “waalaikumsalam”.
            Seorang berpakaian perang rapi dengan pedangnya muncul dari balik pintu. “Tuan Wisamarta”.
            “Ya”.
            Sepucuk surat bertanda keraton diserahkan prajurit itu, sebelum ia pergi menghilang di kegelapan malam.
            “Surat apa Mas?”.
            Dibuka olehnya surat itu. Dibaca perlahan setiap kata-kata dalam surat itu. “Surat perintah perang dari pangeran”. Ditatapnya mata istrinya. Dipeluk tubuhnya lalu dicium keningnya.
            Tangan sang Jendral yang menarik kerah baju Wisamarta tiba-tiba membuatnya tersadar. Sang Jendral mencoba meronta, namun tak bisa karena tubuhnya telah tertindih kedua kaki Wisamarta.
            “Bunuh aku!” teriak Jendral yang sudah menyadari bahwa hidupnya kini ada di tangan Wisamarta, “Kenapa kau diam saja?!”.
            Tiba-tiba air mata Wisamarta menetes di atas wajah sang Jendral. Air itu ia kira rintikan hujan dari langit, namun mata ia masih begitu awas untuk melihat mata Wisamarta yang mengeluarkan air. Ia terkejut.
            “Kenapa kau tidak membunuhku segera?”.
            Wisamarta tetap menangis.
            “Kenapa kau menangis?! Cepat bunuhlah aku”.
            “Aku memohon padamu, hentikanlah semua ini” dilepaskannya tubuh Jendral itu.
            Gelagapan Sang Jendral ke sana-ke mari mencari senjata. Tak jauh ia melihat sebuah pistol. Ditodongkan pistol itu ke arah Wisamarta.
            “Rakyat telah menderita. Kami berjuang untuk menghilangkan penderitaan rakyat namun, rakyat semakin menderita. Seakan perjuangan kami adalah salah”.
            Tiba-tiba sebuah pedang menembus dada Wisamarta. Di hadapan Sang jendral seorang prajurit Kompeni membunuh Wisamarta. Sang Jendral yang terkejut hanya diam saja, membatu.
             



Panel II
                “Seru juga nih komiknya” ucap seorang anak pada temannya, “dapat dari mana?”.
                “tidak tahu. kakakku yang membelinya kemarin”.

                                                                                                                *Dari sebuah komik pendek karya salah satu komikus Indonesia


Ridwan

Sabtu, 23 Februari 2013

Topeng Monyet



Tiap pulang kerja, mataku selalu iseng memperhatikan Topeng Monyet dan Pawangnya, yang mangkal tepat di seberang istana. Jalan Merdeka memang sangat padat. Memaksa mata siapa saja yang melewatinya pantang melihat kedepan karena jenuh, tetapi menengok istana yang megah, atau ke arah lapangan Monas yang sangat permai.

Ia mangkal tepat dibawah reklame yang dipasangi spanduk kampanye calon presiden. Ada foto dua orang yang sangat besar, dengan kualitas editan yang buruk, lalu ada nomor urut. Janjinya banyak, mulai dari utara hingga selatan. Kontras dengan taman Monas di belakang reklame itu, yang segar dan hijau.

Jika lampu merah menyala, ia akan memainkan Monyetnya kesana-kemari di trotoar, bersamaan dengan berhentinya motor-motor dan pejalan kaki yang antre. Mulai dari Monyetnya yang berlagak kehujanan, memegang payung warna pelangi, berlagak perang menenteng senapan kayu kecil yang dicat putih, hingga mengenakan rok mini seperti banci. Pawangnya mengendalikan si Monyet dengan seringai senyum aneh sambil berkata-kata.

Tentu, ada jalan cerita dan hikayat yang terus dirapalkan sang Pawang. Dulu ketika kecil, di Depok, aku sering mendengarkan si Pawang itu bercerita tentang si Monyet, yang kadang dinamai Mumun, Mimin, Maman, Eman, atau yang lain—yang penting ada imbuhan -man di belakang namanya—berkelana ke berbagai tempat dan menyamar menjadi beragam tokoh.

Cerita itu kadang begini bunyinya: Suatu pagi si Mimin ingin belanja ke pasar, membeli timun, kol, terong, teri dan petai. Maka si Mimin Pergi Ke Pasaaar (pawang melemparkan keranjang kecil). Pulang dari pasar, si Mimin kehujanan! (pawang melemparkan payung mini yang segera disambar si Monyet). Kata bapak si Monyet, kakeknya dulu adalah pejuang kemerdekaan. Begini caranya, si Mimin Jadi Pahlawaaan! (melemparkan senapan kayu kecil).

Si Pawang setengah baya. Berkumis lebat, menggantung seperti krim diatas kue ulang tahun keponakanku. Hanya, yang ini warnanya hitam. Hitam, sering berjemur di panasnya Jalan Merdeka. Ia selalu mengenakan topi koboi putih, kaus lusuh yang kadang putih kadang hitam, celana setengah betis, dan sandal kulit hitam yang tua dan hampir lapuk.

Kandang si Monyet kecil sekali. Hanya cukup ia berjongkok di dalamnya seperti burung nuri yang dikurung. Warnanya hijau bergaris kuning dan hitam. Sambil makan pepaya atau pisang, ia menanti-nanti saat pentasnya di panggung bata trotoar Jalan Merdeka yang panas bila disentuh tanpa alas kaki.

Satu kali, aku terjebak lampu merah agak lama dan sempat kudengarkan suaranya yang khas seperti tukang hikayat dari Melayu mendendangkan cerita, diselingi irama gambang mainan, kendang plastik, dan kadang ketukan kayu di kandang kotak sang Monyet. Suaranya agak keras, tebal, namun parau. Karena ia selalu bercerita dengan senyum lima senti, maka entah kenapa ceritanya selalu terdengar lebih ceria dari seharusnya. Lebih mampu menonjolkan kesan jenaka.

“Si Mimin keeehujanaaan!” lalu si Monyet memegang payung yang dilemparkan Pawang.
“Si Mimin kepanasaaaaan!” lalu si Monyet berlagak membuka baju dan minum beer. Kaleng kosong.
“Si Mimin jadi pahlawaan kemerdekaaaan!” maka si Monyet menyambar senapan dan mendadak, dengan suaranya yang berat dan parau si Pawang melagukan Hari Merdeka milik H. Muntahar:

“Tujuh belas Agustus tahun empat lima! Itulah hari kemerdekaan kita (sambil menatap Monyet, seolah kemerdekaan ‘kita’ adalah kemerdekaan si Pawang dan si Monyet) hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia! Merdeka!”

Kendang dan gambang mengiringinya dengan bunyi teratur, namun tak bernada. Maklum, alatnya sederhana dan tidak di desain untuk mengiringi nyanyian lagu kemerdekaan.
Sampai sini, nyanyian biasanya berhenti karena lampu hijau menyala dan ia harus segera mengambil uang yang berserakan. Percuma diteruskan, takkan ada yang mendengar.

Monyetnya sendiri biasa saja, warnanya cokelat keunguan, mungkin sejenis dengan spesies Monyet hutan yang sering juga kutemui jika aku berlibur ke curug-curug di Puncak sana. Taringnya panjang, sering dikeluarkan ketika tuannya menarik rantai di leher, hingga ia meringis.

Kasihan juga, sih. Sering si Monyet membangkang, misalnya jika aku iseng pulang sebelum jam empat, hari sangat panas, dan si Monyet dipaksa menari. Ia terlihat sangat kehausan, dan menatap murung pada sang Pawang yang minum minuman berenergi warna kuning yang baunya seperti urin.

Ia lantas guling-gulingan, muka ditutup topeng, dan memegang senapan. Banyak juga orang yang memberikan uang. Terhibur, sirkus trotoar ini menarik sebetulnya. Entahlah. Aku sendiri memang suka melihat ini, dari pada mendengarkan pengamen yang suaranya diakrobatkan seperti Monyet itu juga, tetapi malah terlihat seperti main-main.

Akan tetapi, tetap saja. selepas lampu merah Jalan Merdeka itu, aku memikirkan sesuatu. jika setiap main ada lima orang memberi uang, seribu, dan sehari bisa main sepuluh kali—taruhlah dia datang siang dan istirahat tengah hari, dengan durasi sekali main lima menit—maka ia hanya mendapat sekitar limapuluhribu rupiah.

Itu makanku dua kali. Belum parkirnya. Belum pertamaxnya. Ya, kan?
Masalah si Monyet ini sederhana: ia tak mungkin dipaksa makan nasi.
Dua, ia hanya makan buah. Baik, menurut lawak jam delapan di tivi, ia makan pisang.
Tiga. Yang utama, uang si Pawang tak cukup memberi makan dan minum mereka berdua.
Baiklah. Minggu datang, dan aku memutuskan bersepeda ke lapangan Monas dengan harapan bisa menjumpai Monyet dan Pawangnya. Aku ingin menontonnya sekali lagi dengan santai, dan bila perlu, menghilangkan penasaranku dengan mengobrol.

Benar saja. ia sedang memainkan Monyetnya dengan riang, dan seperti biasa, dengan gaya hikayat, sampai pada bagian menyanyikan Hari Merdeka dan lampu hijau yang muncul seenaknya. Padahal ini hari khusus, dimana mobil dilarang melintas pada hari minggu.

“Dari pagi, pak?” basa-basi, biasa.
“Iya, ini lagi ramai...” mungkin si Pawang ini berpikiran, aku seperti intel.
“Monyetnya bagus.. (sumpah, aku bingung mau bilang apa sebagai pengantar) sehari bisa dapat berapa pak?”
“ya... lumayan, gocap. Nutup makan, lah...”
“Rumah dimana, pak?” aku seperti orang penasaran yang sok akrab, ya?
Selanjutnya, benar dugaanku. Uangnya ini tak cukup menghidupinya sehari-hari. Dulu, ketika aku bekerja di BPS, aku mendapat lelucon tentang orang Indonesia. Pengeluarannya, lumrah dua kali lipat dari penghasilannya. Dan untuk memenuhi kebutuhan, mereka menggunakan cara-cara yang mustahil namun masuk akal.
Hari itu, dia menolak membeberkan rahasianya, darimana ia memenuhi pisang monyetnya, kontrakannya, sepatunya yang baru, dan sedekah bulanan. Namun ia merasa aku seperti sahabatnya dan menjadi kenalan untukku.

Minggu ini adalah musim kampanye terbuka. Banyak janji-janji mewarnai televisi. Pidato mendadak marak ditampilkan, dengan gaya ala-ala Pak Karno.
“Rakyat masih miskin....”
“Pengangguran melimpah...”
“Reformasi gagal....”
“Hanya jika saya terpilih....” sambung calon terakhir.
Ngomong-ngomong, keponakanku yang TK masih cadel. Jika ia melihat kampanye di televisi ia sontak bernyanyi:
“Langit kecil... di bintang yang biru, amat banyak... menghias angkasa....”
Lalu mengajakku melihat topeng Monyet. Padahal, sulit mencari topeng Monyet di sekitar kediamanku sekarang ini. Ah, aku jadi teringat kembali dengan Pawang dan Monyetnya.

Ketika akhirnya hari pemilihan tiba, diadakan penghitungan cepat dan aku tak terlalu peduli siapa yang menang. Pikiranku masih melayang-layang pada Pawang dan monyetnya yang misterius, memainkan atraksinya di bawah reklame calon presiden nomor sekian. Semakin misterius. Zaman sekarang, mana ada orang hidup dengan uang yang kurang, coba? Sejujur apapun dia, pasti ada main.

Akhirnya, minggu itu kuputuskan memaksaanya bercerita. Memang sangat sulit. Bahkan aku tak terlalu peduli siapa namanya. Aku hanya penasaran. Si Monyet yang tak kurus-kurus amat itu—sebagai tanda kemelaratan—memandangiku jelalatan, mencari makanan. Persis seperti laki-laki memandangi perempuan.
Si Pawang akhirnya hanya memberi petunjuk sederhana, nanti malam, dia akan pindah ke seberang jalan, tepat di depan istana. Aneh memang. Kalau malam-malam ‘kan istana tutup, persis seperti toko. Sepi pula. Buat apa ia pindah kesana? Padahal kalau malam, Monas yang ramai.
****
Baik. Kuturuti petunjuknya. Malam itu, dengan berkendara motor dan mengendap-endap dari rumah, aku pergi ke Monas. Jam sembilan malam, tepat ketika anak muda yang besok masuk pagi sekolahnya bersiap pulang dari lapangan Monas. Jalanan lebar jadi lengang. Jakarta Pusat malam-malam begini malah sepi, beda dengan Depok atau Jak-sel dan Jak-tim.

Motor sudah kuparkir, aku menuju tepat ke depan istana merdeka. Benar, kutemukan dia di depan pagar istana. Hanya dia dan monyetnya. Berdua. Heran, kenapa dia seperti berlagak mengikuti monyetnya, ya?
Akan tetapi, setelah aku mendekat, alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati rantai si Monyet kecil yang biasa melekat di leher Monyet, kini tergelang di leher sang Pawang, dan sang Pawang menari-nari layaknya Monyet kecil di siang hari.

Berlembar-lembar brosur kebijakan pemerintah masuk ke kantong bekas permen lusuh tempat ia mengumpulkan receh, dan si Monyet dengan tangkas memainkan gambang dan kendang sambil sesekali melemparkan payung, baju, boneka, apapun yang menjadi alat peraga hikayat Monyetnya.
Tepat di gerbang istana, si Pawang, yang adalah manusia, dipermainkan Monyet kecil dan berlembar-lembar brosur, cek kosong, proposal, serta koran bekas tentang masa pemilihan umum dilontarkan dari dalam istana, namun si Pawang melihatnya, persis dengan tatapan manusia diluaran sana yang melihat uang ditaburkan sekenanya!

Siapa yang melontarkan barang-barang itu? Apa pula maksudnya ini? Istana masih sepi, sepi sekali!
Si Monyet memunguti brosur, majalah, pamplet, dan koran bekas itu persis seperti pada siang hari ketika ia memunguti uang yang dilemparkan penontonnya.

Aku mengepalkan tangan untuk meyakinkan bahwa ini kenyataan, dan semakin terpana ketika si Monyet betul-betul bersuara berat, parau, dan bicara seperti manusia. tepat pada hikayat, ketika si Mimin diharuskan menenteng senjata kayu kecil seperti senapan, dan Pawang biasa menyanyikan hari merdeka milik H. Mutahar dengan suara parau dan senyum lima senti, si Monyet bernyanyi dengan seringai senang menerima brosur dan koran bekas kampanye itu:
“S’kali merdeka tetap merdekaa! Selama hayat masih di kandung badaaan! Kita tetap setia, tetap sedia, mempertahankan Indonesia, kita tetap sedia, tetap setia, membela negara k-i-t-aaaaaaaaaa!”


Ar-Risalah


SAJAK SANG MENTARI PAGI




Suatu hari
Sang mentari pagi menyapaku
“Selamat pagi!
“Apa yang akan kau lakukan hari ini?”
Lalu aku menjawab
“Tidak tahu.”

Keesokan harinya
Sang mentari pagi menyapaku lagi
“Selamat pagi!
“Apa yang akan kau lakukan hari ini?”
Lalu aku menjawab
“Tidak tahu.”

Keesokan harinya
Sang mentari pagi menyapaku lagi
“Selamat pagi!”
“Apa yang akan kau lakukan hari ini?”
Lalu aku menjawab
“Tidak tahu.”

Keesokan harinya
Aku tidak melihat sang mentari lagi 


Deeto Kongou

Ruangan Dongeng



Pernah aku hadiri sebuah ruangan
dimana terdapat dua kepala yang sedang tertunduk
barangkali sudah bersiap untuk terlepas
aku lihat sebuah pemimpin disana
ia berkicau dengan indah mengenai azaz azaz
ia amat menjunjung tinggi tuntutan sebuah kitab
namun kicauan hanya sebatas kicauan itu saja
aku melihat ada sesuatu yang hilang
entah kesadaran atau sengaja tidak mereka sadarkan
dua kepala itu hanya bisa tertunduk
mendengar juru selamat bayarannya
mereka berpidato lantang untuk mempertahankan kepala yang mereka bela
kepala yang memberi mereka sesajen untuk hidup
mereka memulai dengan segala rayuan  untuk memikat sang pemimpin
mereka keluarkan intrik dan muslihat untuk merebut satu tempat yang tersedia
mereka merong-rong dengan mengabaikan sesuatu yang jelas jelas terlihat
bercerita dengan dongeng dongen yang mereka baru karang tadi malam
sang penguasa pun hanya bisa mendengar
padahal kedua bola mata masih terpasang dengan sempurna
apakah ruangan ini pantas untuk hal seperti ini
apakah dengan dongeng kepala siapapun dapat terlepas dari badannya
seandainya sang pemimpin membuka lebar lebar matanya dengan jeli
apakah dongeng itu masih bisa terucap sampai akhir ?
aku tinggalkan ruangan penuh kebutaan itu
dan berharap jika kepalaku kelak yang dipertaruhnkan
Tuhanlah yang menjadi pemimpin di dalamnya


Dos “Boim” Santos
Jonggol, 10.02.13

Sinar Pagi Buta



rembulan tiba gelap menyelimuti jiwa
angin malam menghapus angan-angan
pagi menjelang kicau burung tak berkicau
sinar pagi takkan menyinari kegelapan
malam kelabu masih membutakan jiwa
gelapnya yang hampa tanpa suara
kenikmatan pagi entah begitu sunyi
matahari pagi tak bersinar parasnya
hanya sebuah kesunyian malam
entah malam atau pagi
kelam hati menemani kesunyian
angan-angan jauh telah ditiup angin kepasrahan 
hanya dapat berhayal tanpa sinar pagi kembali bersinar
bungkam suara disini menunggu kembali
melepas hati rela menyendiri



Bani R

MIMPI INDAH KEMARAU



Mimpi indah kemarau
Hujan tak datang tahun ini
Langit merah silih berganti
Dengan tangisan Dewi Sri

Sepasang mata terus mengawasi
Tetesan air yang jatuh lewat keran berkarat
Hampir penuh
Cukuplah kiranya membuat susu
Untuk bocah yang terus mengadu

Mimpi indah kemarau
Perigi kami tak lagi berair
Tidak ada lagi handuk basah
Guna mengusap keringat para pekerja

Mimpi indah kemarau
Di dalam tidur kami bermimpi
Meminum air dari cawan surgawi



Jimmy Hendarta


Rintihan Sebuah Koreng



Saya adalah sebuah koreng 
yang membunuh saya sendiri
bukan seperti koreng koreng lain
yang bau busuknya mampu melenyapkan hidung
yang bersahabat dengan belatung dan lalat
yang mungkin suatu najis yang besar, tidak seperti saya
kebodohan saya adalah mencoba melenyapkan saya sendiri
tetapi saya sadar, bahwa saya hanya akan menghancurkan saya sendiri
tidak seperti koreng koreng lain itu
mereka ada untuk melenyapkan banyak orang
tapi mereka sungguh merdeka
mereka masih bebas dengan bau busuk mereka
mereka masih dapat berkumpul dengan sanak famili
dan mereka masih dapat tertidur bersama pelacur
dengan belatung belatung yang masih bergerayang diatas mereka
mereka menyebarkan banyak penyakit
kenapa saya yang hanya merugikan saya sendiri harus seperti ini
sedangkan mereka yang membawa wabah masih tetap bebas
memang kami sama sama koreng
tapi seorang dokter pun tahu mana yang harus dilenyapkan terlebih dahulu
 mungkinkah kita sedang dirawat oleh dokter gadungan
sehingga buta oleh pelajaran pelajaran diwaktu kuliah
lalu tidak tahu mana yang dapat membunuh
dan mana yang hanya menggelitik

Dos “Boim” Santos
Jakarta. 10.02.13

Kisah Pahit dari Sarajevo


               
Aku masih menikmati kopi pertamaku di pagi ini. Rasanya masih saja pahit sama seperti ingatanku yang sedang melanglang buana ke sana ke mari lalu tertuju pada masa kelam 1 tahun lalu, masa di mana di Negara ini masih hitam, kelam, dan pahit tentunya seperti kopi ini. Andai saja aku tidak mengalami tragedi itu, tentulah hidupku sekarang teramat bangga dan tidak sering meminum kopi pahit, melainkan anggur prancis mungkin.  Tragedi naas yang menimpaku di Februari 1997 itu.
                Aku masih ingat malam itu. malam yang sangat gelap di Sarajevo. Kami semua masih berjalan mengendap-ngendap agar bisa keluar dari kota ini menuju bandara, karena kami ingin terbang ke Negara tetangga kami Kroasia. Agar bisa keluar dari kota ini pula kami harus melewati penjagaan ketat tentara Serbia dan tentunya tentara PBB yang tidak menginginkan siapapun keluar dan masuk dari atau ke Sarajevo ini. Sial memang bagi kami di tengah keadaan perang yang seharusnya sudah berakhir ini kami harus mengemban misi negara. Di tengah perang ini pula kami di haruskan berlatih keras, walaupun hanya di dalam sebuah hall basket yang tidak terlalu jauh dari tempat hujannya peluru. Ironis memang, tapi kami memang harus melakukan itu agar bisa mempromosikan Negara kami yang sangat baru saja merdeka tapi masih sedikit dilanda perang ini.
                Dalam perjalanan mengendap-ngendap ini kami diharuskan membawa ransel berat berisi logistik dan perlengkapan untuk menyukseskan misi kami yang banyak sekali. Dalam pengendapan itu aku berada di urutan agak belakang dari 28 anggota kami ini, naas sekali nasibku. Ketika pengendapan akan sampai, sialnya kami diharuskan melewati lapangan yang dijaga ketat oleh tentara Serbia. Jadilah kami merangkak untuk dapat berhasil melewati lapangan itu.Ketika kami sudah berhasil melewati lapangan itu, kami harus melewati pagar yang di jaga oleh para tentara PBB. Tapi ternyata untuk melewati penjagaan mereka sangat tidak mudah, mereka mempunyai tank yang lampu sorotnya beradius ratusan meter. Sehingga ada beberapa orang dari kami yang ada di bagian depan tertangkap oleh mereka. Dan langsung dibawa ke dalam pengungsian sipil di dalam kota. Berkuranglah anggota tim kami ini, semakin membuat kami takut saja. Tapi untungnya tak sia-sia kami mempunyai pelatih yang cukup pintar. Dia memberikan  kami sebuah cara mengelabui para tentara PBB ini.
“Hey coba ketika lampu sorot dari tank itu mengarah ke sini, kalian coba berlagak seperti akan masuk ke Sarajevo. Cepat!” Ujar pelatihku saat itu
                Lalu kami melakukan perintahnya, dan ternyata benar, kami berhasil mengelabui tentara PBB . ternyata tentara PBB mengira kami adalah orang asing yang akan masuk ke Sarajevo, makanya dengan tegas mereka langsung menyuruh kami keluar. Dengan senang hati kami pun berhasil keluar dan melanjutkan pengendapan ini menuju ke Bandara. Tapi hati sudah sedikit lega berada di zona bebas di luar area Sarajevo, ternyata kami harus kembali bertemu dengan tentara Serbia yang menjaga satu-satunya jalan menuju bandara ini. Karna tentara Serbia juga tidak mau ada rakyat yang keluar Sarajevo sembarangan karena mereka masih menguasai area di sekitarnya. Tapi disatu sisi juga kami harus memaksakan diri melewati mereka karena pesawat yang sudah di sewa pemerintah untuk kami pergi ke Zagreb harus berangkat malam ini juga, karena jika esok pagi akan banyak tentara PBB yang keluar masuk bandara.
Lalu akhirnya kami memutuskan untuk melewati rawa-rawa di samping jalan itu sambil kembali lagi merangkak dengan jarak yg untungnya lebih dekat. Daripada mati pikir kami lebih baik kami merangkak saja. Tapi ternyata tentara Serbia yang kali ini menjaga jalan itu tidak sebodh yang menjaga lapangan. Ternyata mereka berhasil menemukan sebagian dari kami. Dan sial bagiku karena yang mereka lihat adalah para pria di bagian belakangtermasuk aku. Dan kebetulan jarak yang ditinggalkan oleh bagian depan cukup jauh. Keteka mereka berhasil melihat kami mereka langsung menyenter dan mencoba menembaki kami. Kami pun langsung saja mencoba berlari seepat mungkin di tengah sawah yang licin sambil membawa beban yang sangat berat. Ternyata para anggota kami yang berada di depan mengetahui hal ini dan sesegera mereka langsung berlari dan melompat pagar untuk masuk ke dalam area belakang bandara. Dengan berlari ditengah rawa sambil memikul beban yang berat kami yang berada di bagian belakang ini kewalahan menghindar agar tak tertembak.
Sudah hampir berhasil kami melarikan diri, tapi sial menimpaku dan satu orang temanku. Temanku punggungnya mengenai tembakan yang membuatnya jatuh sehingga aku yang berada di belakangnya ikut pula terjatuh. Sial bagiku etika aku mencoba bangun dan berdiri kembali, tembakan makin banyak menghujam. Beberapa langkah aku berlari, betis kananku terkena peluru tentara Serbia. Tak dapat aku berlari lagi, terperosok lah aku ke dalam rawa itu.
“Ravic cepat bangun, ayo kita susul mereka. Mereka sudah cukup jauh, ayo aku yakin kau kuat”
“Tidak, kau saja sendirian yang menyusul mereka. Aku yakin kau masih kuat, aku sudah tidak sanggup berjalan lagi dan pasti tidak akan ikut misi ini. Jadi aku harap kau tetap melanjutkan dan member kabar ini kepada mereka.”
Lalu dengan cepat temanku yang tertembak punggungnya tadi lansung berlari menuju rombongan untuk masuk ke dalam bandara. Dan untungnya tentara Serbia tidak berhasil mengejar dan lebih tertarik denganku yang sudah jatuh tertembak. Tapi saat tentara Serbia mulai mendekat aku langsung tak sadarkan diri. Sepertinya aku kehabisan banyak darah dan sangat kelelahan.
Setelah malam itu, beberapa hari aku tak sadarkan diri akhirnya aku terbangun di rumah sakit dengan luka di kakiku. Ketika itu aku bertanya tentang bagaimana timku kepada seseorang yang mengaku orang pemerintahan yang menungguku. Dia mengatakan bahwa tim kami cukup berhasil memperkenalkan  Negara Bosnia ke beberapa Negara dan berhasil meraih kemenangan di beberapa laga yang dilakukan. Dan timku akan masih berkeliling dunia untuk memperkenalkan Negara kami yang baru merdeka ini lewat sepakbola. Tetapi sialnya, akibat tembakan ini aku tidak lagi dapat meneruskan karirku sebagai pemain dan gagal menjadi duta Negara tercintaku ini untuk diperkenalkan kepada dunia. Tapi tidak apalah, aku juga cukup merasa bangga pernah jadi anggota tim itu. tim yang semangat berjuang demi Bosnia.

Tapi beberapa lama setelah aku sudah sembuh, aku dimasukkan ke dalam penjara akrena aku dianggap sebagai pemberontak dalam perang ini. Padahal aku hanya ingin member sesuatu untuk negaraku. Tapi memang tentara Serbia begitu kejam dan pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Sampai akhirnya 1 bulan yang lalu aku berhasil keluar setelah beberapa tahun di dalam penjara. Kisah timku waktu itu pun berakhir cukup manis karena mereka sampai ke benua asia, afrika untuk berhasil memperkenalkan Bosnia. Dan kisahku tetap pahit seperti kopi yang aku minum pagi ini. Bosan dengan kepahitan, aku bangun dari dudukku mengambil beberapa sendok gula untuk kopikku. Seperti yang aku harapkan di akhir hidupku agar dapat merasakan hidup manis di Sarajevo, Bosnia tercinta ini.

B.A.B
2013

Jangan renggut mimpi kami



Suara kami, teriakan kami
Hanyalah bunga di taman sampah
Rumput Hijau yang becek
Bola yang bergulir tak beraturan
Menghiasi kotornya dunia ini
Persatuan hanyalah angan
Penyelamatan berdasarkan kemunafikan menjadikan dajjal
banyak darah yang berhenti mengalir
namun hak-hak tetap saja tertahan
Oh Tuhan
Jangan renggut mimpi kami


                                                                                                                                               Enggar W