Ranying
Ratalla Langit, Sang Maha Tunggal, menata hutan demikian indahnya. Dedaunan
tersusun seperti sayap burung-burung rangkong yang beterbangan mencari
pasangannya. Ranting-ranting terjulur lembut, dan sinar gading matahari
menembus sela-selanya. Beragam anggrek tumbuh dan kerap kali menyapa
burung-burung yang berkunjung.
Pepohonan
di hutan ini telah amat tinggi, mereka sudah tua. Memahami seluk-beluk manusia
dan lingkungannya. Mereka menyaksikan manusia mati, lahir, mati, kemudian lahir
lagi. Peperangan antar suku terjadi silih berganti, dan banyak yang mati.
Darahnya menyuburkan lantai hutan, lalu embun pagi mengurainya menjadi hara.
Segala
pohon yang telah diciptakan Ranying Ratalla Langit, diberi anugerah dan kutukan
secara bersamaan.Mereka memiliki jiwa; namun disaat yang sama jiwa mereka
membatu dan terendap menjadi lapisan-lapisan tahunan kayu. Itulah sebabnya,
dimasa kita sekarang, jika kita menajamkan pendengaran akan terdengar melalui
angin pohon-pohon bernyanyi. Menari. Menyenandungkan lagu-lagu kesegaran dan
wangi rimba raya. Wangi surga.
Kupu-kupu
adalah lambang jiwa.Jiwa pohon, jiwa bumi, jiwa manusia. jiwa yang belajar dari
masa lalunya dan melalui saat-saat perenungan menuju kedewasaan. Kupu-kupu bisa
terbang kesana-kemari karena terbebas dari pengaruh hawa nafsu, baik makanan,
minuman, suami-istri, maupun kelelahan.
Ia
hanya akan mati jika tugasnya selesai: membuat keturunan atau mati diterkam
masa.
Bagi
suku-suku yang ada sekarang, kupu-kupu adalah lambang jiwa suci yang terbebas
dari segalanya, dan jika salah seorang diantara mereka mati, entah karena
perang, penyakit, atau celaka, mereka akan berubah menjadi kupu-kupu. Semakin
baik hidupnya, semakin putih warna sayapnya dan memendarkan cahaya yang
menuntun kita yang masih hidup, jika tersesat dalam hutan maha indah itu.
Segala
macam pohonan dan kupu-kupu, lalu dihimpun oleh leluhur pertama manusia,
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut. Ia menciptakan taman yang luar biasa
indah di tengah hutan, sebagai rasa syukurnya pada Ranying Hattala Langit, yang
oleh beberapa klan dayak juga dipuja dengan nama Mahatara, karena telah
mempertemukannya dengan perempuan, istrinya. Cinta yang diabadikan menjadi
hutan yang hidup dan bernafas, bukan benda-benda mati. Taman itu kini ada di
Meratus, Hutan Kupu-kupu.
Setiap
hari, ia menyapa kupu-kupu, yang nantinya menjadi jiwa bagi anak-anaknya dalam
kehidupan selanjutnya. Ia mengumpulkan segala jenis kupu-kupu yang menjadi
perlambang jiwa.
Hingga
pada suatu hari, keturunan Manyamei telah memenuhi hutan. Ia melakukan tapa moksa.
Menghilang dalam perenungannya di tengah taman. Ia mencapai tingkatan bersama
Mahatara.
Kini,
keturunannya menetap di berbagai sudut hutan itu. Anak-anak ini tak ada lagi
yang mengetahui keberadaan Hutan Taman yang dibangun oleh leluhur mereka.
Raja
Sangen menjadi kepala sukubesar itu, dan ratusan orang berlindung kepadanya.
Demikian kehidupan berjalan seperti biasa, setiap hari. Sepanjang siang.
Anaknya, seorang putri yang cantik jelita, menjadi buah bibir segala isi desa.
Tua muda. Kecantikannya dijaga betul-betul oleh Raja Sangen, sang putri
dipingit begitu tersembunyi, hingga kecantikannya seperti anggrek hutan yang
tersembunyi di puncak-puncak pohonan. Agung, putihnya memancarkan cahaya
gading.
Sampai
satu ketika, Suku Sungai, yang menjadi tetangga suku Batu, mulai memicu
perkelahian dengan menghina dan mengganggu di perbatasan ladang antara Suku
Sungai dan Suku Batu. Awal mulanya, perseteruan biasa.
Lama-kelamaan,
orang-orang dayak ini lupa Adat Kaharingan mereka. Mereka saling membunuh dalam
pertempuran besar, dua orang ksatria Batu terbunuh. Akhirnya semua menghentikan
pertempuran setelah terdengar kabar Kepala Suku mereka, yang tidak mengikuti
pertempuran, wafat terkena tulah yang disisipkan orang-orang Batu kedalam
minumannya.
Untuk
beberapa lama, keadaan hutan tempat mereka dibesarkan amatlah mencekam, bau
darah bersahutan dengan teriakan jiwa pohon-pohon. Kupu-kupu beterbangan,
seperti menaburkan melati perpisahan bagi pahlawan-pahlawan perang yang gugur
dalam pertempuran ini, tetapi sebenarnya, kupu-kupu itu adalah jiwa mereka
sendiri yang meratapi raganya, hancur sia-sia dalam pertempuran.
Dayak
Sungai dan Dayak Batu sebetulnya memiliki watak asli yang sangat pemurah dan
lembut. Hanya saja, ketika mereka lupa bahwa mereka berasal dari keturunan yang
sama, mereka menjadi tak saling kenal dan lupa.
Raja
Sangen, akhirnya mengadakan upacara besar untuk mengumpulkan para tetua-tetua, Dato,
dan ksatria yang tersisa untuk membicarakan pemindahan kampung. Mereka memilih
mengalah, demi terjaganya hutan dari bau darah, dan agar kupu-kupu bisa
beterbangan dengan bebas.
Ada
seorang ksatria, Mahin namanya. Ia berwajah tampan. Berdada bidang, dan tubuhnya
tegap berisi. Kecerdasannya melebihi yang lain. Itu sebabnya Raja Sangen mempercayainya
untuk mencari tanah yang baru, untuk ditempati. Di pipinya, ada goresan tato
bergambar kupu-kupu, sebagai lambang ksatria utama. Namun, karena ia biasa
mengenakan topeng, maka jarang yang mengetahui tato jenis apa yang ia punya,
kupu-kupu Dato kah? Kupu-kupu ksatria kah? Atau kupu-kupu tanah-lambang anggota
bawahan suku Batu?
Sang
Putri, yang sempat mengamat-amati tato ini, berkesimpulan bahwa tatonya cukup
aneh, gabungan antara Dato dan Ksatria.Tetapi, dia tampan juga.
Memang,
di kalangan Suku Batu dan juga suku-suku lainnya, tato dianggap mewakili
kekastaan tertentu, dan tato ini mutlak bergambar kupu-kupu sebagai simbol jiwa
manusia.
Putri
Raja Sangen juga ikut menemui para Tetua sebagai keluarga Kepala Suku. Mahin,
yang masih berusia muda, merasakan sinar gading sang putri meresap jauh kedalam
hatinya. Suaranya, entah kenapa tiba-tiba menjadi suara serunai terindah dalam
hutan. Ah, ia mengingatkan Mahin pada Hutan Perenungan tempat para Dato
bertapa, melepaskan segala nafsu. Menyayangi Ratalla Langit lebih dalam pada
pertapaannya.
Mahin
jatuh cinta. Ya, kupu-kupu nampak lebih indah dari seharusnya.
Disaat
yang sama, Suku Sungai mengirimkan duta. Mereka ternyata ingin berdamai dan
hidup seperti sedia kala, tak harus berperang dan melupakan sanak saudara.
Mereka datang bertepatan dengan upacara berlangsung, dan diterima oleh seluruh
pemimpin suku Batu.
Setelah
beragam Kaba dibacakan, pantun dan lain-lain juga selesai sebagai tanda ramah
tamah, mulailah Suku Sungai menceritakan niatnya.
Perdamaian
mereka, ternyata menuntut syarat persembahan.
Sang
putri, yang kecantikannya menjadi cahaya gading hutan mereka.
Raja
Sangen terang saja menolak, Putri adalah juga lambang kehormatan suku. Jika
Sungai menuntut persembahan, itu sama saja dengan merendahkan martabat Batu!
Ya,
manusia. dengan segala nafsunya, melupakan hasil petapaan mereka dalam
kepompong, dan kembali menjadi ulat yang memakan segalanya. Kehilangan sayap
kupu-kupu.
Duta
Sungai kembali dengan emosi yang tertahan, dan segera menyarankan agar sukunya
mengadakan persiapan perang, karena melihat, apa yang dilakukan Sangen dan Batu
adalah sebuah pelecehan juga.
Perang,
akan segera dimulai diantara para kupu-kupu. Kupu-kupu amarah manusia.
Suatu
malam, Sangen dan keluarga besar Suku Batu mengadakan perkemahan besar sebagai
tanda mereka bersiap pindah pada esok harinya. Mahin telah berhasil menemukan
dataran indah yang ditumbuhi makanan dan landai untuk ditempati, namun ia hanya
mengirim utusan semata.
Ada
yang tertahan dalam hatinya: ia merenung-renung saja.
Sang
Putri.
Mahin
melihat dengan mata batinnya, bagaimana kupu-kupu tercipta melalui telur dari
induknya, lalu ia menetas. Ini mengingatkannya pada masa kecil yang sungguh
bahagia: belum mengenal perang.
Ulat
itu lalu memakan daun-daunan, dengan lahap. Tanpa henti. Hingga badannya
membesar berkali-kali lipat. Berbahaya, ada yang beracun dan bisa menyengat.
Sebelum manusia dewasa, memang egonya bertambah besar. Ini yang terjadi pada
kedua suku, yang sebetulnya masih bersaudara itu.
Kepompong
lalu tercipta, ulat itu berhenti memakan dedaunan. Ia menjauhkan diri dari hawa
nafsu. Bersembunyi jauh dibalik daun-daun tertinggi di hutan. Tiga minggu
lamanya, kepompong siap mengeluarkan manusia sempurna, sebagai perujudan
kupu-kupu.
Hingga
akhirnya, tanpa mengenal perang, kupu-kupu itu terbang kesana-kemari. Hinggap
memperindah bunga-bunga.
Seekor
kupu-kupu lainnya mendekati, dengan warna yang tak jauh berbeda. Mereka memadu
sayapnya, dan tercipta tarian-tarian indah cinta kupu-kupu di udara. Begitu
seterusnya.
Sang
putri, ternyata demikian pula. Ia dengan kelembutan hati hutannya, terus
mengamati perkembangan sukunya. Kabar Mahin, dan segala tindakannya.
Kupu-kupu
terbang di hadapannya, lalu hinggap di sebuah tangkai mati: narasi-narasi daam
benaknya mengalir, merindukan Mahin sebagai kupu-kupu yang jauh lebih dewasa
darinya.
Beberapa
hari kemudian, Suku Batu mempersiapkan perkemahan untuk berganti tempat dan
kampung, sesuai dengan petunjuk yang diberikan Mahin. Hutan Utara. Raja Sangen
memahami, bukan orang sembarangan yang bisa menembus hutan Utara, karena itu ia
mengutus Mahin. Ada sesuatu dalam silsilahnya.
Perkemahan
rombongan Suku Batu berhenti di sebuah lembah untuk bermalam, dan mereka
menyusun-nyusun bekal untuk esok hari. Perjalanan terasa amat panjang, namun
setidaknya mereka tak perlu lagi berseteru dengan Dayak Sungai.
****
Tiba-tiba
malam menjadi mencekam, berkabut merah. Perkemahan Batu, entah dari mana
asalnya dilempari bara api, sehingga keadaan menjadi genting. Mendadak, sumpit
berlesatan seperti elang, menembus leher orang-orang Batu.
Di
tengah kegaduhan, Raja Sangen terbata-bata mengatur sukunya dalam formasi
perang. Namun percuma; serangan mendadak ini telah menghabisi sebagian besar
laki-laki Batu. Tinggal puluhan orang saja yang siap memegang senjata, dan
pertempuran berlangsung.
Apa
daya jika Suku Sungai yang merencanakan peperangan ini terlanjur menemukan
tenda Raja Sangen, dan pergumulan terjadi. Segala macam ajian dikerahkan Sangen
untuk mengalahkan penyusup bertopeng perang yang memasuki tendanya, namun dari
belakang sebuah tombak menembus tenda dan langsung merobek lambung Raja Sangen.
Malang,
Raja Sangen yang tak sempat mengelak: racun menjalari darahnya. Giliran si pria
bertopeng mencari tenda sang putri sebagai persembahan kepada kepala suku
Sungai. Ketika tenda sang putri telah ditemukan, pria bertopeng itu seketika
merobek-robek kain tenda, dan kini sang putri terduduk di tanah dengan
ketakutan.
Apa
yang ia alami kini, adalah sebuah perang buta, yang tak pernah ia bayangkan.
Ayahnya
gugur.
Pria
bertopeng bersegera meraih tubuh sang Putri, namun mendadak pria bertopeng
ditendang oleh pria bertopeng lain yang memegang mandau, mandaunya khas
berhiasan ksatria Dayak Batu.
Siapa
dia? Sang Putri seolah mengenalnya.
Di
tengah keributan yang mencekam, kedua pria bertopeng bertempur mati-matian.
Segala bentuk mantra mereka ternyata imbang, bahkan cahayanya kadang terlontar
kesegala arah.
Satu
ketika, penyelamat putri ini lengah. Dadanya tertembus sumpit beracun yang
melesat dari arah depan, seorang Sungai bersembunyi dibalik semak-semak,
mengintai sejak tadi.
Pagi
hampir tiba, sudah remang-remang. Pria Bertopeng yang menyelamatkan sang putri
masih bergeming, seperti tembok Batu.
“Pergilah,
putri! Larilah!”
“Ke
utara!”
Putri
bimbang, dalam pengetahuannya, Hutan Utara adalah hutan larangan, karena
dipercaya disanalah ruh orang-orang mati bersemayam bersama leluhurnya.
Ia
terus menyerang lawannya meski hampir kehabisan darah. Satu ketika, tinju petir
penyerangnya menghantam topeng penyelamat, sekaligus melemparnya keudara. Ia
terbanting dengan keras.
“Cepatlah!
Akan ada yang menunggumu di sana!”
Mendadak,
penyerang memanggil kalajengking dan kelabang dari dalam tanah, untuk memakan
daging-daging pria bertopeng penyelamat itu. Berpencaran kesegala penjuru,
memenuhi arena pertempuran. Sang putri, sempat melihat tato dari balik topeng
sang penolong yang pecah: kupu-kupu ksatria yang sangat ia kenal, dan mata yang
pernah beradu pandang dengannya. Tetapi siapa?
Pria
penyelamat lengah, ia tertebas mandau tepat di lambungnya. Terjatuhlah ia, lalu
ia seperti akan mati. Ia melihat kupu-kupu putih pucat di penjuru arena
pertempuran.
Jiwanya
seperti ditarik ke alam para dewa, namun tiba-tiba perasaannya menjadi tenang,
entah kenapa seperti ada zat penenang yang mengaliri darahnya.
Ia
melihat leluhurnya hadir di arena pertempuran, namun tak seorangpun bisa
melukai mereka karena mereka hadir dalam bentuk gaib. Semua bersayap kupu-kupu
putih.
Dalam
kegaiban itu, hadir pula ayahnya. Seorang tua, dengan kewibawaan tiada tara.
“Anakku”
Katanya tenang.
“Ayah?”
ia terpana.
“
Ini dimana? Apakah aku sudah mati?”
“Kau
tidak mati. Kami membawamu ke persemayaman para dewa, alam kupu-kupu yang telah
menemui kebijaksanaan sejati. Lihatlah ke bumi”
“Dipenuhi
darah, ayah”
“Bagaimana
aku menyelamatkan sang putri?”
“Sadarilah,
segala jenis hikmat yang kau dapatkan selama perenunganmu sedang diuji. Kau
adalah kupu-kupu diantara banyak kupu-kupu milik Mahatara. Kini, aku akan
menyatu dengan ragamu, dan menyelesaikan pertempuran ini”
“Anakku,
kau mencintai putri Sangen, aku memahami itu, tetapi kini, kau harus pergi
menuju hutan yang dibangun leluhur kita, Hutan Kupu-kupu”
“Relakanlah
hatimu, anakku. Aku akan menyatu denganmu”
Pikirannya
mengawang-awang. Tetapi, penyerangnya melihat pelan-pelan raga sang penolong
ini berubah menjadi ribuan kupu-kupu, dan menyerangnya dengan kibasan sayap.
Ribuan
kupu-kupu coklat ini lalu berkumpul, membentuk sesosok tubuh lain, yang telah
menjadi legenda: Raja Sangui. Dato terbesar suku Batu yang moksa dalam
petapaannya puluhan tahun lalu. Matanya tajam, namun bercahaya. Tangannya
besar.
Ia
merapalkan mantra dengan keras, lalu mendadak keajaiban terjadi. Ruh para
penyerang, yang berbentuk kupu-kupu dilepaskan dengan isyarat; keluar dari
mulut para penyerang. Bercahaya biru, lalu terbang mengitari arena pertempuran.
Penyerang
yang mati bergelimpangan, lunglai dan mati seketika. Dengan keajaiban lagi,
kupu-kupu biru lalu mengikuti sang Raja Sangui ke udara, ke langit tanpa batas.
Seekor
kupu-kupu putih, bersinar pucat, memisahkan diri dari tubuh Raja Sangui. Tepat
dari arah hatinya.
Kupu-kupu
ini lalu kembali ke bumi, namun menuju Hutan Utara. Tempat persemayaman para
dewa.
****
Sang
putri, yang lari ke Utara, ketakutan, karena siang tetap seperti malam di Hutan
Utara. Hening dan beku, tetapi dipenuhi suara-suara makhluk yang tak terlihat
bentuknya.
Mencekam.
Bau
darah menyeruak.
Putri
melihat wajah-wajah yang ia kenal semasa kecil, yang mati ketika Putri
mendewasakan diri, muncul dan menyatu di batang-batang pohon. Ya, pohon-pohon
di hutan utara dipenuhi wajah. Dan hanya wajah orang yang kita kenallah yang
bisa kita lihat.
Ia
melihat wajah ayahnya yang masih segar muncul di sana. Ia juga melihat wajah
kakaknya yang tewas dalam pencegatan beberapa tahun lalu. Mengeras, menjadi
kulit pohon dan kayu.
Putri
hanya bisa menangis, lalu dengan magis, tangisannya menggema ke seluruh hutan
seperti bersahut-sahutan. Wajah-wajah yang ada di pohonan juga ikut menitikkan
air mata, namun dengan suara lirih.
Mereka
mengingatkan sang putri tentang perang, tentang kematian ayahnya. Tiba-tiba,
seekor kupu-kupu putih muncul dari selatan. Cahayanya berpendar lembut,
mengalahkan malam.
Kupu-kupu
ini seperti ia kenal. Putri lalu mengikuti kupu-kupu ini, ia ingin bersegera
meninggalkan hutan yang menyedihkan ini, yang dipenuhi wajah korban-korban
pertempuran.
Ia
setengah berlari, begitu takut kehilangan kupu-kupu putih ini. Putri menerobos
duri-duri, sampai suatu ketika ia sampai di sebuah daratan luas, lalu ia
melihat hutan yang dipenuhi kupu-kupu aneka warna.
Ditengah
hutan yang dipenuhi kupu-kupu itu, ia merasa luka-lukanya sembuh seketika. Tak
lama kemudian, ia melihat kupu-kupu putih yang tadi membantunya terbang ke
sudut hutan.
Berkumpul
dengan kupu-kupu lainnya. Membentuk sebuah raga, raga yang sangat ia kenal:
Ksatria Mahin. Wajahnya bercahaya. Ia muncul dalam rupa seorang Dato.
“Kanda?”
“Selamat
datang, Dinda”
“Ini
Hutan Kupu-Kupu milik leluhur kita”
“Bagaimana
kanda bisa sampai di...”
“Ah!
Bukankah Kanda yang menolongku di peperangan malam itu?” Tiba-tiba Putri
teringat sesuatu. Tato, yang terpampang di pipi Mahin.
“Dinda,”
Sela Mahin.
“Dalam
kehidupan, ada perputaran. Ulat, kepompong, lalu kupu-kupu”
“Bukankah
kanda telah gugur?”
“Aku
adalah kupu-kupu, gugur hanya salah satu perputaran kehidupan. Bukankah dinda
juga kupu-kupu? Kesedihan akan berganti. Sang Mahatara telah mempersiapkan
segalanya”
“Maksud
kanda?”
“Para
leluhur menyelamatkanku, dan tanah yang kutemukan bagi kampung kita yang baru
adalah Hutan Kupu-Kupu, yang hanya bisa ditemukan jika seorang laki-laki
mencintai dengan tulus perempuan dari bangsanya” Angin mengusap-usap bunga.
Perenungan
Mahin menjadikannya lebih tulus mencintai Sang Putri, lebih dari sekedar
mencintai perempuan jelita. Tetapi kupu-kupu: harus tetap mewarnai hutannya,
hutan Pegunungan Meratus yang lugu.
Perenungannya
juga yang kini menjadikannya setaraf dengan ayahnya: seorang Dato, penghubung
dunia Mahatara dengan dunia manusia dan kupu-kupu.
“Kanda...”
“Ini
negeri yang diwariskan pada kita berdua, Dinda” cahaya gading sang putri
meruah.
“Hutan
Kupu-Kupu, Sebagai perlambang baru Suku kita, Suku Anak Kupu-Kupu”
Ar-Risalah