Senin, 21 Januari 2013

BAYI



Bulan yang mengawang di atas langit bersama bintang-bintang yang digantung sebagai penghias malam terlalu manis apabila awan-awan kehitaman yang sesekali menutupi bulan, terlihat mondar-mandir meski berbeda bentuknya. Sebuah tangis bayi di malam, memecah keheningan balutan mulut-mulut gemintang. Bayi yang lahir membuat seluruh tetangga-tetangga berkumpul di rumahnya. Berkerubung seperti melihat sebuah kejadian yang maha dashyat telah terjadi di rumah itu. Seorang bayi yang lahir dari rahim seorang remaja tanpa seorang ayah.
                Seorang pria berlari menembus kerumunan orang secara gelagapan di sana. “Di mana Pak RT?” teriak pria itu.
                “Aku di sini, siapa yang mencariku?” jawab Pak RT dari depan teras sedang mengobrol dengan keluarga remaja yang melahirkan.
                “Saya Pak, Fahmi” pria yang bernama Fahmi mendekati Pak RT.
                “Oh kamu toh Mi, ada apa?”.
                “Begini pak, mari ikut saya sebentar” Fahmi menggandeng Pak RT keluar dari teras rumah dan berhenti dekat jalan di depan rumah, “begini Pak, bagaimana kalau kita bunuh saja anak itu?”.
                “Astagfirulloh Mi, maksud kamu apa? Sadar Mi, sadar” Pak RT menggenggam wajah Fahmi yang penuh dengan keringat.
                “Ya Pak, kita mesti membunuhnya kalau tidak mau sebuah bencana datang ke Desa ini…”.
                “Kamu ini sinting ya? bencana apa Mi yang bakal datang?”.
                “Saya tak bisa menceritakannya Pak”.
                “Ya ya saya mengerti, sekarang kamu pulang dan istirahat saja dulu”.
                “Tidak bisa begitu Pak, ini sungguh berbahaya Pak!”.
                “Sudah, sudah Mi. sudah terlalu larut kamu pulanglah biar di sini saya yang mengurusnya”.
                “Tapi Pak…”.
                “Sudah Mi” Pak RT segera mendorong tubuh Fahmi perlahan membalikkannya supaya berjalan pulang, “Haduh ada-ada saja” berjalan ia kembali ke teras rumah dan duduk.
                Dari dalam rumah seorang Bidan tua keluar menggendong seorang bayi yang masih merah telah bersih dan diselimuti. Bayi itu diserahkan kepada Kakeknya.
                “Bagaimana keadaan anak saya Bu?”.
                “Tidak apa-apa, dia sedang beristirahat”.
                “Terima kasih Bu” Kakek sang bayi menyerahkan sebuah amplop dari balik tangannya ke bidan.
“Ya sama-sama. Kapan ayah si Bayi menikahi anakmu?”.
“Menurut kesepakatan beberapa minggu lagi Bu”.
“Kasihan si Dewi harus menikah seusia sekarang”.
“Ya mau bagaimana lagi Bu, semua telah terjadi. Bahkan anak ini pun tidak diinginkan kelahirannya” Kakek sang Bayi tertunduk lesu melihat wajah lelap sang Bayi dipelukkan tangannya.
“Yasudah, aku mesti pulang. Sudah terlalu larut malam”.
“Bunuh Bayi itu, jika tidak mau Desa ini terjadi bencana!” sebuah teriakkan dari kejauhan mengaggetkan seluruh orang-orang di Rumah itu, membuat sang Bayi terbangun dan menangis kencang.
“Astagfirulloh siapa itu?” teriak Pak RT.
“Bunuh bayi itu untuk keselamatan kita!”.
“Masya Allah” Pak RT berdiri dan mengajak para pemuda kampung yang tengah berbincang-bincang dekat rumah itu, segera bangkit dan berlari ke arah suara teriakkan itu berasal.
“Fahmi! Apa yang sedang kau berbuat, berteriak-teriak seperti itu?” ucap Pak RT.
“Bunuh Bayi itu demi keselamatan Desa kita”.
“Apa-apaan kau Fahmi? Cepat tenangkan dia”.
Beberapa pemuda segera menarik kedua tangan Fahmi, tapi Fahmi tetap  saja berteriak-teriak bahkan meronta mencoba melepaskan tangannya. Akhirnya beberapa pemuda yang lainnya mulai memeluk tubuh Fahmi, menjaganya untuk tetap tenang dan diam.
“Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Mi? kukira kau hanya kelelahan” tanya Pak RT.
“Kita harus membunuh bayi itu Pak! Bencana akan segera datang!”.
“Bencana apa maksudmu?”.
“Iblis akan datang malam ini. Dia akan membawa bayi haram itu!”.
“Astagfirulloh Mi, apa-apaan pikiranmu itu”.
“Benar Pak, aku tidak berbohong”.
Seorang pemuda yang menggenggam tangan Fahmi, memberikan sebuah pukulan tepat di wajah Fahmi, “Bangsat kau Mi!”.
“Sudah-sudah, tenang semuanya” Pak RT mencoba menenangkan suasana.
“Kau akan mati bersama yang lainnya malam ini!” Fahmi meludahi wajah pemuda tadi yang meninju wajahnya.
“Beberapa hari lagi, Ayah sang Bayi akan datang dan menikahi Ibunya jadi tenanglah Mi”.
“Aku tahu Pak. Aku tahu”.
“Ya jadi tenanglah, Bayi itu akan menjadi bayi yang suci seutuhnya”.
“Tetap tidak bisa Pak. Iblis itu akan segera datang malam ini!”.
“Sudah Pak kita ikat saja dia, dan membiarkannya. Aku tahu dia marah karena Dewi telah melahirkan anak yang bukan dari darahnya sendiri” ucap seorang pemuda.
“Bangsat kau Di! Aku baru pindah ke Desa ini baru beberapa bulan. Aku tak tahu tentang Dewi sama sekali. Aku sudah punya kekasih….”.
“Ya tapi dahulu kan? Hahahaha”.
“Bangsat kau!”.
“Dan bukankah karena dia telah mati, makanya engkau pindah ke Desa ini? Hahahaha” sahut pemuda lainnya.
“Kau juga San?!”.
“Sudah-sudah tenanglah” Pak RT mencoba menengahi, “lepaskan dia. jadi katakanlah yang sebenarnya Mi?”.
“Aku sudah mengatakan yang sebenarnya padamu Pak, bahwa sebuah bencana akan datang pada Desa ini”.
  “Sebaiknya kau pulang saja Mi, rupa-rupanya kau terlalu banyak minum”.
“Aku mengatakan yang sebenarnya Pak. Padamu dan pada siapa saja!”.
“Sudahlah Mi…”.
“Bangsat!” sebuah pukulan mendarat di wajah Pak RT yang membuatnya terjungkal.
Seluruh pemuda yang ada di sana segera menghantam dan memukuli tubuh Fahmi. Pak RT yang terjatuh segera dibopong masuk ke dalam rumah. Dan Fahmi yang telah babak belur dibawa oleh beberapa pemuda keluar dari kampung dan membiarkannya begitu saja dengan wajah dan seluruh tubuh babak belur tergeletak di atas tanah.
“Eh bego, dasar tidak tahu terima kasih. Kalau kau tadi tidak memukul Pak RT mungkin kejadian seperti ini tidak bakal terjadi” para pemuda itu pun lalu pergi.
Fahmi dengan tubuh babak belurnya mencoba bangun dan menyandarkan tubuhnya di sebuah batang pohon di dekatnya. Dari balik jaketnya dikeluarkan sebatang rokok, ia nyalakan. Beberapa jam lamanya ia duduk di sana dan menghadap ke arah Desa tiba-tiba saja suasana malam yang telah larut terasa semakin mencekam. Bintang-bintang tiba-tiba saja lenyap bersama awan-awan di langit sana, yang tertinggal hanya bulan tanpa angin di atas. Bulan itu tampak lebih dekat dan besar dari biasanya, sinarnya pun lebih terang menggenggam malam.
Dari kejauhan sebuah cahaya merah turun dengan kecepatan tinggi dari arah cahaya rembulan jatuh menuju tepat di tenga-tengah Desa. Teriakan meraung-raung terasa begitu menggores telinga, ditambah dengan kobaran api terlihat menjilat-jilat langit malam ini. Dari luar Desa Fahmi melihat cahaya merah itu telah kembali terbang bersama dengannya iringan tangis bayi.
“Dahulu aku memiliki calon istri dan seorang anak, tapi sekarang aku harus menyaksikan kejadian ini untuk kedua kalinya”.

                  

Ridwan

Jumat, 11 Januari 2013

MENJELMA SEMAR


                        
Di sini, di ruang nan betapa luasnya, ruangyang terbentang jauh di atas semesta bumi.Ruang dimana dewi-dewi bersenandung, dimana para dewa bersemayam, dimana iblis-iblis menjadi budak, serta mainan penghibur bagi anak-anak para dewa. Ruang yang bernama Kahyangan ini sedang geger.Dikarenakan sang Hyang Tunggal tiba-tiba saja memanggil dewa Jagad Pratingkahuntuk menghadap.Sang Hyang Tunggal adalah pencipta dan penguasa apapun yang berada di semesta bumi dan semesta kahyangan.Sedangkan Jagad Pratingkah adalah raja dewa yang merajai dan bertanggung jawab atas Kahyangan dan Bumi.

Semua dewa takjub mendengar kabar tersebut. Mereka khawatir akan dewa Jagad yang kerap kali mengamuk setelah menghadap sang Hyang Tunggal. Tiada satupun yang tahu sabda apa yang diberikan Sang HyangTunggal kepada dewa Jagad. Sampai-sampai setelah menghadap sang Hyang Tunggal, dewa Jagad langsung berteriak memanggil semua dewa untuk berkumpul dihadapanya. Seluruh dewapun gopoh-gapah meninggalkan kewajiban pekerjaanya dan dengan cepat terbang menuju singgasana raja dewa, dan berkerumunan menghadap dan berlutut.

“Bumi sudah semakin tua dan mengenaskan.Manusianya pun semakin mungkar. Harus ada pembaharuan dan pencerahan kalau tidak bumi bisa hancur.”

Seluruh dewa terdiam dan hikmat memerhatikan sang raja dewa. Para dewi serta-merta berhenti bersenandung dan diam-diam menguping pembicaraan tersebut, para putra-putri dewa melepaskan iblis-iblisnya lantas pergi keruang tidurnya masing-masing. Raja dewa atau dewa Jagad Pratingkah akan mengadakan Sayembara.

Sayembara ini berbeda dengan sayembara yang dahulu kala sering diselenggarakan pada kerajaan – kerajaan di bumi. Di bumi, sayembara biasa diselenggarakan oleh seorang pemimpin kerajaan atau raja untuk mencari pendamping hidup putri kesayanganya. Dengan cara mengadu kekuatan atau pertempuran yang akan dilakukan oleh para calon.Sedangkan pada sayembara di Kahyangan ini, yaitu untuk mencari satu dewa yang nantinya akan diubah menjadi manusia dan diturunkan ke bumi untuk membimbing para manusia. Karena dewa-dewa ini berjumlah lebih dari 400. Maka, dewa Jagad hendak mengadu kesaktian dan kekuatan para dewa. Yang memenangkan pertempuran itulah yang nantinya akan menjadi manusia dan diutus kebumi.

“ Jadi, dari kalian semua. Siapa yang hendak ikut sayembara ini?” Dewa Jagad berkata dengan keras kepada para dewa yang bersimpuh dihadapannya.

Sebagian dewa tetap mendiam. Sambil sesekali melihat satu sama lain. Mereka merasa tidak tertarik akan sayembara itu. Terdengar pula bisikan-bisikan kecil dari sebagian dewa lainya

 “ kau saja.”
“ lebih baik jadi dewa”
“aku tidak ingin bertempur”
“untuk apa menjadi manusia”.


Ditengah riuh rendahnya reaksi para dewa tiba-tiba terdengar salah satu dewa berteriak mengajukan diri dengan terbang meninggalkan kerumunan dewa lainya dan melayangkan raganya lalu berteriak dengan lantak ” Saya bersedia!” Pun seketika semua kembali mendiam dan memusatkan perhatian pada dewa tersebut.
Adalah dewa Murwakala. Dewa yang matanya menjorok keluar. Disegani para dewa lainya karena pernah merusak dan mengacau Kahyangan. Pada saat itu hanya dewa Jagad yang dapat menghentikannya.

“ baiklah siapa lagi” dewa jagad kembali menawarkan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya dewa Jagad tidak yakin kalau nantinya Murwakala akan menjadi pembimbing manusia.

“ Saya paduka raja” Dengan hormat dan santun salah seorang dewa mengajukan diri. dengan melayangkan raga dan keluar dari kerumunan dewa-dewa lainya. Yang satu ini adalah dewa Ismaya. Berparas tampan, dikenalsebagai dewa yang paling sabar, selalu memberi bantuan pada dewa lainnya. Dan senang berekreasi ke bumi.Seketika dewa-dewa lainya kembali meriuh. Heran serta kasihan dengan dewa Ismaya. Karena semua tahu kekuatanya jauh lebih rendah dibanding dewa Murwakala.

“ kau yakin?” dewa Jagad bertanya kembali dengan nada bicara tidak percaya.
“ Yakin paduka raja” Ismaya menjawab dengan senyuman yang bersahaja.

Setelah lama menuggu dewa Jagad akhirnya menutup pencarian peserta sayembara, karena tidak ada lagi yang mengajukan. Dan memberi tahu peraturan pertandingan.

“ karena ini menyangkut masalah bumi. Maka pertempuran ini akan dilakukan kalian, dengan menggunakan isi bumi sebagai senjata kalian”
“kalian dilarang mengeluarkan senjata atau energi asli kalian”
Sambil menjelaskan, dewa  Jagad mengeluarkan replika bumi dari sakunya. Replika yang berbentuk bulat itu berputar – putar di atas telapak tanganya.

 “ Pilihlah Negeri yang ada di bumi  untuk jadi senjata kalian nantinya”
“ agar tidak terjadi kesamaan senjata, hisap bayangan Negri mana saja yang kalian pilih.”

Murwakala mendapat kesempatan pertama untuk memilih senjatanya. Murwakala pun tanpa babibu langsung menghisap dengan yakin bayangan negeri Amerika Serikat, lalu bayangan negri Jepang, dan yang terakhir dia menghisap bayangan negeri Belanda. 

“ Hmmm. Cepat sekali kau Murwa”
“ peradaban bumi akhir-akhir ini ada di tangan negeri-negeri itu paduka. Saya sering mendengar kabar itu dari roh-roh manusia di neraka. Hahhah”

Tanpa menanggapi celoteh Murwakala, dewa Jagad langsung mengalihkan replika itu kehadapan Isamaya.

“ baiklah sekarang giliran kau Ismaya. Pilih yang mana kau mau”
Isma pun tersenyum dan mengintai ke setiap sudut replika bola bumi itu. Pun Ismaya menghisap bayangan sebuah negeri yang bernama Indonesia. 

“ Sudah paduka”
Ismaya  memutuskan memilih hanya satu negeri. Banyak dewa yang terkejut melihat kelakuan si Ismaya itu. Semua terbingung-bingung akan apa yang ada dipikiran Ismaya. Sebab Murwakala memilih tiga negara, maka secara kualitatif Ismaya kalah. Sedangkan Murwakala semakin geram, karena merasa diremehkan dengan lawanya itu. Namun dewa Jagad hanya tersenyum menaggapinya. Seakan tiada rasa heran dengan pilihan Ismaya itu.

“ Baiklah. Adakah alasan akan pilihanmu itu”
“ saya sering mengintainya ketika sedang berkelana ke bumi. Dan sejak itu saya menyukai negeri Indonesia.”

Pengumuman pun ditutup lantas semua dewa dibubarkan. Dewa jagad memanggil para iblis dan memerintahkan mereka untuk membuat arena pertempuran. Pertempuran akan dilaksankan setelah arena tersebut siap.


***

“ arena sudah siap!”
“ arena sudah siap..! mari saksikan!”
“ pertempuran akan dimulai!”
“ Mari saksikan”
“ dewa Murwakala melawan dewa Ismaya”

Suara teriakan pengumuman dari para iblis semakin lama semakin keras. Menggelegar. Mengiringi hiruk-pikuknyadewa-dewa yang mulai memasuki pintu keagungan istana raja dewa. Semua dewa sangat antusias dalam menghadiri pertempuran itu. Mereka datang membawa anak dan istri mereka. Berkumpul menyemuti singgasana agung dewa Jagad Pratingkah.

Sambil duduk di kursi keemasan, dewa Jagad membuka tempat atau arena yang berada di belakang singgasananya. Hanya dengan tiupan. Pun seluruh dewa takjub memandangi arena pertempuran itu. Arena tersebut mengapung diatas kobaran api yang diambil dari neraka. Dari cahaya api itu membentuk menjadi sebuah gelanggang berbentuk persegi, dan terdapat para iblis beterbangan mengelilingi arena itu. Di tengah gelanggang itu telah berdiri tegak Murwakala dengan tidak henti-hentinya menantang. Dengan berteriak dan menyeringai kehadapan Ismaya yang masih mempersiapkan dirinya dengan memejamkan mata. Tidak lama kemudian. .

“ Pertempuran dimulai!!”

Setelah berteriak, Salah seorang iblis pun meniupkan terompet pertanda pertandingan dimulai.


Murwakala langsung menyerang dengan menyemburkan sebuah Ngarai yaitu lembah yang bertebing terjal yang dalam dan luas. Di bumi, lembah itu bernama Grand canyon yang berada di Amerika serikat. Dengan sigap Ismaya langsung membuka matanya dan dari kedua kelopak matanya mengeluarkan bayangan besar yang berbentukGunung. Gunung itu berdiri tegak di hadapanya dan menghadang serangan dari Murwakala. Gunung merapi namanya, berasal dari bumi di daerah Jogjakarta, Indonesia. Lembah itu pun menabrak prisai gunung Merapi, dan menciptakan ledakan yang dahsyat. Semua terhenyak melihatnya. Tebing hancur menjadi bebatuan karena tersiram larva Merapi. Bebatuan berlumur larva itu melayang membabi buta kesegala arah,mengenai tubuh Murwakala juga Ismaya. Lalu mereka pun terpental ke belakang.Setelah menyiagakan raganya Murwakala lantas kembali menyerang Isma. Kali ini dia menerbangkan bunga-bunga sakura dari tiap ujung jarinya yang berjumlah seratus itu. Sehingga bunga-bunga sakura yang berasal dari negeri bumi yang bernama Jepang itu menyelimuti tubuh Ismaya. Tangan dan kaki Ismaya pun terjerat tak dapat bergerak, dan lambat laun sakura-sakura itu mulai menjalar ke bagian leher Ismaya.

Sebagaian besar dewa bersorak, memberi dukungan kepada Ismaya. Ya, hampir  semua dewa mendukung Ismaya. Anak-anak dewa pun banyak yang memelas melihat Ismaya. Ismaya memang selalu bersikap baik kepada setiap dewa, bahkan putra-putri dewa sering diajaknya berkelana ke semesta bumi. Sakura-sakura itu mulai melilit leher Ismaya, semakin lama semakin erat. Tiba-tiba mulut Ismaya memuntahkan sesuatu. Yaitu berbutir-butir telur. Telur itu menggelinding ke arena. Terus mengalir dari mulut Ismaya. Seketika telur –telur yang berjumlah ribuan itu menetas. Dari tiap cangkang telur mengeluarkan seekor burung Maleo. Burung yang di bumi terdapat di negeri Indonesia tepatnya di hutan-hutan papua. Raga burung ini berwarna hitam gosong kecuali dibagian perutnya berwarna merah muda. Memiliki jambul di bagian belakang kepalanya. Berbeda dengan jenis burung di bumi lainya, burung Maleo ini sehabis menetas langsung dapat menggunakan sayapnya untuk terbang. Sehingga beribu-ribu burung Maleo itu langsung terbang menggerayangi tubuh Ismaya yang berselimut Sakura-sakura.


Semua terkesima menyaksikan aksi burung Maleo yang lincah itu. Bunga-bunga sakura kian menghilang dari tubuh Ismaya. Akibat disantap oleh burung burung Maleo itu. Murwakala terlihat tidak puas. Dia langsung berancang-ancang lagi untuk menyerang Ismaya. Murwakala memutar-mutarkan kepalanya dan langsung membuka lebar-lebar mulutnya. Lalu menyemprotkan gas alam yang berasal dari Belanda kearah lawanya itu. Ismaya yang masih menyigapkan dirinya tidak sempat menghadang serang gas itu, lantas terpental. Murwakala pun tertawa dengan keras. Hanya beberapa jenak saja Ismaya bangun dari kejatuhanya, Murwakala menyemburkan gas alam itu lagi. Namun kali ini Ismaya lebih sigab. Dia langsung menyemburkan Lumpur panas yang berasal dari bumi daerah sidoarjo Indonesia. Sehingga gas alam Murwakala tertahan oleh lumpur panas itu, pun terjadi pergulatan seru antara Gas dan Lumpur itu. Gas terus mendorang lumpur yang terus mengalir dari mulut Ismaya. Murwakala juga terus menyemprotkan gas itu. Namun lamban laun arus gas itu melemah sehingga tekanan dari lumpur panas itu lebih kuat. Dan tiba-tiba Murwakala kehabisan daya gas. Gas berhenti mengalir. Lumpur panas menerobos masuk kedalam mulut Murwa, sehingga terpentalah Murwakala seraya berteriak karena merasa kepanasan. Semua penonton pertarungan itu pun bersorak.

“ serang ..!”
“ ayo Ismaya. serang lagi!”


Murwakala terkapar. Ismaya masih menyempurnakan kesigapanya. Murwakala bangkit dengan wajah yang tiada hentinya menyeringai. Ismaya tetap tenang tanpa menyerang. Lagi-lagi Murwakala melancarkan serangan lebih dulu. Dengan mengambil bayangan sebuah alam  di sakunya. Alam itu dari negeri Amerika Serikat, bernama Alaska. Murwakala menenggelamkan tanganya ke dalam lubang yang berada di bayangan alam Alaska itu. Ketika menarik keluar tanganya dari lubang itu. Tiba-tiba keluar pedang besar yang terbentuk dari berbatang-batang emas. Lantas ia genggam pedang emas itu. Konon, di bumi Amerika Serikat,  di daerah Alaska adalah sumber daya alam terkaya akan Emas.

Tanpa babibu, Murwakala langsung melancarkan serangan kepada Ismaya, dengan segala kemampuan berpedangnya. Semua penonton mendadak tegang. Semua tahu kemampuan Murwakala dalam berpedang tiada tandinganya. Ismaya langsung menyiasati serangan itu dengan mengambil bayangan salah satu pulau di bumi indonesia. Pulau ini bernama kalimantan. Di hadangnya serangan pedang Murwakala itu dengan pulau kalimantan sehingga menancap pedang itu ke badan pulau itu.

Murwakala mencabut lagi pedang emas itu. Dari cabutan itu menimbulkan lubang di badan kalimantan. Ismaya menenggelamkan tanganya ke lubang itu dan mengambil berbongkah-bongkah Batubara yang bercampur dengan biji-biji Bauksit, biji-biji Besi, Nikel, Emas, perak, Intan, tanah semen. Ismaya merencanakan serangan. Namun kalah cepat dengan pergerakan Murwakala yang langsung menyabat tanganya. Pun hasil-hasil alam itu berjatuhan ke segala arah. Sampai menyebrangi arena dan mendarat ke penonton. Dewa jagad, iblis serta para dewa yang menyaksikan pertarungan itu terkesima melihat keberagaman hasil alam dari kalimantan itu yang berterbangan. Murwakala merampas bayangan kalimantan dan melemparya ke bawah arena, lalu hangus terbakar.

Murwakala semakin menggila.Bertubi–tubi sabatan ia lancarkan ke Ismaya. Penonton kembali bersorak-sorak memberi dukungan kepada Ismaya.

“ awas Isma!” kau bisa Isma” bertahanlah Isma”
Ismaya terkapar disudut gelanggang, dengan tanganya yang luluh lantak karena digunakan untuk menangkis serangan pedang emas. Murwakala tertawa girang. Meludah. Mengangkat pedang. Dan menyombong ke arah pononton. Setelah itu, sambil mengusap-ngusap pedang emas dengan rasa bangga, dia berjalan perlahan mendekati Ismaya yang ringkih di sudut sana. Ismaya menahan perih tanganya. Tapi tetap bersiasat untuk melakukan perlawanan.

Murwakala pun sampai di sudut, dekat tubuh Ismaya. sambil tertawa-tawa Murwakala menginjak kepala Ismaya. Dan kembali meyombongkan diri ke arah penonton dengan mengangkat tanganya sambil tetawa keras. Namun ditengah asiknya dia berlagak, tiba-tiba tubuh Isma bergetar kencang. Murwakala pun tercengang. Kakinya tergunjang dan terpental dari kepala Ismaya yang sejak tadi dia injak. Tubuh ismaya terus begetar. Lantas semakin cepat getaranya. Murwakala menjauh. Beberapa jenak kemudian bunyi  ledakan.

Penonton terkesima dan takjub. Ismaya berubah menjadi sekor hewan melata. Yang berkulit tebal layaknya kulit badak, ekornya pipih melancip, kepalanya bermoncong, bibirnya berliur, liurnya beracun, lidahnya yang berwarna kuning kemerah-merahan sesekali menjulur dan diujung lidahnya bercabang dua. Di bumi hewan ini bernama Komodo, yang hanya ada di negeri Indonesia. Yaitu di pulau Komodo, Rinca, Flores, Motang dan gili Dasami di Nusatenggara.

Dengan sertamerta Ismaya yang menjelma komodo itu lari melata dengan gesitnya dan lengsung mengigit kaki Murwakala. Serta merta murwakala menyabat  dengan pedang Emas. Ismaya pun terpental. Dan raganya kembali menjadi seperti semula. Murwakala sangat geram, ingin menyerang balik, namun ketika dia hendak melangkah. Dia rasakan tubuhnya panas. Kakinya tiba-tiba membusuk. Lalu tidak sadarkan diri. Seketika penonton bersorak kegirangan. Melihat Murwakala yang terkapar tidak berdaya, dan tidak dapat bangkit. Murwakala dibawa terbang iblis-iblis untuk mendapatkan perawatan.Sayembara dewa Jadad selesai.

Setelah pertempuran itu selesai Ismaya dibawa terbang oleh dewa Jagad menuju MahaciptaYaitu tempat sang Hyang Tunggal bersemayam. Disana Ismaya akan diperoses untuk dijadikan manusia dan diturunkan ke bumi.

“ Jadilah kau seorang pengasuh anak wahai Ismaya. Sebab disitulah sesungguhnya perubahan peradaban bumi berawal” . Singkat sabda sang Hyang Tunggal kepada Ismaya.




***

##Ting nong##

Seorang lelaki tua membukakan pintu rumahnya, dan mendapatkan seorang pria dewasa yang pendek dan berbadan  gemuk sedang berdiri diluar pintu itu.

“ benar ini keluarga Pandu Pandawanata?”
“ oh tepat sekali. Ada perlu?”
“ saya dengar keluarga ini mencari pengasuh. Saya sangat senang bila dapat bekerja di keluarga ini.”
“ ohhh...yaya. Mari masuk dulu”

Masuklah mereka berdua. Seorang calon majikan dan calon pengasuh. Di ruang tamu terlihat sepasang anak kembar sedang asik bermain PlayStation .

“ nakula, sadewa!  Sebentar lagi kalian memiliki teman baru. Ayo kemari” 

Serentak kedua anak itu mengalihkan perhatian mereka dari permainan itu, dan langsung beranjak mendekati ayah mereka.

“Aa..maav.. siapa nama anda?”
“ Semar tuan.”
“  Nah. ayo beri salam kepada om Semar...”


  
Marendra 10_ 12_ 2012-12-10




Hutan Kupu-Kupu


Ranying Ratalla Langit, Sang Maha Tunggal, menata hutan demikian indahnya. Dedaunan tersusun seperti sayap burung-burung rangkong yang beterbangan mencari pasangannya. Ranting-ranting terjulur lembut, dan sinar gading matahari menembus sela-selanya. Beragam anggrek tumbuh dan kerap kali menyapa burung-burung yang berkunjung.
Pepohonan di hutan ini telah amat tinggi, mereka sudah tua. Memahami seluk-beluk manusia dan lingkungannya. Mereka menyaksikan manusia mati, lahir, mati, kemudian lahir lagi. Peperangan antar suku terjadi silih berganti, dan banyak yang mati. Darahnya menyuburkan lantai hutan, lalu embun pagi mengurainya menjadi hara.
Segala pohon yang telah diciptakan Ranying Ratalla Langit, diberi anugerah dan kutukan secara bersamaan.Mereka memiliki jiwa; namun disaat yang sama jiwa mereka membatu dan terendap menjadi lapisan-lapisan tahunan kayu. Itulah sebabnya, dimasa kita sekarang, jika kita menajamkan pendengaran akan terdengar melalui angin pohon-pohon bernyanyi. Menari. Menyenandungkan lagu-lagu kesegaran dan wangi rimba raya. Wangi surga.
Kupu-kupu adalah lambang jiwa.Jiwa pohon, jiwa bumi, jiwa manusia. jiwa yang belajar dari masa lalunya dan melalui saat-saat perenungan menuju kedewasaan. Kupu-kupu bisa terbang kesana-kemari karena terbebas dari pengaruh hawa nafsu, baik makanan, minuman, suami-istri, maupun kelelahan.
Ia hanya akan mati jika tugasnya selesai: membuat keturunan atau mati diterkam masa.
Bagi suku-suku yang ada sekarang, kupu-kupu adalah lambang jiwa suci yang terbebas dari segalanya, dan jika salah seorang diantara mereka mati, entah karena perang, penyakit, atau celaka, mereka akan berubah menjadi kupu-kupu. Semakin baik hidupnya, semakin putih warna sayapnya dan memendarkan cahaya yang menuntun kita yang masih hidup, jika tersesat dalam hutan maha indah itu.
Segala macam pohonan dan kupu-kupu, lalu dihimpun oleh leluhur pertama manusia, Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut. Ia menciptakan taman yang luar biasa indah di tengah hutan, sebagai rasa syukurnya pada Ranying Hattala Langit, yang oleh beberapa klan dayak juga dipuja dengan nama Mahatara, karena telah mempertemukannya dengan perempuan, istrinya. Cinta yang diabadikan menjadi hutan yang hidup dan bernafas, bukan benda-benda mati. Taman itu kini ada di Meratus, Hutan Kupu-kupu.
Setiap hari, ia menyapa kupu-kupu, yang nantinya menjadi jiwa bagi anak-anaknya dalam kehidupan selanjutnya. Ia mengumpulkan segala jenis kupu-kupu yang menjadi perlambang jiwa.
Hingga pada suatu hari, keturunan Manyamei telah memenuhi hutan. Ia melakukan tapa moksa. Menghilang dalam perenungannya di tengah taman. Ia mencapai tingkatan bersama Mahatara.
Kini, keturunannya menetap di berbagai sudut hutan itu. Anak-anak ini tak ada lagi yang mengetahui keberadaan Hutan Taman yang dibangun oleh leluhur mereka.
Raja Sangen menjadi kepala sukubesar itu, dan ratusan orang berlindung kepadanya. Demikian kehidupan berjalan seperti biasa, setiap hari. Sepanjang siang. Anaknya, seorang putri yang cantik jelita, menjadi buah bibir segala isi desa. Tua muda. Kecantikannya dijaga betul-betul oleh Raja Sangen, sang putri dipingit begitu tersembunyi, hingga kecantikannya seperti anggrek hutan yang tersembunyi di puncak-puncak pohonan. Agung, putihnya memancarkan cahaya gading.
Sampai satu ketika, Suku Sungai, yang menjadi tetangga suku Batu, mulai memicu perkelahian dengan menghina dan mengganggu di perbatasan ladang antara Suku Sungai dan Suku Batu. Awal mulanya, perseteruan biasa.
Lama-kelamaan, orang-orang dayak ini lupa Adat Kaharingan mereka. Mereka saling membunuh dalam pertempuran besar, dua orang ksatria Batu terbunuh. Akhirnya semua menghentikan pertempuran setelah terdengar kabar Kepala Suku mereka, yang tidak mengikuti pertempuran, wafat terkena tulah yang disisipkan orang-orang Batu kedalam minumannya.
Untuk beberapa lama, keadaan hutan tempat mereka dibesarkan amatlah mencekam, bau darah bersahutan dengan teriakan jiwa pohon-pohon. Kupu-kupu beterbangan, seperti menaburkan melati perpisahan bagi pahlawan-pahlawan perang yang gugur dalam pertempuran ini, tetapi sebenarnya, kupu-kupu itu adalah jiwa mereka sendiri yang meratapi raganya, hancur sia-sia dalam pertempuran.
Dayak Sungai dan Dayak Batu sebetulnya memiliki watak asli yang sangat pemurah dan lembut. Hanya saja, ketika mereka lupa bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama, mereka menjadi tak saling kenal dan lupa.
Raja Sangen, akhirnya mengadakan upacara besar untuk mengumpulkan para tetua-tetua, Dato, dan ksatria yang tersisa untuk membicarakan pemindahan kampung. Mereka memilih mengalah, demi terjaganya hutan dari bau darah, dan agar kupu-kupu bisa beterbangan dengan bebas.
Ada seorang ksatria, Mahin namanya. Ia berwajah tampan. Berdada bidang, dan tubuhnya tegap berisi. Kecerdasannya melebihi yang lain. Itu sebabnya Raja Sangen mempercayainya untuk mencari tanah yang baru, untuk ditempati. Di pipinya, ada goresan tato bergambar kupu-kupu, sebagai lambang ksatria utama. Namun, karena ia biasa mengenakan topeng, maka jarang yang mengetahui tato jenis apa yang ia punya, kupu-kupu Dato kah? Kupu-kupu ksatria kah? Atau kupu-kupu tanah-lambang anggota bawahan suku Batu?
Sang Putri, yang sempat mengamat-amati tato ini, berkesimpulan bahwa tatonya cukup aneh, gabungan antara Dato dan Ksatria.Tetapi, dia tampan juga.
Memang, di kalangan Suku Batu dan juga suku-suku lainnya, tato dianggap mewakili kekastaan tertentu, dan tato ini mutlak bergambar kupu-kupu sebagai simbol jiwa manusia.
Putri Raja Sangen juga ikut menemui para Tetua sebagai keluarga Kepala Suku. Mahin, yang masih berusia muda, merasakan sinar gading sang putri meresap jauh kedalam hatinya. Suaranya, entah kenapa tiba-tiba menjadi suara serunai terindah dalam hutan. Ah, ia mengingatkan Mahin pada Hutan Perenungan tempat para Dato bertapa, melepaskan segala nafsu. Menyayangi Ratalla Langit lebih dalam pada pertapaannya.
Mahin jatuh cinta. Ya, kupu-kupu nampak lebih indah dari seharusnya.
Disaat yang sama, Suku Sungai mengirimkan duta. Mereka ternyata ingin berdamai dan hidup seperti sedia kala, tak harus berperang dan melupakan sanak saudara. Mereka datang bertepatan dengan upacara berlangsung, dan diterima oleh seluruh pemimpin suku Batu.
Setelah beragam Kaba dibacakan, pantun dan lain-lain juga selesai sebagai tanda ramah tamah, mulailah Suku Sungai menceritakan niatnya.
Perdamaian mereka, ternyata menuntut syarat persembahan.
Sang putri, yang kecantikannya menjadi cahaya gading hutan mereka.
Raja Sangen terang saja menolak, Putri adalah juga lambang kehormatan suku. Jika Sungai menuntut persembahan, itu sama saja dengan merendahkan martabat Batu!
Ya, manusia. dengan segala nafsunya, melupakan hasil petapaan mereka dalam kepompong, dan kembali menjadi ulat yang memakan segalanya. Kehilangan sayap kupu-kupu.
Duta Sungai kembali dengan emosi yang tertahan, dan segera menyarankan agar sukunya mengadakan persiapan perang, karena melihat, apa yang dilakukan Sangen dan Batu adalah sebuah pelecehan juga.
Perang, akan segera dimulai diantara para kupu-kupu. Kupu-kupu amarah manusia.
Suatu malam, Sangen dan keluarga besar Suku Batu mengadakan perkemahan besar sebagai tanda mereka bersiap pindah pada esok harinya. Mahin telah berhasil menemukan dataran indah yang ditumbuhi makanan dan landai untuk ditempati, namun ia hanya mengirim utusan semata.
Ada yang tertahan dalam hatinya: ia merenung-renung saja.
Sang Putri.
Mahin melihat dengan mata batinnya, bagaimana kupu-kupu tercipta melalui telur dari induknya, lalu ia menetas. Ini mengingatkannya pada masa kecil yang sungguh bahagia: belum mengenal perang.
Ulat itu lalu memakan daun-daunan, dengan lahap. Tanpa henti. Hingga badannya membesar berkali-kali lipat. Berbahaya, ada yang beracun dan bisa menyengat. Sebelum manusia dewasa, memang egonya bertambah besar. Ini yang terjadi pada kedua suku, yang sebetulnya masih bersaudara itu.
Kepompong lalu tercipta, ulat itu berhenti memakan dedaunan. Ia menjauhkan diri dari hawa nafsu. Bersembunyi jauh dibalik daun-daun tertinggi di hutan. Tiga minggu lamanya, kepompong siap mengeluarkan manusia sempurna, sebagai perujudan kupu-kupu.
Hingga akhirnya, tanpa mengenal perang, kupu-kupu itu terbang kesana-kemari. Hinggap memperindah bunga-bunga.
Seekor kupu-kupu lainnya mendekati, dengan warna yang tak jauh berbeda. Mereka memadu sayapnya, dan tercipta tarian-tarian indah cinta kupu-kupu di udara. Begitu seterusnya.
Sang putri, ternyata demikian pula. Ia dengan kelembutan hati hutannya, terus mengamati perkembangan sukunya. Kabar Mahin, dan segala tindakannya.
Kupu-kupu terbang di hadapannya, lalu hinggap di sebuah tangkai mati: narasi-narasi daam benaknya mengalir, merindukan Mahin sebagai kupu-kupu yang jauh lebih dewasa darinya.
Beberapa hari kemudian, Suku Batu mempersiapkan perkemahan untuk berganti tempat dan kampung, sesuai dengan petunjuk yang diberikan Mahin. Hutan Utara. Raja Sangen memahami, bukan orang sembarangan yang bisa menembus hutan Utara, karena itu ia mengutus Mahin. Ada sesuatu dalam silsilahnya.
Perkemahan rombongan Suku Batu berhenti di sebuah lembah untuk bermalam, dan mereka menyusun-nyusun bekal untuk esok hari. Perjalanan terasa amat panjang, namun setidaknya mereka tak perlu lagi berseteru dengan Dayak Sungai.
****
Tiba-tiba malam menjadi mencekam, berkabut merah. Perkemahan Batu, entah dari mana asalnya dilempari bara api, sehingga keadaan menjadi genting. Mendadak, sumpit berlesatan seperti elang, menembus leher orang-orang Batu.
Di tengah kegaduhan, Raja Sangen terbata-bata mengatur sukunya dalam formasi perang. Namun percuma; serangan mendadak ini telah menghabisi sebagian besar laki-laki Batu. Tinggal puluhan orang saja yang siap memegang senjata, dan pertempuran berlangsung.
Apa daya jika Suku Sungai yang merencanakan peperangan ini terlanjur menemukan tenda Raja Sangen, dan pergumulan terjadi. Segala macam ajian dikerahkan Sangen untuk mengalahkan penyusup bertopeng perang yang memasuki tendanya, namun dari belakang sebuah tombak menembus tenda dan langsung merobek lambung Raja Sangen.
Malang, Raja Sangen yang tak sempat mengelak: racun menjalari darahnya. Giliran si pria bertopeng mencari tenda sang putri sebagai persembahan kepada kepala suku Sungai. Ketika tenda sang putri telah ditemukan, pria bertopeng itu seketika merobek-robek kain tenda, dan kini sang putri terduduk di tanah dengan ketakutan.
Apa yang ia alami kini, adalah sebuah perang buta, yang tak pernah ia bayangkan.
Ayahnya gugur.
Pria bertopeng bersegera meraih tubuh sang Putri, namun mendadak pria bertopeng ditendang oleh pria bertopeng lain yang memegang mandau, mandaunya khas berhiasan ksatria Dayak Batu.
Siapa dia? Sang Putri seolah mengenalnya.
Di tengah keributan yang mencekam, kedua pria bertopeng bertempur mati-matian. Segala bentuk mantra mereka ternyata imbang, bahkan cahayanya kadang terlontar kesegala arah.
Satu ketika, penyelamat putri ini lengah. Dadanya tertembus sumpit beracun yang melesat dari arah depan, seorang Sungai bersembunyi dibalik semak-semak, mengintai sejak tadi.
Pagi hampir tiba, sudah remang-remang. Pria Bertopeng yang menyelamatkan sang putri masih bergeming, seperti tembok Batu.
“Pergilah, putri! Larilah!”
“Ke utara!”
Putri bimbang, dalam pengetahuannya, Hutan Utara adalah hutan larangan, karena dipercaya disanalah ruh orang-orang mati bersemayam bersama leluhurnya.
Ia terus menyerang lawannya meski hampir kehabisan darah. Satu ketika, tinju petir penyerangnya menghantam topeng penyelamat, sekaligus melemparnya keudara. Ia terbanting dengan keras.
“Cepatlah! Akan ada yang menunggumu di sana!”
Mendadak, penyerang memanggil kalajengking dan kelabang dari dalam tanah, untuk memakan daging-daging pria bertopeng penyelamat itu. Berpencaran kesegala penjuru, memenuhi arena pertempuran. Sang putri, sempat melihat tato dari balik topeng sang penolong yang pecah: kupu-kupu ksatria yang sangat ia kenal, dan mata yang pernah beradu pandang dengannya. Tetapi siapa?
Pria penyelamat lengah, ia tertebas mandau tepat di lambungnya. Terjatuhlah ia, lalu ia seperti akan mati. Ia melihat kupu-kupu putih pucat di penjuru arena pertempuran.
Jiwanya seperti ditarik ke alam para dewa, namun tiba-tiba perasaannya menjadi tenang, entah kenapa seperti ada zat penenang yang mengaliri darahnya.
Ia melihat leluhurnya hadir di arena pertempuran, namun tak seorangpun bisa melukai mereka karena mereka hadir dalam bentuk gaib. Semua bersayap kupu-kupu putih.
Dalam kegaiban itu, hadir pula ayahnya. Seorang tua, dengan kewibawaan tiada tara.
“Anakku” Katanya tenang.
“Ayah?” ia terpana.
“ Ini dimana? Apakah aku sudah mati?”
“Kau tidak mati. Kami membawamu ke persemayaman para dewa, alam kupu-kupu yang telah menemui kebijaksanaan sejati. Lihatlah ke bumi”
“Dipenuhi darah, ayah”
“Bagaimana aku menyelamatkan sang putri?”
“Sadarilah, segala jenis hikmat yang kau dapatkan selama perenunganmu sedang diuji. Kau adalah kupu-kupu diantara banyak kupu-kupu milik Mahatara. Kini, aku akan menyatu dengan ragamu, dan menyelesaikan pertempuran ini”
“Anakku, kau mencintai putri Sangen, aku memahami itu, tetapi kini, kau harus pergi menuju hutan yang dibangun leluhur kita, Hutan Kupu-kupu”
“Relakanlah hatimu, anakku. Aku akan menyatu denganmu”
Pikirannya mengawang-awang. Tetapi, penyerangnya melihat pelan-pelan raga sang penolong ini berubah menjadi ribuan kupu-kupu, dan menyerangnya dengan kibasan sayap.
Ribuan kupu-kupu coklat ini lalu berkumpul, membentuk sesosok tubuh lain, yang telah menjadi legenda: Raja Sangui. Dato terbesar suku Batu yang moksa dalam petapaannya puluhan tahun lalu. Matanya tajam, namun bercahaya. Tangannya besar.
Ia merapalkan mantra dengan keras, lalu mendadak keajaiban terjadi. Ruh para penyerang, yang berbentuk kupu-kupu dilepaskan dengan isyarat; keluar dari mulut para penyerang. Bercahaya biru, lalu terbang mengitari arena pertempuran.
Penyerang yang mati bergelimpangan, lunglai dan mati seketika. Dengan keajaiban lagi, kupu-kupu biru lalu mengikuti sang Raja Sangui ke udara, ke langit tanpa batas.
Seekor kupu-kupu putih, bersinar pucat, memisahkan diri dari tubuh Raja Sangui. Tepat dari arah hatinya.
Kupu-kupu ini lalu kembali ke bumi, namun menuju Hutan Utara. Tempat persemayaman para dewa.
****
Sang putri, yang lari ke Utara, ketakutan, karena siang tetap seperti malam di Hutan Utara. Hening dan beku, tetapi dipenuhi suara-suara makhluk yang tak terlihat bentuknya.
Mencekam.
Bau darah menyeruak.
Putri melihat wajah-wajah yang ia kenal semasa kecil, yang mati ketika Putri mendewasakan diri, muncul dan menyatu di batang-batang pohon. Ya, pohon-pohon di hutan utara dipenuhi wajah. Dan hanya wajah orang yang kita kenallah yang bisa kita lihat.
Ia melihat wajah ayahnya yang masih segar muncul di sana. Ia juga melihat wajah kakaknya yang tewas dalam pencegatan beberapa tahun lalu. Mengeras, menjadi kulit pohon dan kayu.
Putri hanya bisa menangis, lalu dengan magis, tangisannya menggema ke seluruh hutan seperti bersahut-sahutan. Wajah-wajah yang ada di pohonan juga ikut menitikkan air mata, namun dengan suara lirih.
Mereka mengingatkan sang putri tentang perang, tentang kematian ayahnya. Tiba-tiba, seekor kupu-kupu putih muncul dari selatan. Cahayanya berpendar lembut, mengalahkan malam.
Kupu-kupu ini seperti ia kenal. Putri lalu mengikuti kupu-kupu ini, ia ingin bersegera meninggalkan hutan yang menyedihkan ini, yang dipenuhi wajah korban-korban pertempuran.
Ia setengah berlari, begitu takut kehilangan kupu-kupu putih ini. Putri menerobos duri-duri, sampai suatu ketika ia sampai di sebuah daratan luas, lalu ia melihat hutan yang dipenuhi kupu-kupu aneka warna.
Ditengah hutan yang dipenuhi kupu-kupu itu, ia merasa luka-lukanya sembuh seketika. Tak lama kemudian, ia melihat kupu-kupu putih yang tadi membantunya terbang ke sudut hutan.
Berkumpul dengan kupu-kupu lainnya. Membentuk sebuah raga, raga yang sangat ia kenal: Ksatria Mahin. Wajahnya bercahaya. Ia muncul dalam rupa seorang Dato.
“Kanda?”
“Selamat datang, Dinda”
“Ini Hutan Kupu-Kupu milik leluhur kita”
“Bagaimana kanda bisa sampai di...”
“Ah! Bukankah Kanda yang menolongku di peperangan malam itu?” Tiba-tiba Putri teringat sesuatu. Tato, yang terpampang di pipi Mahin.
“Dinda,” Sela Mahin.
“Dalam kehidupan, ada perputaran. Ulat, kepompong, lalu kupu-kupu”
“Bukankah kanda telah gugur?”
“Aku adalah kupu-kupu, gugur hanya salah satu perputaran kehidupan. Bukankah dinda juga kupu-kupu? Kesedihan akan berganti. Sang Mahatara telah mempersiapkan segalanya”
“Maksud kanda?”
“Para leluhur menyelamatkanku, dan tanah yang kutemukan bagi kampung kita yang baru adalah Hutan Kupu-Kupu, yang hanya bisa ditemukan jika seorang laki-laki mencintai dengan tulus perempuan dari bangsanya” Angin mengusap-usap bunga.
Perenungan Mahin menjadikannya lebih tulus mencintai Sang Putri, lebih dari sekedar mencintai perempuan jelita. Tetapi kupu-kupu: harus tetap mewarnai hutannya, hutan Pegunungan Meratus yang lugu.
Perenungannya juga yang kini menjadikannya setaraf dengan ayahnya: seorang Dato, penghubung dunia Mahatara dengan dunia manusia dan kupu-kupu.
“Kanda...”
“Ini negeri yang diwariskan pada kita berdua, Dinda” cahaya gading sang putri meruah.
“Hutan Kupu-Kupu, Sebagai perlambang baru Suku kita, Suku Anak Kupu-Kupu”



 Ar-Risalah

Rabu, 09 Januari 2013

Wajah



Di kota ini, topeng menjadi komoditas utama. Harganya bervariasi, mulai dari seribu hingga ratusan juta. Topeng polisi mulai tigapuluh juta. Yang termahal tentu saja presiden, empat miliar! Harga yang fantastis untuk sebuah topeng kayu yang dijual di pinggir jalan.
Tentu saja, hukum etalase. Makin baik tempatnya, makin mahal harganya. Air mineral kemasan, di warung pinggir kampung harganya tak sampai tigaribu. Di bioskop mewah di jantung kota sana, harganya delapanribu paling murah. Ya, ya. Semakin mewah tempat dan iklannya, semakin mahal harganya.
Juga, semakin kaya yang membelinya,semakin mahal. Semakin-semakin yang lain juga mendukung, misalnya kegunaan topeng, material, dan siapa yang membelinya.
di kota ini, termasuk juga Uka, semua mengenakan topeng berlapis-lapis. Ada yang bercorak kotak-kotak, batik, lurik, ada juga yang sudah kontemporer, seperti grafiti yang bisa di pesan. Jika sudah usang, ada bermacam cara memperbaharuinya. Masuk masjid, gereja, baca filsafat, merokok, yang penting mengganti kebiasaan di depan sesama pengguna topeng, nanti topeng itu berubah dengan sendirinya. Syaratnya, harus mengganti kebiasaan, menggantinya di depan pengguna topeng yang lain, dan sugesti diri.
Topeng-topeng ini bukan benda mati, ia hidup, memiliki kehendak seperti manusia. ia mampu berbicara, dan inilah yang menyebabkan penggunanyaa tampak tidak terganggu dengan tebalnya topeng yang ia pakai. Keluarbiasaan topeng ini lagi, adalah mampu hidup selama enam jam sebelum akhirnya benar-benar mati, hanya setelah tidak lagi digunakan. Jika topeng ini dilepas, jantungnya akan tertinggal di wajah penggunanya, dan akan tetap berdenyut sebagai memori yang masih bisa dilihat orang, menggantung seperti anggur yang tinggal sebutir.
Uka sendiri mengenakan topeng berlapis-lapis, hingga mukanya tebal sekali. Mirip helm. Topeng-topeng ini bertumpuk dan diganti-ganti sesuai tempat ia berada.
Dalam kolam ikan.
Kandang sapi.
Panti pijat.
Kampus.
Kantor.
Mal.
Dan pemakaman.
Ya, disana setiap topeng dimusiumkan dan diziarahi seperti ikan dalam akuarium, dilihat-lihat anak kecil yang belum mengetahui bentuk topeng rusak.
Suatu ketika, Uka menemukan topeng yang masih hidup di jalanan, ia masih menggumamkan sesuatu di bibirnya. “tolong, tolong... saya haus” katanya.
Uka ragu-ragu, menolongnya? Masalahnya topeng ini agak buruk juga dan pasti akan mati. Usang. Nampaknya ia habis digunakan sebentar dan dibuang paksa oleh pemiliknya.
Jika tidak, ia kasihan juga. topeng ini masih hidup, dan masih punya jantung. Di kota itu, jika menemukan topeng masih berjantung yang dibuang, harus mengembalikan pada pemiliknya. Jadi masalahnya, siapa pemiliknya?
“Siapa namamu?” tanya Uka ragu, ia belum menyentuhnya. Takut.
Agak berat menggerakkan mulutnya, topeng itu hanya minta air. Dengan sisa air di botolnya, Uka meminumkan air ke mulut topeng itu.
“Aku..”
“Antarkan aku pada pemilikku...”
“Siapa pemilikmu?”
“Ke utara, berjalanlah ke utara...”
Agak bimbang juga, tetapi, terdorong rasa kasihan, akhirnya ia membawanya dengan menaruh di wajahnya sendiri, topeng  teratas. Kini wajah Uka menjadi topeng berjantung itu.
Dalam perjalanan, meskipun topeng ini belum mengemukakan kemana tujuan pastinya, ia banyak bercerita tentang masa lalunya, yang Uka pikir terlalu jujur. Dulu, topeng ini dikenakan oleh seorang atheis, yang terus-menerus meragukan Tuhan.
Tuhan hanya teori, katanya. Begitu juga Surga dan neraka. Kalau Tuhan itu ada secara fisik, bukan secara teori, kenapa kita belum bisa lihat dia, dan dia sembunyi dalam topeng Langit?
Betul juga. Uka sendiri sempat berpikir demikian. Semua orang memakai Topeng, kenapa Tuhan harus tidak pakai? Toh dalam kenyataannya, Tuhan memakai Topeng yang kata orang islam, ada duapuluh. Kata orang kristen, Dia bersembunyi di balik topeng Jesus dan Yahova. Cuma, karena salah satu topengnya adalah sosok mengerikan, yang sanggup menyerapahi orang-orang dan menghadiahkan dosa kepada siapa saja yang kurang beruntung, maka jarang ada orang mau membuka topeng-topeng ini dalam teori tentang Tuhan dan segala topeng-Nya.
Dan tentang Surga, tandas topeng ini, ada yang aneh. Kenapa Surga dalam kitab-kitab digambarkan berisi kenikmatan fisik? Air susu yang ada di sungai, menurut salah satu pasal. Arak yang menjadi telaga, di ayat lain. Ada pula parade bidadari bugil yang supercantik, manja, dan wangi, dalam kisah lain.
Masuk akal juga, pikir Uka. Ia mulai menyukai sahabatnya yang bertengger di mukanya. bukankah kita, di dunia ini menghindari kenikmatan fisik, dan harus menyakiti rohani kita dengan segudang kata-kata maaf dan memaafkan?
Apa lagi ketika kita harus membuat keputusan, menyakiti diri agar orang lain selamat, atau membiarkan orang lain sakit dan kita mempertahankan keselamatan diri. Nantinya kita akan mendapatkan balasan dalam Surga. Yang Tinggi. Di langit, kedudukan para raja.
Masalahnya, bukankah kenikmatan tertinggi di dunia ini semasa hidup adalah berupa perasaan, bukan fisik? Kita bertemu dan bercumbu dengan kekasih, dan kita berdua saling cinta, bukan karena fisik ataupun jumlah mereka yang banyak.
Dan juga, di dunia ini buat apa lagi menyakiti diri agar orang mendapatkan kenikmatan hati, tetapi di Surga kenikmatan ini tak ada? Uka mulai berpikir kritis, dan menjadi lawan bicara yang mengasyikkan buat si topeng. Enam jam berlalu, dan topeng ini diizinkan memperpanjang usia dengan memanfaatkan wajah Uka. Akhirnya, topeng ini menempel sempurna di wajah uka, meski belum permanen.
Kembali tentang Surga dalam cerita si topeng ini. Surga adalah tempat segala kenikmatan. Dalam buku yang sempat di baca Uka, seorang ahli mengemukakan bahwa setiap kenikmatan memiliki titik jenuh. Seperti juga hukum harga pasar, keseimbangan itu fluktuatif, memiliki titik ketidakseimbangan yang berubah-ubah.
Lantas, dalam Surga, yang berisi kenikmatan dan kemudahan, bukankah jika kebutuhan sudah terpenuhi tetap saja ada titik jenuh? Kita akan terus mencari yang baru dan baru. hidup kita di dunia ini tidak membosankan karena memiliki tantangan. Level-level kesulitan. Tangga, dan kenikmatan sesungguhnya, adalah terletak pada saat kita menaiki tangga itu, bukan ketika diam pada salah satu levelnya.
Hari mulai gelap, dan orang-orang mulai tertutupi kegelapan malam. Dalam gelap, topeng mereka tampak serupa. Hitam. Bentuknyapun samar. Penerangan banyak, tetapi tidak memperjelas, karena sebagian besar topeng-topeng itu membuat efek bias di malam hari karena perbedaan suhu, cahaya matahari, dan kelembaban.
Yang aneh, orang-orang mulai menunjuk-nunjuk Uka. Mulanya Uka tak peduli dengan itu, tetapi ketika dengan jelas seorang melemparnya dengan batu, Uka mulai bereaksi.
“Ada apa?!” seru Uka.
“Hei Atheis! Jangan masuk kampung ini! pengotor!”
“Maaf, Tuan, saya hanya melewati kampung ini sejenak untuk ke utara!” balas Uka. Topengnya diam saja. Entah kenapa hanya topeng Uka yang terlihat berbeda oleh orang-orang kampung ini.
Jumlah warga yang mengerubunginya memaksa Uka akhirnya lari, lari sejauh-jauhnya! Ia tak peduli lagi utara atau selatan. Topengnya hanya diam, ia tampak tenang. Aneh! Bangsat! Maki Uka dalam hati.
Semakin banyak warga kampung yang mengejarnya. Semua topeng seharusnya nampak sama, di malam hari. Tetapi kenapa topeng Uka bisa di kenali?, ya,kenapa hanya topeng Uka? Cuih! Bangsat! Ia terus berlari sambil sesekali menangkis lemparan batu warga kampung yang semakin dekat.
“Topeng, kenapa kamu tidak menjadi bias malam ini? semua topeng seharusnya menjadi samar di malam hari!”
“siapa bilang aku topeng?”
“kamu sendiri tak membantah ketika kupanggil topeng!”
Sementara topeng-topeng yang digunakan warga akhirnya nampak jelas di mata Uka, ia melihat dengan mata wajahnya, bukan dengan mata topeng yang dikenakannya. Mereka menggunakan topeng ulama-ulama yang berhati bersih, ia tahu benar, di pasar, harganya seratusribu dengan garansi. Ia hafal benar bentuknya. Ya, ia hafal benar, dan tahu setiap lekuknya.
Ia sungguh-sungguh hafal, bagaimana tidak, dulu ia bekerja pada perajin topeng ulama. Jantungnya terbuat dari bahan yang sama untuk membuat jantung topeng pelacur. Benar-benar bahan yang sama, dan kini ia mengenalinya!
Topeng-topeng ulama inilah yang dari tadi berteriak, dan manusia penggunanya hanya menurut saja mengejar-ngejar Uka. Melempari terus dengan batu. Disaat yang sama, dengan terengah-engah, Uka bertanya lagi, “siapa siapa sebenarnya kamu, Topeng!?”
“Aku bukan topeng, aku wajah!”
“Aku wajah!!”

 Ar-Risalah
Rawamangun, 12 November 2012