Selasa, 23 Juli 2013

Menulis, Seriuslah !




"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  (Pramoedya Ananta Toer : Rumah Kaca)
   Saya sempat terdiam dan berpikir setelah membaca kalimat di atas ternyata benar pernyataan dari Pram –sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer –  ketika jiwa dan raganya telah pergi meninggalkan dunia pada 30 april 2006 nama Pram pun masih ada dan terus hidup di dalam karya-karyanya. Berbagai penghargaan pun telah ia raih karena karya-karyanya itu, dan sampai saat ini pengagum karya dari pram sendiri pun tak pernah habis dimakan usia.
   Dalam pernyataan diatas sang nominator peraih nobel sastra itu pun mengemukakan sangat pentingnya menulis dan dampak buruk akibat tidak menulis, tetapi dewasa ini jarang sekali dari kita yang menyadari pentingnya menulis, kita lebih berpikir menulis itu adalah pekerjaan yang buang-buang waktu dan tidak menghasilkan apa-apa semoga pikiran itu tidak ada pada mahasiswa jurusan sastra, memang pada hakikatnya menulis itu bukanlah sebuah cara untuk mendapatkan uang Pram pun berpendapat "Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya pelacuran?” (Pramoedya Ananta Toer : Anak Semua Bangsa) tampaknya Pram sangat mengecam itu, misalnya kita hanya mau menulis jika karena ada tugas saja, ada lomba dan mengharap hadiah saja, bukankan itu tidak ada sangkut pautnya dengan kata hati?  Sepertinya kita harus tahu bahwa menulis adalah sebuah adalah cara untuk menyampaikan sebuah pesan. Para penyair menulis puisi dan sajak karena ada makna dan pesan yang ia sampaikan bukan hanya memamerkan keindahan kata-kata semata, lalu para sastrawan mereka menulis cerpen, novel, roman serta naskah drama karena ada tujuan yaitu sebuah pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Bukan untuk komersil dan kepentingan lain.
  Sebelum menulis ada baiknya kita perlu membaca terlebih dahulu, kita tidak mungkin tahu cara menulis puisi tanpa pernah membaca sebuah buku kumpulan puisi, kita pun takkan pernah tahu cara menulis cerpen bila kita tidak pernah membaca buku kumpulan cerpen begitupun seterusnya. Dari membaca kita bisa dapat mengetahui struktur dari sebuah puisi, cerpen dan yang lainya, kita juga bisa tahu dengan apa para penyair dan sastrawan menyampaikan pesan dari tiap tulisannya dan mungkin kita bisa menirukannya untuk memulai menulis kreatif kita.
  Yang menjadi pertanyaan apakah yang membuat seseorang ingin menulis? Dan masalahnya banyak sekali seorang yang telah memiliki semangat untuk menulis  tetapi mudah pula patah semangatnya.
  Saya pernah menghadiri sebuah forum diskusi antar komunitas sastra di cianjur yang membicarakan tentang masalah menulis kreatif, memang banyak sekali teori yang dijabarkan dan saya tidak bisa memaparkanya. Memang teori-teori itu sangat penting tetapi jika berbicara teori terus-menerus kapan kita mau memulai praktek untuk menulis? Lagipula apa artinya jika seorang dengan segudang teori tetapi miskin praktek?
   Dalam forum itu dapat saya tangkap dari jawaban mereka bahwa yang pertama adalah niat, seorang yang sudah niat untuk menulis pasti akan menulis tanpa memikirkan bagus atau tidak tulisan itu, mungkin karena ia telah membaca sebuah karya yang membuatnya terkagum dan berniat ingin menirukan penulisnya dengan menulis pula. Yang kedua tulislah apa yang ada di sekitar terlebih dahulu, yang sering kita lihat, alami dan rasakan misalnya hujan, tulislah tentang hujan yang sejujurnya dan jangan terlalu jauh karena banyak sekali penulis yang kadang menulis terlalu jauh (banyak dalam puisi) contonya “aku merekam wajahmu pada festival kembang api di paris” padahal si penulis tak pernah ke paris. Yang ketiga adalah yang saya garis bawahi yaitu keseriusan dalam menulis karena banyak dari penulis muda (baru) khususnya, yang pada awalnya giat menulis tetapi ketika mendapat kritik dan hinaan langsunglah menurun semangatnya. Saya memang berpendapat jika penulis yang baru mulai untuk menulis sangat membutuhkan motivasi lebih untuk memperbaiki tulisanya bukan cercaan yang membuat mereka down tetapi pendapat saya langsung terbantah disini, mereka berpendapat seseorang yang sudah menulis berarti telah serius untuk menulis, karena seseorang yang telah serius pasti akan lebih bersemangat bila mendapat kritik dan hinaan, ia akan lebih termotivasi agar karnyanya tidak diremehkan lagi oleh orang yang telah menghina karyanya.
   Saya pun langsung menghancurkan pendapat saya yang tadi, memang jika seseorang yang telah serius untuk menulis pasti kritik setajam apapun akan berubah menjadi motivasi untuknya, menjadi senjata untuk menulis lebih bagus lagi dan berusaha memperbaikinya.
    Maka untuk para penulis muda (baru) janganlah sungkan untuk membagikan karyanya kepada orang lain yang lebih dahulu menulis, lebih tahu kelemahan dan kelebihan tulisan karena kita tidak dapat menilai tulisan kita sendiri. Biarpun karya kita telah dibakar, disobek ataupun di jadikan asbak buatlah itu sebagai motivasi , jika kita telah serius apapun yang menjadi penghambat keseriusan kita pasti akan terlewat.
  Dan saya hanya bisa berpesan : menulislah, jadikanlah itu sebagai pengungkapan perasaan yang seringkali tidak dapat tersampaikan oleh lisan, mengaranglah dengan cerita-ceritamu karena serorang R.A Kartini pun berpendapat “mengarang adalah bekerja untuk keabadian” (Pramoedya Ananta Toer : Anak Semua Bangsa) dan seriuslah, jika kita telah siap memulai untuk menulis kita pun sudah siap menerima berbagai serangan dari para penulis yang telah menulis lebih dulu sebelum kita.
  Semoga dengan tulisan yang kita tulis masyarakat dan sejarah takkan pernah melupakan dan menghilangkan kita walau waktu kita untuk menulis telahlah selesai.



Dos “Boim” Santos
Jakarta, 18.03.13

Senin, 22 Juli 2013

Bahasa Bangsa



  Bahasa, seperti yang kita kenal, ia menunjukan sebuah identitas bangsa. Karakteristik dari sebuah bangsa yang berarti sebuah keutuhan dengan bahasa. Dari kalimat itu kita sudah menyimpulkan bahwa adanya kecendrungan dari  suatu stuktur masyarakat tertentu yaitu dengan mengukur atau menilai suatu kelas seseorang dari cara bertutur. Kita bisa membedakan mana yang pantas disebut bangsawan dan mana yang bukan, mana yang bisa disebut petinggi dan mana yang rendahan, dengan kata lain bahasa dapat menjadi suatu patokan tinggi rendahnya martabat dan latar belakang seseorang.
  Hal ini dapat terlihat jelas dalam bahasa jawa, misalnya seorang jawa yang mengaku sebagai priyayi, tetapi tidak tahu dimana ia harus memakai kata sare dan dimana ia harus memakai kata tilem (yang dua-duanya berarti “tidur”) , dan seorang betawi yang bertingkah sebagai pejabat tinggi Negara, tetapi tidak tahu dimana ia harus memakai kata saya dan dimana ia harus memakai kata gue (yang keduanya berarti menunjukan diri sendiri) pasti ia tidak akan diakui sebagai anggota lapisan yang baik dan dianggap kurang tahu adat.
  Memang menakjubkan bagaimana bahasa itu dapat menjadi remote control bagi jutaan individu banyaknya, tempat orang mengukur diri dalam berbahasa dan beradat-istiadat. Tetapi apakah bahasa kita sudah sangat benar-benar sempurna dengan kata lain sudah menjadi suatu centre of excellent?
Bukankan bahasa kita –Indonesia – hanya suatu perkembangan dari bahasa melayu-riau saja yang dahulu hanya menjadi sebuah pengantar untuk seluruh Nusantara.
  Mungkin tak ada jeleknya. Bahasa ini dengan demikian mudah diikuti dan semakin luas dikenal. Dan lahir juga ejaan baru sebagai pembakuan bahasa kita yang diperkenalkan dan dibuat oleh para ahli bahasa. Tetapi dewasa ini bahasa bangsa kita semakin tidak jelas, dari munculnya bahasa asing ditempat-tempat keramaian, lalu bahasa aneh yang sering disebut alay dan lagi mencul sebuah pemendekan kata –akronim – yang  ada tanpa sistem yang jelas. Bukankah itu masalah?
  Kini di pintu-pintu masuk setiap hotel lebih banyak pengunaan kata welcome daripada kata selamat datang, memang penting mencoba mengerti dan memahami bahasa asing tetapi jika lama-kelamaan kita mulai terikat dengan bahasa luar, apa itu bukan suatu masalah? Belum selesai masalah itu kini hadir lagi bahasa yang aneh –alay –yang contohnya mulai marak pada iklan-iklan di media : ciyus, miapah, enelan.
dan yang terparah bahasa alay itu pun ada di sebuah naskah ujian nasional. Apakah para ahli bahasa tidak memikirkan hal ini sampai-sampai masalah bisa masuk kedalam naskah ujian nasional, dan terlebih manjadi konsumsi publik di iklan-iklan yang beredar bebas.
  Penggunaan akronim –pemendekan kata – pun mulai menyebar di media-media Koran, contohnya ada pada sebuah berita yang menceritakan tentang pencurian kendaraan bermotor tetapi pada judul kolom berita itu malah akronim dari pencurian kendaraan motor itu lah yaitu curanmor  yang terpajang. Apakah akronim ini termasuk kedalam sistem bahasa kita? Apakah ada sebuah rumusan untuk memendekan suatu kata misalnya dari suku kata depan atau suku kata belakang saja? Bukankah dalam tata bahasa hanya dijelaskan tentang kata dasar dan kata turunan, kata ulang atau bentuk ulang, gabungan kata, cetak miring, cetak tebal, tanda koma, titik, titik koma dan lain-lainnya. Tentulah ini sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh para ahli bahasa, apakah bangsa kita yang telah lama merdeka ini akan terus merana dalam kebahasaan yang semakin tidak jelas.
  Lalu dimakah identitas bangsa kita bila bahasa kita masih tidak jelas seperti sekarang ini. bahasa yang telah tersusun rapih dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pun serasa tidak berguna, contoh kata abaimana, candang, dursila, ebek, kenes dan lain-lain apakah kata-kata itu dikenal oleh banyak orang? Tentu tidak, yang mengenal kata-kata itu hanyalah para ahli bahasa dan yang mau mempeelajari bahasa saja. Lalu dimanakah peran badan bahasa sebagai satu-satunya wadah untuk menjaga bahasa kita, bahasa bangsa, bahasa pemersatu, Bahasa Indonesia.
  Lalu bagaimana bahasa kita bisa dikenal dunia bila bahasa kita ini sedang dalam ketidaktidakjelasan yang menjamur, bagaimana kita memperkenalkan bahasa Indonesia kepada dunia sebagai identitas bangsa?
  Akankah bangsa kita selalu dalam ketidak jelasan bahasanya, ketidak jelasan identitas bangsanya, terus dijajahan oleh bahasa-bahasa asing dan alay yang semakin menyebar luar hingga menjadi konsumsi masyarakat yang makin lama semakin merusak bangsa yang menjunjung tinggi bahasa pemersatu , Bahasa Indonesia.
  Mungkin ada baiknya kita kembali membaca dan merenungkan sajak dari M. Yamin yang berjudul “Bahasa bangsa” tentang bagaimana sebuah bangsa seharusnya berbahasa dan memegang teguh bahwasanya tanpa bahasa maka bangsapun tiada.

Bahasa bangsa 
(Muhammad Yamin)

Selagi kecil berusia muda,
Tidur sianak dipangkuan bunda
Ibu bernyanyi. Lagu dan dendang,
Memuji sianak banyaknya sedang

Berbuai sayang malam dan siang,
Buaian tergantung di tanah tuan

Terakhir dibangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri,
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka sertakan rayu,

Perasaan serikat menjadi padu,
Dalam bahasanya permain merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya

Bernafas kita pemanjangan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Dimana sumatra, disitu bangsa
Dimana perca, disana bahasa

Andalasku sayang, jana bejana,
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatra malang
Tiada bahasa, bangsapun hilang

(1920)



Doni Ahmadi
Jakarta, 06.04.13

Mati Sebagai Orang Asing



  Waktu menunjukan pukul lima sore, saat itu aku berada di sebuah taman bersama teman perempuanku –Ana –di kawasan menteng untuk  melepas jenuh sembari memandangi sekumpulan awan putih yang tampak seperti bulu-bulu, menambal langit biru cerah yang bermunculan diantaranya. Awan itu diam seolah-olah mereka tertancap di puncak pohon pinus tua. Suasana yang berisik kini terasa sunyi dan hening di hati.
  Aku ingat sudah beberapa tahun silam semenjak aku meninggalkan kampung halamanku, suasana ini tidak dapat kurasakan lagi, kalau di kampung pasti jam segini aku sedang bersama Udin –Teman semasa kecilku –untuk  bersepeda mengelilingi kampung lalu beristirahat sembari tiduran di padang ilalang yang damai sambil menunggu matahari berhenti memancarkan sinarnya dan pergi sebelum cahaya bulan mulai mengintip.
  Aku ingat sekali saat-saat itu, saat itu Udin sahabat kecilku sering sekali menyuruhku untuk pulang sebelum adzan magrib, tetapi aku abaikan dan biarkan menunggu sampai matahari benar-benar padam. Udin juga sering sekali berguyon dan membuat kami tertawa riang, Kini tidak ada lagi teman yang lucu sepertinya, mungkin kapan-kapan aku akan kembali menjumpainya ke desa.
  “Yan, ini minumanya” seru Ana. Yang baru saja kembali setelah ku suruh untuk membeli minuman
  “Iya, taruh saja disampingku”
  “Kau tampak bingung Yan? Mungkin nanti malam kita bisa bersenang-senang ”
  “Tidak An, aku baik-baik saja, baiklah sayang kita kerumahku dulu sehabis itu baru kita bersenang-senang”
  Aku dan Ana pun langsung pergi meninggalkan taman itu dengan mobil sedan pemberian Ayah dan langsung menuju rumah untuk berganti pakaian. Malam itu aku dan Ana pun pergi menuju bar untuk bersenang senang, sembari meminum beberapa gelas alkohol dan berdansa mengikuti irama musik di ruangan yang gelap dan tentu saja dipenuhi banyak manusia pecinta hiburan malam. Ana hanyalah wanita penghibur yang selalu siap melayaniku dengan uang. Sepulang dari bar kami pun langsung menuju hotel dimana aku beserta wanita-wanita penghibur lainnya selayaknya Ana, menuruti nafsu birahiku.
  Pagi harinya aku teringat akan Udin sahabat kecilku, jadi aku sempatkan pagi ini untuk pergi menuju kantor pos untuk menulis surat kepadanya. Setelah berpakaian aku langsung meninggalkan Ana dalam keadaan tanpa busana dan tidak lupa meninggalkan beberapa lembar ratusribuan di atas meja sebagai servis Ana malam tadi.
  Aku menuliskan tentang rasa rinduku terhadap teman masa kecilku itu, memberi alamat kediamanku agar dia dapat berkunjung dan tak lupa nomor ponselku agar ia dapat menghubungiku.
***
  Sesampainya di rumah Ayah bilang padaku ia akan pergi ke luar kota untuk beberapa pekan, dan aku langsung memanfaatkan keadaan itu untuk membuat sebuah pesta kecil-kecilan bersama teman-temanku. Aku langsung menelpon Rizal, untuk memberi tahu Adri dan Indra mengenai pesta kecil-kecilan yang akan aku buat di rumah, dan tentu saja sekalian menyuruh Rizal membawakan bidadari-bidadari penghiburnya.
  Sore hari aku mulai menyiapkan persiapan untuk pesta malam ini, speaker aktif dengan volume suara yang besar pun aku keluarkan agar rumahku terkesan selayaknya bar, tak lupa ku pesan minuman beralkohol ber dus-dus. Tak lama kemudian Adri pun datang bersama Rizal dan Indra.
  “Hey Yan, sudah siap kita berpesta malam ini” seru Adri.
  “Canggih bener lo Yan” tambah Rizal.
  “Iya lah, oh ya, mana pesanan gue Zal, jangan bilang lupa dah”
  “Santai saja Yan, lima menit lagi sampai” jawab Rizal
  “Sabar sebentar Yan, kalo masalah itu mah Rizal nomer satu, ga bakal terlewat haha” seru Indra sembari tertawa.
  Ting nong ting nong, terdengar bunyi bell pertanda adanya tamu. Benar saja apa yang dikatakan Rizal, belum sampai lima menit sudah datang bidadari-bidadari pesananku itu. Mereka ada empat orang dan Rizal pun langsung mengenalkan bidadarinya satu persatu.
  “Maaf ya Zal agak sedikit telat, abis supir taksinya lelet” seru salah seorang dari mereka yang menggunakan gaun berwarna merah, dengan rambut yang tergulai menutupi bagian dada yang lumayan besar itu.
  “Iya Zahra, kami juga baru mau mulai” seru Rizal
  “Oh ya, perkenalkan Ini Zahra, yang menggunakan gaun merah” lalu Zahra pun bersalaman kepadaku Indra dan Adri sembari mencium pipi kanan dan kiri.
  “Ini Fitri yang bondol dan agak pirang, lalu Tesya yang bergaun biru dan satu lagi Misya” merekapun mengikuti apa yang Zahra lakukan terhadap ku Indra dan Adri sebelumnya.
  “Zal, pintu di tutup rapat-rapat ya” tambahku sembari masuk kedalam ruang tamu yang telah disulap menjadi tempat pesta”
  Memang  kalau masalah ini Rizal sangat cekatan. Sudah banyak sekali aku dapat kenalan wanita darinya. Malam ini terasa sangat sempurna ada teman-temanku, ada alkohol kesukaanku, ada pula wanita-wanita yang menemaniku, aku pun tenggelam dalam suasana gemerlap dengan irama yang menghentak ini.
  Dorr dorr dorr,Assalamualaikum. Terdengar bunyi ketukan pintu dan salam ditengah pesta kecilku.
  “Yan itu yang ketuk pintu siapa Yan?” tanya Adri.
  “Tunggu, biar aku yang bukakan” jawabku. Dan langsung aku menghampiri pintu rumahku yang di ketuk itu. Ketika aku membuka pintunya dalam keadaan setengah sadar aku tak dapat mengenali sepenuhnya siapa orang itu dan ia langsung berkata.
  “Rianto, piye kabar? Iki udin” dan ia langsung memeluku.
  “Oh,  ya Din baik-baik kamu bagaimana?”
  “Aku ya apik. Wah, wis suwe ora ketemu ki. Kangen rasane karo kanca”
  “Sama Din, kau bukan kabari aku dulu?”
  “Tak sempat aku Yan, iki lagi ada pesta Yan” belum sempat aku jawab pertanyaan Udin tiba-tiba Rizal dan Indra sudah ada di belakangku.
  “Siapa dia Yan? Pake blangkon, baju aneh, ngomong medok hahaha” seru Rizal sembari tertawa.
  “Tau Yan, bukan mahluk bumi ini mah hahaha” tambah Indra.
  “Mereka sopo Yan?” tanya Udin.
  “Lo berkawan dengan alien Yan haha” tambah Rizal
  “Asal kalian tahu ya, blangkon dan baju yang kupakai ini adalah ciri dari berbudayanya orang Indonesia, bahasa yang kupakai ini juga ragam dari bahasa asli Indonesia. Aku tahu sejarahnya apa yang aku pakai ini, setidaknya aku lebih mengenal budaya di negeriku ini, tidak seperti kalian yang mengaku menetap di Indonesia tapi masih seperti orang asing bila melihat budayanya. Asal kalian tahu aku jugu bisa berbahasa Indonesia !” seru Udin dengan nada tinggi, sepertinya ia agak marah dengan ucapan Indra dan Rizal tadi.
  “Bangsat! tak usah jadi dosen mendadak kau di sini” jawab Rizal dengan keras.
  “Itulah, mengapa aku bilang kau orang asing. Kau lebih memakai kekerasan dari pada akal. Budaya bangsamu sendiri kau hinakan. Persatuan yang tertulis di bawah cakar sang garuda pun kau lupakan, mau jadi anak haram kau di negeri ini?”
  “Sudah-sudah !” teriakku.
  “Maaf Yan, sepertinya kehadiranku tidak diharapkan di pestamu ini. semoa kau tak jadi orang asing dan anak haram di bangsamu ini, Rianto kanca ku” dan Udin pun langsung pergi meninggalkan kami, pergi entah kemana dan membuatku merasa sangat bersalah terhadapnya.
  Keseokan harinya aku hanya berdiam diri di kamar menerenungi ucapan udin kemarin malam, sepertinya aku telah benar-benar menjadi orang asing di negeriku ini. hari-hari selanjutnya tubuhku pun terasa tidak enak sekali, terus-terusan diare hinga dalam sehari aku bisa hampir lima kali bolak-balik kamar mandi, batuk hingga mengeluarkan darah hingga berat badanku turun drastis. wajahkupun tampak pucat hingga yang terparah aku pingsan dan harus di bawa kerumah sakit.
***
  Ketika kedua kelopak yang menghalangi indera penglihatanku terbuka terdapat alat pembantu untuk bernafas terletak menutupu hidung dan mulutku, ternyata aku masih dapat melihat indahnya dunia ini. Saat itu aku berada dalam ruangan yang di penuhi alat alat kedokteran , tiba-tiba ayah datang dengan seorang laki-laki yang berkacamata dan berpakaian serba putih lalu mereka berdiskusi di hadapanku. Aku tidak mengerti apa yang mereka diskusikan itu, beberapa menit kemudian pria berkacamata yang memakai pakaian serba putih itu keluar, lalu ayah menghampiri aku dengan matanya yang berkaca-kaca dan masih terlihat sedikit bekas air matanya. Akupun langsung membuka alat bantu pernafasanku seraya bertanya.
  “Apa yang terjadi padaku Yah?”
  “Maafkan Ayahmu nak, kau terlalu Ayah biarkan bebas sehingga kau menjadi seperti ini”
  “Memang Aku ini sakit apa Yah?” Ayah pun langsung pergi meninggalkanku di ruangan itu dan menunggalkan sepucuk amplop putih dengan keterangan rumah sakit yang ku tinggali sekarang ini.
  Aku ambil keluarkan kertas keterangan dari sepucuk amplop itu dan membacanya.  betapa hancurnya leburnya persaanku saat mengetahui itu, airmataku pun tidak mampu lagi kutahan, aku merasa hidupku sudah amat tidak berarti lagi. Ternyata aku sanghatlah bodoh, aku bukanlah orang yang pantas untuk tinggal di negeriku ini, aku terlalu mengikuti gaya negeri asing yang penuh hura-hura dan pesta serta kebebasan sex yang mengakibatkan aku terkena virus mematikan ini –HIV/AIDS .
  Sepertinya umurku sudah tidak panjang lagi, sebelum aku tutup hidupku aku meminta suster untuk membawakan pulpen dan beberapa lembar kertas.


Untuk  Ayah,
  Ayah maafkanlah aku yang telah terlalu bebas ini, aku benar-benar anak yang tidak bisa dibanggakan olehmu, aku terlalu terbawa oleh kenikmatan dunia malam yang membuatku terjerat seperti ini. dan untuk Ibu yang telah melahirkan akau, andai saja kau masih ada, pasti kau yang akan selalu melarangku, menasihatiku memberiku jalan yang seharusnya ku langkahkan tetapi semua telah terjadi dan biarkan aku menikmati buah yang aku tanam ini.
Untuk Udin sahabatku,
  Aku ingat semasa kecil waktu itu kita sering sekali bersepeda keliling kampung, pergi ke sungai untuk berenang, menonton televisi di rumah Pak Lurah, melihat pertunjukan wayang dan bangyak lagi yang tak dapat kusebutkan satu persatu. Tapi setelah aku pindah ke kota semua itu teasa hilang, aku lebih banyak berfoya-foya untuk kesenanganku hingga lupa akan dari mana aku berasal. Lupa akan kesederhanaan kita semasa kecil, lupa akan budaya kita, bahasa kita yang dulu, dan rasa cinta antar sesame dulu. memang kini aku telah menjadi orang asing di negeriku sendiri, seorang anak haram di negeriku sendiri. Lupa akan gaya hidup di negeriku sendiri dan lebih mengikuti gaya orang asing yang selalu bersenang-senang tanpa memikirkan sebab akibat perbuatanku. Kini aku telah terjangkit virus yang mematikan yang mungkin akan meniadakan aku hingga beberapa hari kedepan. Maafkan aku Din, yang telah lupa akan negerinya, yang telah terlalu jauh melangkah hingga lupa kan asal mulanya. Semoga kau mau memaafkan aku Din.
Jakarta, 10 maret
Ahmad Rianto

  Ku selesaikan tulisan itu lalu meninggalkannya di meja sebelah tempat tempat tidurku, lalu pergi keluar rumah sakit untuk melewati jam-jam terakirku pada jalan, tanah, dan trotoar negeriku. Negeri di mana aku dilahirkan, dibesarkan dan dimatikan walau sebagai orang asing.



Boim Dos Santos
Jakarta, 09.04.13

Biodata Penulis :

Doni Ahmadi (Boim Dos Santos), sekarang sedang sibuk mengambil S1 jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta. Bergabung dengan komunitas Tembok Sastra UNJ , biasa menulis dengan nama pena Boim Dos Santos. Dan biasa mengarsipkan karyanya di blog pribadinya Donedossantos.blogspot.com

Jerat yang Menjadi Tangkap



Jalan setapak di tengah hutan, di kanan terdapat bukit yang menjulang dengan banyak 
pohon berdiri tegak di miringnya konstruksi tanah. Sementara di sisi kiri pepohonan dan semak 
tumbuh tak beraturan hingga menutupi jarak pandang untuk melihat lebih jauh lagi.
Di kanan jalan tepat di atas bukit, tersembunyi di balik pepohonan yang berdiri miring, 
dua orang dengan wajah sangar sedang sibuk mempersiapkan sebongkah batu raksasa 
seukuran sebuah rumah dengan pengungkit kayu yang terjepit di bawahnya.
“Hmmm seberapa jauh lagi rombongan pengawal pembawa upeti yang kau lihat?” ucap 
salah satu orang dengan ukuran tubuh yang lebih besar dari satunya.
“Kira-kira tepat matahari menyentuh ujung daun pohon itu” pria itu menunjuk ke arah
belakang, sebuah pohon tepat di seberang jalan di atas bukit, tempat mereka mempersiapkan 
jebakan untuk menghadang rombongan pengawal pembawa upeti kerajaan.
“Bagus, kuda-kuda besar yang kucuri dari peternakan kerajaan pun dalam kondisi sehat 
untuk mengangkut pundi-pundi emas yang sebentar lagi akan menjadi milik kita hahahaha”.
“Tapi apakah kau yakin, batu raksasa ini akan membunuh semua prajurit pengawal upeti 
itu?”.
“Haah, dasar bodoh! Tidak mungkin akan membunuh semuanya. Itulah sebabnya kau 
kusuruh membawa pedang!”.
“Ta tapi apakah kita mampu berhadapan melawan mereka yang jumlahnya jauh lebih 
banyak”.
“Heyy Adik bodohku. Jumlah kita memang kalah banyak, tapi dengan batu ini sebagian 
besar dari merak pasti akan terlindas mati”.
“Aah, kau memang pintar Kak!”.
“Tentu saja, aku! Dan jangan lupa, siapakah bandit terkuat seantero dunia persilatan 
saat ini”.
“Iya Kak, yak au betul. Aku hampir lupa”.Bila dilihat secara seksama tanpa mmepedulukan ukuran tubuh mereka, wajah di antara 
mereka berdua sangatlah mirip, dari bentuk wajah, hidung, mata, bibir serta tahi lalat di pipi 
kanan pun begitu sama. Mereka berdua sebetulnya kembar, namun akibat perbedaan ilmu 
silat. Meski dari perguruan yang sama membuat ukuran tubuh mereka berbeda. Si kakak begitu 
besar dan tinggi badannya karena ia begitu kuat, sedangkan si adik tubuhnya kecil karena ia 
lebih lincah dan cepat dalam bertarung. Mereka berdua saling melengkapi satu sama lain dalma 
pertarungan, tapi meskipun begitu tiada manusia yang sempurna begitupula mereka tetap 
memiliki kelemahan.
“Heyy kalian berdua! Apa yang sedang kalian lakukan?” tiba-tiba terdengar suara 
mengagetkan mereka berdua dari belakang.
“Hah!” begitu terkejutnya mereka melihat seorang berbadan tegap serta berpakaian 
prajurit lengkap dengan senjata perang tengah duduk di atas kudanya, tiba-tiba muncul di 
belakang mereka.
“Cepat jawab pertanyaanku!”.
Dilihat oleh mereka tepat di belakang prajurit berkuda itu, rombongan pengawal 
pemabawa upeti kerajaan tengah berbaris diam menunggu aba-aba dari prajurit di atas kuda 
itu.
“Eee aa anu…”.
“Apa yang akan kalian lakukan dengan batu raksasa itu?”.
Siku tangan si kakak mendorong tubuh adiknya, “bodoh kau!”.
“Maaf Tuan, kami hanya sedang memindahkan batu ini”.
“Oohh apakah batu itu tadinya menghalangi jalan ini?”.
“Betul, Tuan” agak kikuk si kakak menjawab.
“Hmm sungguh mulia perbuatan kalian berdua. Tapi….” Prajurit berkuda itu mematut 
wajah kakak beradik itu baik-baik, sambil mengelus-elus dagunya. Berpikir, “sepertinya aku 
pernah melihat wajah kalian, tapi dimana? Sungguh tak asing”.
“Kami hanya penduduk di sini, Tuan. Yang kebetulan sedang melintas, lantas melihat 
batu ini menghalangi jalan maka kami singkirkan”.
“Ya, tapi…. Apa pekerjaan kalian?”. Prajurit itu bertanya sambil erus berpikir.
“Pe pekerjaan kami hanya pengumpul kayu bakar saja, Tuan. Untuk dijual ke pasar”.Prajurit itu melihat sekeliling, ditemukannya dua ekor kuda yang bgeitu sehat terikat 
pada sebuah pohon, “lantas kuda-kuda siapakah itu?”.
“Kuda itu, Tuan?”.
“Ya kuda itu. Tidak mungkin kuda yang terikat itu kuda liar bukan?”.
“Tentu bukan kuda liar, kuda-kuda itu milik kami”.
“Hmmm ada dua orang pencari kayu bakar dengan dua ekor kuda yang sehat. Tunggu 
dulu! Kenapa kalian membawa pedang?”.
“I ii ini…”.
“Pedang perang?! Jangan-jangan kalian?!”.
Begitu cepat tubuh si adik melontar ke udara hingga tak disadari oleh si prajurit. Dengan 
pedangnya si adik menebas leher si prajurit hingga kepalanya memisah dari lehernya.
Melihat hal itu para prajurit pengawal lainnya segera bersiap dengan senjatanya masingmasing.
“Bandit!!”.
“Kita ketahuan Kak!”.
“Ya, Adik. Terpaksa kita mesti berhadapan dengan mereka semua!”.
“Jaga upeti!” teriak seorang prajurit pada prajurit lainnya.
Seringan bula angsa tertiup oleh angin, tubuh si adik melontar kembali ke udara menuju 
rombongan pengawal upeti, menyerang. Sementara si kakak berlari, mencondongkan bahunya 
ke dapan, menyeruduk seperti badak kalap.
“Arahkan tombak ke udara! Jangan sampai dia mendarat!”.
“Astaga!” begitu tepat di atas para prajurit pengawal upeti, tubuh si adik tertusuk 
beberapa tombak di tubuhnya lantas melaynaglah nyawanya seperti tubuhnya yang begitu 
ringan melayang di udara, di hadapan tombak-tombak tajam para prajurit pengwala upeti.
“Adikk!!”suara teriakkan si kaka terdengar membahana seisi hutan. Beberapa prajurit 
pengawal upeti yang diserang oleh si kakak rupa-rupanya roboh dengan tubuh remuk setelah 
terhempas tubrukkan si kakak. Ia kembali berlari menyeruduk ke arah prajurit pengawal upeti 
yang menombak tubuh adiknya, “bangsat kalian!”.


Ridwan

Selasa, 11 Juni 2013

Wajah Dalam Kanvas


Pelukis itu masih saja duduk di terminal menunggu bus, sudah setengah jam ia menunggu. Agaknya dia akan melakukan perjalanan jauh kali ini, meski hanya membawa sebuah kanvas tertutup koran beberapa kuas dan satu kotak cat minyak. Tapi ia tak peduli dengan apapun karena sudah mantap betul tujuan dia untuk pergi menggunjungi berbagai tempat untuk melukis. Melukis sebuah wajah. Bus yang ia tunggu tiba. Ia hampiri kondektur bus tersebut.
                “Bang, ke Puncak?” tanyanya.
                “Iya Mas”.
                Pelukis itu berjalan beberapa langkah tak jauh dari pintu belakang bus. Dinyalakannya sebatang rokok, mengisi waktu luang menunggu Bus tersebut selesai menaikkan penumpang lantas pergi. Agak lama ia menunggu sembari memperhatikan wajah orang-orang yang lalu lalang, naik dan turun dari bus.
                “Ayo mas, busnya mau berangkat!” ajak Kondektur bus padanya.
                Selama perjalanan ia hanya terus menatap ke luar jendela memperhatikkan awan dan puncak-puncak gunung yang terlihat di kejauhan. Angin yang deras membabat rambutnya yang panjang dan keriting, mengibar ke belakang.
                “Mau ke mana, Mas?” ucap ramah seorang penumpang di samping si Pelukis.
                “Ohh mau ke Puncak, Mas”.
                “Hmmmm mau melukis ya?.
                “Iya, Mas”.
                “Mau melukis apa, Mas?”.
                Tatapan kosong di mata si Pelukis menatap wajah ramah seorang penumpang yang bertanyanya, “entahlah, Mas. Saya pun bingung mau melukis apa”.
                “Lho kok bingung, Mas. Kan Mas bisa pelukis. Otomatis bisa melukis apapun dong”.
                “Tidak semuanya dapat saya lukis, Mas. Ada seseorang yang tak dapat saya lukis”.
                “Siapa, Mas? Pacarnya ya?”.
                “Bukan”.
                “Lantas siapa?”.
                “Seseorang”.
                Setibanya di terminal penurunan, ia berjalan menaiki angkot biru yang terparkir menunggu penumpang. Ia duduk di samping supir. Angkot itu meluncur deras, menaiki kelokkan-kelokkan jalanan puncak, sesekali jalanan itu macet karena beberapa warga pengguna sepeda motor mencoba untuk menyebrang jalan.
                “Rokok, Bang?” Sopir angkot menawarkan rokok dari bungkusnya kepada si Pelukis.
                “Oh iya, terima kasih Pak” Pelukis itu menolak dengan halus.
                “Mau menjual lukisan ya, Bang?”.
                “Ooh, saya mau melukis, Pak”.
                “Mau melukis apa, Bang?”.
                “Entahlah, Bang” tetap sorot mata si Pelukis masih kosong menatap aspal jalanan yang basah karena gerimis yang membasuh.
                 Ia turun di sebuah terminal satelit dekat perumahan warga dan sebuah kebun teh. Ia berjalan menyebrang perkampungan hingga sampai di kebun teh. Terus berjalan menuju atas melewati kabut tipis yang sesekali turun dan ia mesti menutup kanvas yang terbungkus koran dengan plastik hitam besar, agar tak basah.
                Turunan dan tanjakkan terjal ia lewati, meski harus melewati beberapa aliran mata air yang membasahi sepatunya. Udara yang dingin ia lewati dengan jaket tebal yang lengket bersama tubuhnya, walau celana jeans yang ia kenakan sobek pada lutut sebelah kirinya. Ia tetap berjalan, hingga sampai pada sebuah tempat tepat di mulut jurang. Di sana ia melihat dari kejauhan pohon-pohon liar tumbuh serampangan dan gunung tinggi yang akhirnya mengakhiri pandangannya.
                Kabut sudah tak turun lagi. Ia keluarkan kanvas dari plastik dan korang yang membungkusnya. Kuas-kuas dan sekotak cat minyak yang ia bawa dipersiapkan. Di buatnya sandaran kanvas dengan tiga batang pohon yang telah jatuh, ia tancapkan pada tanah yang basah hingga berdiri tegak.
                Cat warna hitam ia buka tutupnya lantas ia usapkan bulu kuas di atasnya, rupanya ia tak menuangkan cat itu di atas valet biasa ia gunakan untuk melukis. Usapan pertama bulu kuas ia tuangkan pada kanvas hingga menyerupai bentuk setengah lingkaran dan di usap terus hingga penuh setengah lingkaran di luarnya. Ia berganti dengan berbagai cat mulai dari cat putih, hingga ia campurkan dengan berbagai warna yang ditindihkan sampai membentuk warna lainnya. Begitu seterusnya.
                Telah selesai ia melukis bagian kepala dan setengah badan pada kanvas menyerupai tubuh seorang wanita dengan kerudung hitam yang menutup hingga tubuhnya. Namun kuas yang diapit jari telunjuk dan jempol kanannya tiba-tiba terjatuh lemah ke atas tanah.
                Ia menarik rambutnya yang basah dengan tangan kanan, “bahkan untuk wajahmu pun aku tak mampu! Apakah aku lupa akan wajahmu? Matamu, hidungmu, bibirmu? Bahkan aku lupa tempias cahaya yang jatuh membias di kening dan pipimu?”.
                Diambil kembali kuas lainnya, dicolekkan cat warna kembali mengulang dari semula. Menindih lukisannya yang semula. Kini ia melukis seseorang tanpa wajah dan tak mengenakan kerudung, meski sama hanya setengah badan yang ia gambar. Wajahnya pun belum ia lukis.
                “Aku harus melukis wajah kali ini. Meski wajah dan orang yang berbeda!”.
                Ia usapkan bulu-bulu kuas dan catnya membentuk sesosok wajah yang begitu jelas kali ini. Tapi alangkah terkejutnya kembali ia, ketika selesai melukiskan lukisannya. Ternyata yang ia lukis adalah wajahnya sendiri dengan rambut panjang yang sama seperti dia, mata, hidung dan mulut.
                Ia tertegun, matanya terus menatap ke dalam mata dalam lukisannya begitu dalam. Begitu dalam hingga ke dalam cat-cat yang mennghiasnya.
                Diambilnya sebungkus rokok dari kantong jaketnya, sebatang rokok ia nyalakan. Asap yang berhembus berwarna kuning gelap. Setelah sekali isapan dia hanya tetap terdiam, terus memandang lukisannya sendiri. Ia begitu bingung dengan apa yang ia lukis. Kenapa menjadi seperti ini? Rokoknya tidak ia hisap kembali, biar ia terbakar sendiri. Biar ia mati karena tak ada lagi yang dapat terbakar. Biar asap-asap itu bebas dari wujudnya yang lama kewujudnya yang baru.

                Kabut seketika datang dan turun membasahi lukisannya. Cat-cat yang tadi ia torehkan perlahan dibasahi oleh kabut yang turun. Kainnya kini telah basah. Bulir-bulir cat minyak yang terbasahi mulai muncul dari setiap pori kanvas, lantas semakin lama lukisan itu hancur gambarnya. Pudar. Pelukis itu tetap terdiam sembari samar air matanya menyatu dengan gerimis yang turun dari kabut. Tak ada suara. Ia tak menangis. Hanya air matanyalah yang menangis.  


Ridwan

Tarian Rumi


Tuan Asmara namanya, tinggal di kota tempat Tuhan menciptakan dan dianggap diciptakan. Orang-orang mengemasnya agar bisa dibagikan dan dijual kepada yang lain, dan agar nilai-Nya terasa. Harganya mahal sekali. tak sembarang bisa membelinya. Sekali ini ia butuh Tuhan. Penisnya mengkeret, rupanya buruk sekali. ia percaya Tuhan mampu menguatkan hati dan penisnya, lalu membaguskan rupanya. Tapi Tuhan mahal sekali. perempuan juga mahal sekali. seharga rupa dan penisnya.
Ia melihat Tuhan dijual di toples-toples kaca, di toples-toples plastik, dan di botol-botol air mineral. Ia ingin membelinya tapi takut harganya mahal sekali. ia lalu mencari cara; lalu ia pergi ke masjid-masjid dan gereja. Ia cari keran yang memancarkan Tuhan dengan gratisnya setiap hari. Ia menadahnya dengan botol bekas air mineral sebanyak-banyaknya. Ia bawa pulang dan disimpan di tempat yang terjaga.
Setiap hari ia menjadi pengunjung masjid dan gereja. Keperkasaannya bertambah, sebab minum air keran yang memancarkan Tuhan. Ia begitu menikmati proses ketika: ia membuka keran. Ia menadahkan botol. Tuhan mengalir deras. Botol berguncang, lalu terpenuhi Tuhan. Ia menutup keran. Ia menimang-nimang botol. Ia mengocoknya sedikit. Mencium bau segar-Nya. Ia membawanya pulang. Diambilnya sebuah gelas kaca. Ia menuangkannya hati-hati. Tersenyum licik dan ngeri. Gelas penuh. Didekatkannya gelas itu ke mulut, dibauinya sejenak. Ia minum-Nya dengan hati-hati.
“Aku haus, aku haus
Haus sekali
Tuhan basahi aku basahi aku”
Begitu setiap hari, sampai ia merasa sangat perkasa dan jantan. Sangat-sangat perkasa. Satu perempuan tertarik padanya. Kuning bening kulitnya. Mungil manja bibirnya. Matanya menyala dan liar. Tangannya kecil dan lincah menemukan kegelian laki-laki. Buah keperempuanannya lembut, tapi ranum. Tak cukup tinggi tapi juga tak pendek sekali. kedua kakinya seperti ingin berlari-lari mesra dan mengapit kelelakian dengan sempurna.
Dua perempuan tertarik padanya. Rupanya hampir sama, tetapi hatinya lebih manja. Siap berbagi penis dan memegangnya berdua. Di kanan dan kiri, seperti dua malaikat yang memanen buah-buahan yang tumbuh dari laki-laki kedalam keranjang kewanitaannya. Semakin hari semakin Tuhan adanya, semakin Tuhan adanya, dan keran-keran air di rumahnya juga memancarkan Tuhan.
Kebiasaannya menadah air di gereja dan masjid membuatnya dikenal sebagai si penadah air. Ia lalu air Tuhan itu kepada siapapun yang lewat, karena ia sendiri merasa harus membagi-bagikan itu. Pun tubuhnya semakin Tuhan saja, meminum Tuhan setiap hari membuatnya makin seperti Tuhan. Air itu mempengaruhi perawakannya.
Lonceng gereja berdentang setiap kali Jesus turun dan membagikan kelelakiannya ke seluruh dunia, ke seluruh dunia termasuk tempat tuan Asmara berada. Tuhan mengalir sampai jauh, mencampuri darah dan air benih-benih dimana manusia diciptakan darinya. Perempuan dan laki-laki mengalir sampai jauh, sampai Tuhan berhenti alirannya.
Semakin hari, semakin Tuhanlah ia. Semakin bercahaya. Janggut dan matanya tegas. Laki-laki sekali. dadanya bidang berambut. Tangan kekar. Yang lebih Tuhan, penisnya yang menirdayakan perempuan-perempuannya. Ia berlari-lari kecil dalam kamar dan telanjang, kanak-kanak yang polos tanpa busana. Penisnya menggantung-gantung dan memanggil perempuannya. Perempuan-perempuannya datang dan telanjang juga, buah dadanya mengayun-ayun. Belahan panggulnya yang sintal berguncang, dan pintu keperempuanan mereka memancarkan aroma mawar yang meruah dan mengalir kedalam penis Tuan Asmara. Mereka terus berlarian sampai berkeringat. Tertawa-tawa kecil. Sekali-sekali menyentuh, sekali-sekali mencolek.
Suatu ketika, Tuan Asmara merebahkan dirinya di dipan putih tua. Penisnya terbuka, perutnya terbuka, dadanya terbuka. Ia siap menerima hutan-hutan pinus yang manja. Perempuan-perempuannya mengerti, mereka menindih Tuan Ahmad. Yang satu menanti di sisi, sambil mengurut-urut kedua sayap perempuannya. Yang satu membukakan pintunya, kunjungan penis ia terima dengan perlahan. Jari-jemari saling meremas dan menghangatkan. Maju-mundur malu-malu dan tersipu. Buah dada perempuan itu mengusap-usap dada Tuan Asmara yang berdentang seperti tinju. Perutnya yang halus, membimbing pintu dan tamunya terus bercengkrama. Panas membuncah, sebuah kesepakatan dibuat. Penis menjatuhkan diri di pelukan manja liang perempuannya.
Pada perempuan kedua tangannya lebih lincah, ia membelai-belai sayap perempuan itu agar bisa terbang dan mengajaknya serta. Tangan perempuannya lebih leluasa, jemarinya yang lentik dan halus kuning langsat memijit-mijit manja penis Tuan Asmara. Lalu ketiganya tertawa sepanjang malam itu, sampai pagi terbit dan matahari baru mandi yang muncul juga tertawa-tawa. Masih tanpa busana, mereka mandi bersama.
Dari busa-busa sabun beterbangan cinta. Putih warnanya. Harum aroma bunga. Bergemericik air dipermainkan Tuan Asmara dan kedua wanitanya. Saling membersihkan dari kotoran-kotoran. Terus-menerus digosok sampai bening dan tersisa Tuhan saja tanpa noda. sampai badan ketiganya harum sekali dan bening sekali.
Tuan Asmara terus meminum Tuhan yang memancar-mancar mengalir dari keran masjid dan gereja. Ia merasa tak akan pernah cukup hausnya, tak akan pernah sampai puasnya. Ia lantas tak lagi menggunakan gelas, ia langsung minum dari botolnya. Ia tuangkan sampai basah janggut dan dadanya. Ia lakukan itu setiap hari dan setiap malam bersetubuh kembali ia dengan kedua perempuannya.
Ia benar-benar menghayati ketika teguk demi teguk Tuhan membasahi lehernya, memasuki lambungnya, dan memasuki metabolisme darahnya. Darahnya lebih jernih, dan tubuhnya serasa tak akan tua. Botol demi botol Tuhan dari keran air masjid dan gereja ia teguk, tak juga memuaskan dahaganya. Ya. Suatu waktu ia mulai merasakan hausnya tidak wajar. Hausnya tak bisa dipuaskan. Hausnya haus sekali.
“Basahi aku Tuhan basahi aku
Haus sekali Tuhan aku haus sekali”
Ia mulai lupa pada wanitanya. Ia kini memusatkan perhatian pada botol-botol Tuhannya. Yang bisa ia reguk setiap hari, memuaskan hausnya. Pada satu pagi, kehausan menjalari mulutnya. Panas dan kering sekali. ia minum satu reguk Tuhan dari gelas kaca. Hausnya malah merambat sampai bibir dan lehernya. Ia reguk sepuasnya Tuhan di botol-botol air mineral, hausnya menjalar sampai paru-parunya. Nafasnya haus sekali. panas sekali. kering sekali. sesak sekali. ia siramkan air ke lehernya langsung, agar segarnya lebih kuat lagi. Kini hausnya ia rasakan mengelupaskan kulit tangannya. Panas. Tangannya kehausan dan seperti terbakar, mengerut dan mengerut seperti diasapi dan dikeringkan. Ia berlari, ia lepas bajunya. Ia kepanasan sekali. ia lari, ia lepas celananya. Ia lari, ia kepanasan sekali. ia lepas celana dalamnya, hingga penisnya yang kehausan juga nampak. Seluruh tubuhnya seperti diperas, ia menggigil kehausan dan gemetar. Ia berlari, ia mencari keran Tuhan tempat Tuhan dipancarkan dan bisa diminum sepuasnya. Ia lari, ia lari, panasnya semakin mengejarnya dan mengeringkan kulitnya. Matanya merah. Kulitnya kisut. Nafasnya sesak sekali. telanjang tanpa busana dan perlindungan.
Sampai di keran Tuhan di masjid ia buka kerannya, ia putar sampai lubang yang paling menganga. Tuhan memancar mengalir deras sekali dan Tuan Asmara mandi tapi makin kering juga tubuhnya, ia balurkan Tuhan pada sekujur kulitnya, tapi makin mengering saja. ia gemetar, ia melompat-lompat sementara Tuhan makin mengaliri tubuhnya.
Sambil berteriak-teriak “Aku haus, aku haus!” katanya.
“Aku haus, aku haus!”
“Aku haus, aku haus!”
“Basahi aku Tuhan basahi aku, biarkan aku dibanjiri alir-Mu!”
“Aku kering, aku kering, basahi aku Tuhan basahi aku!”
“Aku haus minumi aku Tuhan minumi aku!”
“Aliri aku aliri aku!”
Sementara di rumah, perempuannya kebingungan, laki-lakinya hilang dan ditemukan sedang menari-nari Rumi di keran masjid. Tuhan, Tuhan, katanya. Tuhan, Tuhan, basahi aku, katanya. Seperti ketika malam persetubuhan dengan mereka berdua: basahi aku, basahi aku, basahi kami!
Perempuan-perempuan itu berlari sambil menari mengejar Tuan Asmara yang menari-nari kehausan, dan menyerukan nyanyian kehausan. Sampai di tengah kota, perempuan-perempuan itu melihat banyak laki-laki, dan mengejarnya. Mereka mengoyak-ngoyak setiap celana dan menari-nari di depan penis laki-laki di seluruh kota. Mereka terus mengejar dan tidak menyisakan sedikitpun penis di kota itu.
Satu demi satu laki-laki di kota itu dikoyak celananya dan ditarik-tarik lembut penisnya. Diajaknya menari seperti orang-orang kehausan yang gemetaran dan berputar-putar. Penis-penis yang menegang digenggam itu berlari, berlari, berlari mengejar-ngejar perempuan yang mengoyak-ngoyak celananya. Terlanjur ikut merasa haus dan ingin menari juga. Sementara Tuan Asmara masih terus dialiri di keran Tuhan namun tak juga hilang kering dan hausnya.
Sampai pada senja hari, tepat ketika Tuan Asmara larut dalam kehausan dan tersapu aliran air dari keran masjid menuju gorong-gorong dan kanal irigasi yang dialiri Tuhan, semua laki-laki di kota itu tanpa busana menari-nari, penisnya terbuka. Celananya terbuka, dibuka. Kedua perempuan Tuan Asmara yang mencari juga menari, lalu membentuk formasi tarian roda gigi, dan kedua perempuan sebagai porosnya. Saling menggenggam penisnyadan mereka menari-nari seperti roda gigi yang terus berputar seperti galaksi, lalu menyanyikan kehausan mereka. Terus menerus menggoyang-goyangkan penis mereka.
Perempuan di tengahnya meronta-ronta dan menyanyikan kehausannya seperti sangat dahaganya. keduanya mengusap-usapkan dara kemaluannya seperti sedang berdoa, seperti sedang berdoa. keduanya memeras-meras payudaranya seperti Maria menyusui Jesus pertama kalinya. Tanpa busana , tanpa busana! Pantatnya yang sintal dan kepalanya yang indah di ayun-ayunkannya dan bernyanyilah keduanya karena hausnya!
Mata rantai itu teguh dan tak tergoyahkan, sampai satu ketika sakral tarian itu sampai dan api cinta di pusat roda gigi membuncah, sperma bersemburan dari para lelaki dan membasahi kedua perempuan di tengah putaran. Semuanya berseru, semuanya berseru: Aaaaah! Aaaah! Semakin haus, semakin keras semburan. Semakin dahaga si perempuan. Semakin basah keduanya. Semakin basah keduanya! Semua lelaki itu orgasme, dan melenguhkan nyanyian-nyanyian kehausannya. Semuanya orgasme! Sambil terus mengeratkan genggaman dan menguatkan rantai roda giginya, terus memuncratkan sperma ke tengah, kepada kedua perempuan yang sedang menari karena kehausan dan dibasahi sperma dari laki-laki di kotanya. Iramanya semakin orgasme, semakin orgasme! Dan dara kemaluan kedua perempuan demikian pula adanya! Aaah! Aaah!
Terus menggenggam, terus mengecilkan roda sehingga makin lekat pada kemaluan kedua perempuan itu dan semakin muncrat mereka seperti keran Tuhan yang melarutkan Tuan Asmara! Semakin basah mereka!
Tarian Rumi yang sempurna!
Semuanya berseru dalam orgasme dan tercipta paduan suara yang indah dan bergelora!
Semuanya muncrat!
Semuanya muncrat!
Semuanya menguatkan genggaman!
Semuanya menguatkan genggaman!
Aah! Aaaah! Aaaah! Omm Parararraaraa! Omm Parararrraaaa!
Ommm paraaararararaaaaaaaaaaa!
Semakin lama tarian mereka makin cepat, dan semuanya tanpa busana. Sambil menyanyikan lagu haus mereka terus menari, dan nyanyian mereka begini bunyinya:
“Aliri kami Tuhan aliri kami
Yang haus sekali Tuhan haus sekali
Kering sekali Tuhan basahi kami
Yang haus dan Tuhan basahi kami...”



Ar-Risalah

Di Laut Selatan.

            
Malam hari. Pantai itu begitu sepi. Pantai selatan lebih tepatnya. Ada desas-desus mengatakan bahwa penguasa laut selatan mengamuk. Ia menghadirkan gelombang besar yang menyapu daerah sekitar pantai. Masyarakat menjadi heboh dan ketir-ketir dengan keadaan ini. Mereka tercengang. Dari mitos berubah menjadi sebuah petaka yang harus dipercaya.
            Pantai selatan ditutup sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
            Beberapa pengunjung tetap nekat datang di malam hari. Maklum, malam hari penjagaan pantai kurang ketat, sehingga pengunjung gelap bisa leluasa memasuki pantai tersebut. Dan ketika pagi harinya mereka yang gelap akan ditemukan. Hanya saja berupa jasad. Ruhnya sudah tidak melekat lagi. Begitu murkanya ia. Dan setiap malam selalu ada gelombang besar. Hingga akhirnya tidak ada lagi pengunjung gelap.
            Masyarakat setempat yang biasa datang untuk mencari nafkah tidak kena murka. Sehingga para nelayan tidak ambil pusing. Bahkan mereka lebih bisa menikmati sebatang rokok saat pantai selatan menjadi sepi. Dan yang biasa mendapatkan keuntungan dari pengunjung, kini kembali menjadi nelayan. Hasil tangkapan sudah bisa memenuhi kebutuhan dan menjadi salah satu barang komoditas ekspor.
            Para pengusaha gelisah. Mereka tidak ingin menggulung brangkasnya cepat-cepat. Sebagian dari mereka ada yang belum balik modal katanya. Bisa dicekik para penagih. Sebagian dari yang lain ada yang belum melunasi cicilan ini-itunya. Juga bisa dicekik para penagih. Akhirnya mereka semua berkumpul untuk mencari solusi. Mereka memintah petuah kepada orang paling pintar. Setelah mendapatkannya, sesajen mulai terlihat.
Dan gelombang tetap ganas jika  ada pengunjung.
Malam itu. Pantai yang sepi. Penguasa laut selatan. Roro Kidul. Sedang berkeliling pantai menggunakan kereta kudanya yang gagah berjalan di atas gulungan ombak. Kuda yang menarik keretanya ada dua. Yang satu berwarna putih, dan yang satu lagi berwarna hitam. Ia berkeliling bukan untuk patroli. Laut sudah diberikan titah. Sehingga mereka akan bergerak secara otomatis. Kini ia lebih suka merenung. Berjalan-jalan di sekitar pantai selatan adalah cara ia merenung.
Tentang dendam. Ia tak pernah punya dendam. Bahkan saat ia ditulah karena kedengkian yang bersumber dari orang lain. Ia tak dendam. Ia bahkan berdoa untuk keselamatan orang yang memberinya penderitaan sekaligus jalan menuju keabadian. Ia tak merenungi sebuah dendam.
Terkadang ia sedih melihat banyak sesajen berserakan di pantainya. Ia sedih karena mereka yang membuat sesajen, tidak tahu tujuannya apa. Hanya ikut-ikutan. Takut sial. Betapa bodoh, pikirnya. Ia tak membutuhkan itu untuk keabadiannya.
Keabadian membuatnya pilu. Sudah berapa generasi yang ia saksikan jatuh bangun. Dan kini hadir generasi yang kian jatuh. Tidak bangkit-bangkit. Tidak bangun-bangun. Begitu lama. Keburukan adalah konsumsi utama.
Dan kini, pantai kesayangannya dibuat perbudakan. Perbudakan yang halus. Pantainya dibuat menjadi tempat melakukan kesalahan oleh pemuda-pemudi. Pantai yang ia cintai menjadi tempat kemusyrikan.
Dan ia hanya murka dengan penyimpangan.
Ia berhenti di sebuah pantai yang indah. Pasir putih dan beberapa batu besar yang muncul dari permukaan. Pada malam hari bulan begitu bulat menemaninya. Ia tersenyum kepada para nelayan yang mulai memainkan perannya. Dan ia juga tersenyum kepada manusia yang datang ke pantai itu untuk merasakan Tuhannya. Ia tersenyum. Cantik. Dan tidak kasatmata.
Pantai berusaha diamankan dari kesalahan.
Ia turun dari kereta kudanya. Berjalan ke arah laut. Permukaan laut menjadi begitu tenang. Ia merasakan kembali laut yang dulu dicintainya. Kemudian ikan-ikan menghampirinya. Mengajaknya menari. Tarian yang elok begitu basah dengan riak gelombak kecil. Ia tersenyum. ikan-ikan sudah mau menemaninya lagi. Kini perenungannya juga akan diisi tarian dan senyuman. Dan laut melindunginya.
Dari kejauhan. Terlihat sepasang mata terus memperhatikan tarian indah Roro Kidul. Ia begitu tertarik. Ia membawa tombak bermata tiga. Berkendaraan kereta perang yang ditarik 4 mahluk berbadan setengah kuda dan setengah ikan, biasa ia panggil hippokampos. Ia bertelanjang dada.
Ia begitu terpana melihat Roro Kidul yang menari begitu gemulai. Ia ingin memilikinya. Begitu ingin. Ia ingin menghampiri, namun niatnya diurungkan. Kini di depannya hadir sesosok yang juga membawa tombak bermata tiga. Ditemani dua ekor lumba-lumba. Ia menggunakan hiasan kepala. Ia menghadang sambil tersenyum licik.
“Apa para wanitamu sudah tidak memuaskan, Poseidon?”
 “Hahaha. Pertanyaan bodoh macam apa itu?”
Ketawanya memecah langit.
“Aku yakin kau ingin memilikinya.”
“Neptunus... tahu apa kau tentang aku?”
“Siapa yang tidak tahu bahwa kau ini mempunyai reputasi buruk terhadap wanita. Tak cukupkah Medusa menjadi tumbal dari buah kekacauanmu dalam mengendalikan hawa nafsu?”
Poseidon terdiam. Ia jadi teringat masa lalunya. Ironis jika pada akhirnya Medusa pun harus mati di tangan Perseus. Untuk kepentingan Zeus yang gampang dibodohi.
“Cukup Neptunus. Kau tidak usah ikut campur.
“Kita serupa tetapi tidak sama. Kau hanya lahir di bawah bayang-bayangku.”
“Angkuh sekali kau. Dan aku kesini untuk menjadi satu-satunya dewa yang menguasai air di bumi ini. Sudah siap enyah?”
“Jangan kau lupakan Nethuns. Ingatlah kita bertiga masih bersaing untuk mendapatkan peran tunggal.”
Lalu Neptunus melempar kepala Nethuns ke hadapan Poseidon. Ia tersenyum.
“Pantas keberadaannya tak bisa lagi kurasakan.
“Jadi hanya tinggal kita berdua ya.”
Mereka bertatap mata. Harus ada yang tunggal. Kemudian mereka bertarung. Hippokampos dilepas oleh Poseidon untuk membantunya, tapi kedua lumba-lumba bawaan Neptunus tidak tinggal diam dan menghadang hippokampos yang mencoba menyerang Neptunus. Berhadapanlah mereka berdua.
Roro Kidul tetap menari bersama ikan-ikan. Ia menyadari kedatangan Poseidon dan Neptunus. Laut selatan adalah dirinya. Apa saja yang ada di dalamnya bisa dirasakannya. Ia tidak peduli. Ia baru saja menumpas penyimpangan. Ia ingin menari-nari terus. Sampai waktu yang tidak ditentukan.
Dan Poseidon sudah berada di hadapannya.
Bersama dengan badan yang mengucur darah di berbagai lekukan. Kereta perang yang hancur di beberapa bagian, ditarik oleh satu hippokampos. Tangan kirinya memegang tombak yang kini tinggal bermata satu... setengah. Dan di tangan kanannya, ia memegang kepala Neptunus dan Nethuns.
Roro Kidul menatap dengan ramah. Ia kagum terhadap Poseidon yang bisa mengalahkan Neptunus. Tapi ia juga sempat berpikir bahwa Neptunus sedang dalam kondisi kelelahan sehabis mengalahkan Nethuns. Karena pertarungan antar dewa pasti akan menghasilkan banyak tsunami, seperti yang baru saja terjadi di tempatnya.
“Tuan mau apa?”
“Aku menginginkanmu.”
“Aku abadi, apakah Tuan bisa mengimbangi keabadianku?”
“Aku juga abadi.”
“Oh begitu. Maaf aku tidak tahu.
“Dan... bagaimana Tuan mendapatkan keabadian?”
“Begini nona.
“Manusia menyembahku. Itulah yang kubutuhkan untuk keabadian dan kekuatanku.”
“Tuan, kalau memang begitu. Aku akan membunuhmu dengan mudah.”
Poseidon tercengang. Itulah air muka Poseidon yang sekarang kepalanya dipegang oleh Roro Kidul. Ia begitu merasakan siksaan yang amat terasa, saat kepalanya dicabut dari badannya oleh Roro Kidul hanya dengan tangan. Begitu memedihkan.
Lalu Roro Kidul memandangi ketiga kepala yang sekarang ada di hadapannya. Lalu ia pandangin lama wajah Poseidon yang tak lagi bisa angkuh.
“Bodoh, sekarang hanya debu yang menyembahmu.
“Debu yang menempel di sisa kejayaanmu.
“Dan itu bukan Manusia.”
Lalu Roro Kidul melihat hippkampos yang ketakutan. Hippokampos itu tidak kuat lagi bergerak.
“Tenang, kau akan menjadi bagian keluarga di sini.
“Dan aku tertarik dengan warna sisikmu.”
Kemudian ia meminta laut selatan untuk menguburkan apa yang terjadi setelah peperangan. Roro Kidul kembali menaiki kereta kudanya. Mengambil sesajen yang berserakan di pantai. Sesajen itu ia gunakan untuk melaksanakan hobinya. Memberi makan ikan dari tangannya.
Dan Zeus yang memerhatikan dari tadi di olimpus sedang sibuk meracik manusia baru, untuk kepentingan keabadiannya.





mnash mei 2013