Sabtu, 29 Desember 2012

Mati untuk Hidup


Aku merenung, baru dua hari aku di tempat ini, belum lama jika hitungan waktu bumi. Hanya saja aku berada di luar dimensi bumi sekarang. Satu hari di tempat ini rasanya seperti seratus tahun di bumi. Orang-orang yang ada disini pun tidak ada yang tua, bahkan tidak terlihat seorang bayi kecil berada disini. Semua terlihat seperti berumur remaja. Semua lelaki terlihat tampan begitu juga perempuan yang ada sangat cantik.

Baru dua hari aku tinggal di dimensi ini. Rasa bosan sudah melanda. Mengapa? Karena tidak ada masalah, semua berjalan sangat damai. Apapun yang ingin dilakukan dapat terlaksana dengan mudah. Bahkan aku bisa terbang disini. Semua karena kemampuan manusia yang berada di sini sudah melebihi kemampuan manusia yang ada di bumi. Mungkin terbersit pertanyaan kenapa aku bisa ada di tempat ini. Baik, aku akan bercerita tentang kehidupanku satu tahun waktu bumi sebelum aku berada di tempat membosankan ini.

Aku Uka Apais, saat itu aku berusia 23 tahun. Aku hidup di tahun dimana ada isu akan terjadinya kiamat. Bel  jam di kamarku sudah berbunyi, bertepatan dengan matahari yang sudah berada tepat di atas kepala setiap orang yang berjalan. Tetap saja masih sangat terlalu pagi bagiku untuk membuka mata. Maklum aku biasa tidur kalau masjid dekat rumahku sudah menganjurkan setiap orang untuk beribadah daripada tidur. Bagi aku, tidur merupakan sesuatu yang lebih penting daripada menjalankan ritual yang aku sendiri tidak tahu gunanya untuk apa.

Saat terbangun aku langsung mengambil sebatang rokok dan menyalakan televisi yang ada di kamarku. Saat itu aku melihat acara gosip yang menanyakan pendapat para artis-artis yang sok agamis. Pendapat artis tentang ramalan akan terjadinya kiamat di tahun ini. Sontak, saat itu juga aku berteriak “orang tolol …..!!!!” bagiku orang-orang yang berbicara tentang hal yang belum terjadi itu bodoh. aku pun kesal dan langsung mematikan TV “acara tv sekarang pembodohan semua”.

Batang rokok yang aku hisap hampir habis. Aku pergi ke kamar mandi dan langsung bersiap untuk berangkat kuliah. Dengan pakaian tebal aku berangkat ke kampus. Pada saat itu, aku sedang sakit sehingga aku memakai jaket yang cukup tebal. Sebenarnya aku bingun apa tujuan kuliah, namun aku tetap berangkat dan menjalani rutinitasku. Aku menganggap rutinitas kuliah adalah hiburan dunia maya yang aku jalani hanya untuk menghibur diriku. Sampai di kampus aku bertemu teman-temanku yang memiliki pemikiran hampir sama gilanya denganku. Hanya mereka yang membuat aku tetap rela bertahan di kampus. Masuk ke kelas, aku harus bersandiwara menjadi orang yang normal demi beradaptasi dengan teman-teman yang ada di kelas. Orang normal bagiku adalah orang-orang yang patuh pada peraturan yang mengekang ide-ide membangun. Orang normal adalah orang yang menjalani ritual rutin tanpa tahu untuk apa dia menjalankan ritual itu. Orang normal adalah orang yang bangun pagi, kena macet, kerja menurut pada perintah bos, pulang lalu tidur. aku berpikir kalau itu adalah cara untuk menjadi orang normal, maka aku memilih untuk menjadi orang yang tidak normal.

“sekarang kita UTS yah” kata dosen.

Banyak sekali yang terkejut pada saat itu. Saat dosen keluar untuk mengambil kertas soal ujian, banyak yang pindah tempat duduk ke belakang. Aku tetap santai dan nyaman dengan tempat dudukku  di depan. Aku berpikir untuk apa nilai bagus tetapi itu tidak mencerminkan kemampuan yang aku miliki. Saat ujian berlangsung banyak diantara temanku yang orang normal berwajah muram karena tidak bisa mengerjakan soal yang diberikan. Sambil senyum aku berjalan menghampiri dosen dan memberikan kertas jawaban. Aku pun keluar kelas dan kembali ke tembok, habitat nyata yang aku miliki di kampus. Aku selau menjadi orang pertama yang selesai dalam ujian kelas apapun. Aku selalu yakin dengan kemampuan yang ku miliki.

Saat aku bersandar di tembok, datanglah Arisalah dengan Nawdir. “Ukaaaaaa, udah kelar lo UTSnya?” Nawdir menyapaku. Aku menjawab “sudah”. Arisalah memandangku sambil memegang sulingnya. Dia bertanya tentang kesehatanku.

“uka. Lo lagi sakit yah?” tanya Arisalah.
“sedikit ga enak badan.” Jawabku.

Setelah beberapa perbincangan dan diskusi, aku pergi ke kantin untuk makan. Di sana aku bertemu dengan seseorang yang pernah cukup dekat dengan kehidupanku. Dia melihat kondisiku yang sedang sakit. Dia menganjurkan agar aku pergi ke dokter untuk memeriksa kondisi tubuhku. Kami berbincang cukup singkat, karena setelah makananku habis, aku menyalakan rokok. Dia terlihat marah karena aku merokok saat kondisi tubuhku tidak sehat. Dia pun pergi dari hadapanku tanpa pamit. Aku hanya senyum, karena memang aku tidak perduli dengan siapapun bahkan dengan diriku sendiri.

Sepulang dari kampus, aku menyempatkan mampir ke klinik dekat rumah untuk memeriksa kondisi tubuhku. Saat pemeriksaan berlangsung dokter menyarankan kepadaku untuk segera berhenti merokok. Dokter itu tahu bahwa seperempat paru-paru yang aku miliki memang sudah tidak berfungsi atau mati. Dokter mengatakan kenapa aku masih hidup saat ini, itu karena daya tahan tubuhku yang sangat kuat dan aku sering berolahraga. Hanya itu yang membuatku masih dapat bertahan.

Sepulang dari klinik aku pergi ke apotek untuk menebus obat dari dokter. Aku merogoh saku celana dan mengambil sebatang rokok lagi untuk ku hisap. Aku tudak perduli dengan apa yang dikatakan dokter itu pada ku. Menurutku bukan dokter itu yang menentukan umurku, bahkan Tuhan pun  tidak dapat mengambil nyawaku. Hanya diriku sendiri yang dapat menentukan kapan aku akan mati. Lagipula akupun sudah mulai bosan hidup di dunia ini. Jadi kapanpun aku mati, aku sudah siap. Meski aku jarang beribadah atau bisa dibilang aku orang dengan banyak dosa. Aku berpikir seperti itu sambil menghisap rokok yang ku pegang. 

Rupanya kebosanan ku tinggal di bumi tercinta ini memang sudah sangat memuncak. Aku tidak perduli dengan keadaan tubuh ku yang sudah sangat menurun ini. Hingga pada suatu hari aku merasa sangat mengantuk dan aku tidur di tembok kampus. Di dalam tidurku aku bermimpi roh ku terbang dan melihat teman-temanku menangis di samping tubuhku. Semua terlihat sangat nyata. Aku sulit mengendalikan roh ku yang terus naik melewati pintu dimensi. Ternyata harapan ku untuk meninggalkan bumi ini terwujud. Aku telah mati.

Saat sampai di pintu masuk dunia baru, aku disuruh memilih tubuh manusia segar yang akan aku pakai selama aku berada di dimensi ini. Aku masuk ke tubuh baru itu. Aku merasa ada yang aneh, tubuh ini sangat kuat. Kemampuanku untuk berpikir juga sangat cepat dan tepat. Ternyata tubuhku yang baru ini adalah tubuh yang dapat memaksimalkan kemampuan otak manusia. Aku dapat melakukan semua hal yang aku mau.

Hari pertama aku di sini, aku terbang mengelilingi tempat baru ini. Ternyata tempat ini memiliki karakter yang sama dengan bumi. Ternyata ini juga merupakan planet yang ada bersampingan dengan dimensi bumi. Hanya saja planet ini memiliki besar beribu kali lipat dengan besar bumi. Setelah aku mengelilingi planet baru ini. Aku mencoba kemampuan otakku yang lain. Aku memikirkan sebuah benda yang pernah ku lihat di bumi, yaitu mobil. Hanya dengan memikirkan dan menggabungkannya dengan apapun yang ada di sekitar, ternyata berhasil membuat mobil itu terbentuk dan menjadi nyata.

Aku sadar bahawa kekuatan ini memang benar-benar ada dan aku miliki. Aku seperti tuhan yang dapat membuat atau menciptakan apapun yang aku mau. Mungkin ini yang dibilang banyak orang di bumi sebagai surga. Karena kita akan dapatkan apa saja yang kita inginkan di surga. Lalu aku berpikir kembali. Kalau disini adalah surga, maka seharusnya ada neraka. Setelah aku berkeliling dan keluar dari planet baruku ini. Aku tidak menemukan tanda-tanda adanya neraka. Akupun bertanya kepada orang yang sudah lama berada disini. Benar saja, tidak ada neraka dimanapun itu dan di dimensi apapun. Mungkin saja pernyataan orang itu benar. Karena jika dilihat saat aku masih hidup di bumi. Aku jarang sekali beribadah. Bahkan aku cenderung banyak melakukan dosa. Harusnya aku masuk neraka jika memang neraka itu ada.

Setelah semua kemampuan yang aku miliki sudah aku coba. Aku keluar dari planet itu dan membuat planetku sendiri. Hanya butuh waktu beberapa jam untuk membuat planet baru yang indah dan mirip bumi. Aku bersantai dan melamun didalamnya. Aku mulai merasa bosan dengan kehidupanku sekarang. Ini adalah hari kedua aku tinggal di dimensi baru ku ini. Tidak ada kekacauan, keributan, masalah dan apapun itu. Aku teringat kebiasaan aku berdiskusi dan berdebat di tembok kampus tentang masalah-masalah yang ada dan mendapatkan jalan keluar dari masalah itu. Aku dan teman-teman tembok ku juga gemar membuat cerpen.

Akhirnya aku memutuskan membuat cerpen untung mengobati rasa rindu ku ini. cerita ini yang sedang aku tulis sekarang. Setelah sampai pada akhir-akhir cerita yang aku tulis ini. Mulai terpikir olehku, dengan kemampuan aku yang sekarang, aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Kenapa aku tidak kembali ke dimensi lama ku dan kembali ke tembok kampus dimana terakhir kali aku terbaring disana. Aku akan melakukan perjalanan menembus ruang dan waktu, jadi aku bisa kembali. Maka akupun mencobanya.

Aku mulai berpikir keras untuk melakukan perjalanan ruang dan waktuku itu. Aku merasa kesakitan karena aku melakukan perjalanan dengan kecepatan berjuta-juta kali melebihi kecepatan cahaya hingga tubuhku lebur hingga tidak berbentuk. Tiba-tiba semua gelap, lalu aku mendengar suara teman-temanku memanggil. Uka bangun, Uka jangan mati, Uka, Uka, Uka. Itu yang aku dengar. Aku sadar bahwa aku telah berhasil melakukan penembusan ruang dan waktu. Aku membuka mata lalu melihat wajah sedih teman-teman tembokku. Aku melihat wajah sedih Maren, Arisalah, Nawdir, Askar, mamah Inos, Kuple, Paruh, Hallursan. Aku tersenyum dan berkata “aku kembali kawan”.

Aku kembali dari dimensi yang disebut orang mungkin adalah surga. Tenyata aku juga kembali dengan membawa kekuatan yang aku dapat dari sana. Aku merahasiakan kekuatanku dari yang lain. Aku juga tidak akan pernah memakai kekuatan itu, karena hidup yang mudah dan hidup tanpa masalah itu hidup yang sangat membosankan. Jika hidup di surga adalah hidup yang berjalan tanpa adanya masalah sedikitpun maka aku Uka Apais lebih memilih untuk tinggal dan hidup di bumi selamanya.  

Dirham Damara

Membunuh Diri


                  Pagi menjelma petang, meracau malam silih berganti berhembusan melewati rongga-rongga karat tak terasah sebilah pisau, tak bergeming tak tersentuh secuil pun irisan melintang kulit tanganku, seakan menjelma sebuah tombak yang tertancap pada sebongkah berhala tanpa kepala. Hanya nanar mataku yang berani mengadu pandangan disela-sela temaramnya keempat dinding beku yang menghimpit pertukaran aliran udara. Keringat bercucuran menyelingi perdebatan dua buah suara yang saling berbisik di gendang telinga hati.
            “kau memang bodoh! mau saja menerima bualan kata-kata manis lelaki pembohong itu!. Sudah jelas dia itu buaya darat, tapi kenapa kau mau saja menerima dia menjadi kekasihmu?”. Makhluk bertanduk itu menggenggam pundakku erat sembari memonyong-monyongkan bibirnya meniup-niup urat-urat leherku. “sudah kau genggam saja pisau itu lalu kau iriskan tepat di nadi lengan kirimu. Tak usah kau pedulikan neraka atau surga, itu hanya iming-iming orang-orang berpeci agar kau taat beribadah”. Makhluk bertanduk itu mendekati sebilah pisau yang membujur di atas meja kayu tepat di hadapanku sembari menggerak-gerakkan jarinya mengitari sekeliling pisau itu. “jika kau takut tersesat, tak usah perduli!. Aku bersedia untuk menemanimu jasadmu nanti”. Sesaat ludah kutelan.
 “tak usah kau dengar dia! Dia itu makhluk hina! Surga dan neraka itu ada!”. Balas sesosok makhluk yang tubuhnya dikelilingi oleh sebuah cahaya. “pria itu hanya cobaan untukmu, hanya untuk mengetes apakah imanmu kuat atau tidak. Jika kau mengiris tanganmu kelak kau hanya akan menjadi teman dia di neraka nanti. Ingat surga dan neraka itu ada!”.
            “cuihhh, pembohong! Jika surga dan neraka ada, apa buktinya kalau surga dan neraka itu ada? Itu hanya omongan pembodohan besar-besaran!”. Kedua makhluk itu berkeliling mengitari setiap rongga-rongga kepala, silih berganti mendebat ketika air mataku menghujan mengalir di pipiku membasahi setiap penjuru pori-pori, tak guna usapan tanganku air mata terus berlinangan mengalir. “sudah tak usah kau pikirkan perkataan malaikat busuk itu!. Bagi dirimu yang sebatang kara ini, hidup di dunia hanya akan terus membuatmu menderita!”. Mataku melotot semakin memburu berniat untuk menggerakkan tanganku meraih pisau. Gemetar jari-jariku mengkisut ketika kulitku beradu dengan dinginnya besi berkarat itu.
            “derita?! Kau bilang itu derita!. Apakah kau akan menyerah begitu saja?! Bukankah hidup di dunia ini adalah sebuah tantangan? Dia adalah salah satu tantangan yang baru kau hadapi di dunia ini. Apakah kau akan menyerah terhadap sebuah tantangan? Kau adalah wanita tangguh, tak mungkin kau akan menyerah begitu saja terutama terhadap pria brengsek macam dia!”.
            “berisik kau! Bualan motivasimu terdengar seperti orang-orang tolol dalam televisi yang sok bijak!. Pendidikan dasar pun  belum tentu mereka dapat luluskan hahahaha”.
            “gue cinta lo! tapi kenapa lo ngebuang gue?!”. Teriakku merintih kekalutan hati menjerit menarik seluruh air mata dari kantung lelapnya. “gue gak bisa hidup tanpa lo!”. Kutarik garis mendarah di lenganku, lebih sedikit di atas nadi kiriku menggunakan sebilah pisau yang kugenggam. Darah menyeri tak kurasakan bila dibandingkan dengan remuk redamnya perasaanku.
            “jangannn! Tak ada guna kau menyakiti diri, kini dia telah pergi!”. Teriak sang malaikat. “menyakiti diri sendiripun tak akan menyelesaikan masalah”.
            “hahahahahaha aku menang! Aku menang!”. Teriak sang iblis. “ayo sekarang sobek nadimu dengan pisau itu!”. Lidah sang iblis menjulur menjilati seluruh permukaan nadi lengan kiriku menikmati setiap tetes darah yang keluar mengucur dari lenganku. Tiga kali sayatan telah kubuat namun nadiku sendiri masih belum tersayat.
            “bangsat!. Banyak bacot lo!”. Sebuah tinju menghujam pipi sang iblis.
            “ooohh, jadi kau ingin bermain kasar rupanya?!”. Ucap sang iblis. “akan kuperlihatkan kesaktianku!”. Jari-jarinya mengacung ke angkasa, lafalan-lafalan mantera-manteranya terdengar memilukan gendang telinga. Seketika puluhan ribu tikus-tikus bermata merah berbulu hitam berkerumun mengangkat tombak diikuti ribuan kelelawar bercakarkan besi berterbangan mengelilingi atmosfer ruangan berdinding sempit. “serrraaaangg!!”. Beribu-ribu pasukan sang iblis berlari mengangkat senjata menyerang sang malaikat.
            Sang malaikat kaget, direntangkannya kedua tangan hingga memunculkan cahaya kemilauan berbinar-binar seperti aurora yang menggantung dilangit malam, menarik lukisan-lukisan manusia yang tertempel dalam dinding  pada kertas keluar bergelumat gulat dengan puluhan ribu tentara sang iblis. Menumpah darah tak karuan pertempuran itu, pembataian dan pembunuhan terjadi satu sama lain hingga habis luluh lantah seluruh bala tentara dari kedua belah pihak, tak ada satu pun yang berhasil keluar menjadi pemenang.
            “cuihhh seimbang!”. Ucap sang iblis meludah.
            Kekalutan keduanya terjadi. Sang iblis mencabut ekornya yang berubah menjadi sebuah tombak bermata tiga yang diikuti oleh sang malaikat yang mencabut pedang dari salah satu bulu sayapnya. Pedang dan tombak beradu menciptakan topan menopan yang meluluh lantahkan seisi ruangan, tembok-tembok mulai bergetar hampir tercerabut, petir menyambar kesegala penjuru ruangan membumi hanguskan seluruh lantai. Seakan-akan dunia hancur berantakan menyerak ketika tombak dan pedang beradu beribu-ribu kali diikuti puluhan ribu mantera terlafalkan berkomat-kamit.
            “hentikkkaaaannn!!”. Teriakku tak tahan. “gue yang seharusnya hancur! kenapa kalian yang menghacurkan satu sama lain?!”. Segera kuberdiri dari tempatku terduduk, berlari mengacungkan pisau pada sang malaikat dan sang iblis yang berhenti bertempur kaget karena teriakkanku.Kutarik baju sang malaikat, segera kuhujam dadanya hingga mati dengan pisau di tanganku.
            “bagus, bunuh dia! Dia hanya serangga pengganggu hahahahaha”. Gembira sang iblis. “sekarang sayatlah nadimu”. Kualihkan sorot mataku pada sang iblis sembari mendekat ke arahnya. “bagus kemarilah dan sayat nadimu di hadapanku, agar aku bisa menyaksikan kematianmu hahahahha”. Kutarik tanduk sang iblis.” Lho apa yang kau lakukan?!”. Teriak sang iblis.
            Segera kutarik tubuh sang iblis menghadap tanah dan sesegera itu pula kutikam dadanya. “berisik lo!”. Nafasku memburu.
            “Toktoktok”. Tiba-tiba suara pintu kamarku terdengar. Dengan tergesa kurapikan tatanan rambutku yang acak-acakan. Ketika membuka pintu segera kusembunyikan sebilah pisau yang tengah kugenggam di balik bayangan punggungku, rupanya tetangga kostanku mengetuk pintu. “ada apa ya mbak?”.
            “mohon maaf ya mbak, bisa minta tolong musiknya dikecilin sedikit saya mau istirahat”.
            “o iya, maaf mbak hehehe”.
            Segera kututup kembali pintu kamarku dan kuputar tombol speaker komputerku ke arah minus.
            “dasar orang gila! Dengerin lagu metal kenceng-kenceng, orangkan juga mau istirahat!”. Sebuah gerutuan kudengar dari balik pintu kamar kostanku.
             

Ridwan

Fatamorgana Malam


            Malam terasa mulai menancapkan kuku-kuku jarinya di bentangan uban-uban yang tumbuh di atas kepala, mengacau seluruh bilangan kecerdasan sel-sel kelabu otak, menyabuni seluruh isi kepala dengan butiran-butiran buih putih sepuluh tahunpun rasanya belum cukup untuk meringankan bulatan daging bertulang yang menancap di atas tubuh ini. Tapi setidaknya aku akan merasa lebih beruntung sedikit karena seplastik bir yang telah kucampur dengan berbagai macam ramuan yang berhasil kuracik setidaknya dapat membawakan kebahagiaan malam ini, walaupun memang setiap malam selalu kutenggak, tapi malam ini kurasa akan berbeda.
            Langkah gontai membawaku pada sebuah bangku semen di sebuah taman yang sepi dan sunyi, hanya angin dan daun-daun saja terlihat berbincang berkelakar di taman ini tak ada sedikitpun suara makhluk hidup yang kudengar atau kukecap di sini. Di bangku itu kutuang seplastik bir yang kubawa dari rumah ke dalam sebuah gelas yang kubawa pula dari rumah sedikit demi sedikit untuk kuteguk dan kurasakan kenikmatannya ketika mengalir melewati bibir membasahi tenggorokkan dan tersemat menghangat di lambung kenikmatan.
            “minum apa om?”. sebuah suara anak kecil mengagetkanku hingga tersendak.
            “eh, ngapain anak kecil keluyuran malam-malam gini? Kagak diomelin emak lw?”.
            “kagak om, malah emak saya yang nyuruh saya keluar”.
            “lah kok bisa? Emak lw sinting ye?”.
            “nggak om, emak saya enggak sinting. Emak saya nyuruh saya keluar buat nyari duit om”.
            “hahahaha nyari duit apaan bocah kayak lw? Duit monopoli?”.
            “duit aslilah om, bukan maenan”.
             “masih kecil, udeh demen boong aje lw!”.
            “sumpah om saya kagak boong. Kalo gak percaya om mao berape juta?”.
            “eh anak kecil, songong benget lw ama yang tua!. Udeh kagak usah ngelawan lagi lw, kualat ntar ama yang tua!”. Kutuang kembali bir ke dalam gelas. Ketika akan kuminum kedua tangan anak kecil itu meraih tanganku.
 “om bagi dong!”.
            “eh gundul sialan, masih belom pantes lw minum beginian!”. Terjadi perebutan antara tanganku dengan tangan anak kecil itu. Semakin keras kutarik tanganku semakin menjadi-jadi pula dia menarik tanganku, kurang ajar betul ini bocah sudah dilarangpun masih berniat untuk membantah. Kaki mungilnya kurasakan telah menjejak di pinggangku, semakin keras pula usahaku agar setidaknya minumanku tidak tumpah dikepala botak licinnya itu.
            “gw minta om!”. Tiba-tiba suara anak kecil itu berubah menjadi berat dan menakutkan. Kaget, terjatuhlah tubuhku ke atas tanah berlumuran bir yang telah tumpah akibat kejadian berebutan tadi. “huuuuuu om pelit”. Sahut anak kecil itu berlari pergi dan menghilang ditelan kabut.
            “busyet, apaan tadi?”.pikirku kaget ketakutan melihat perubahan yang terjadi pada anak kecil tadi.
            Segera kuberdiri dan kembali menuangkan bir kegelasnya, kurogoh saku celanaku mencari bungkus rokok yang beberapa hari lalu kubeli, berharap sebatang rokok yang kan kuhisap dapat meredakan ketakutan dan kekagetanku atau setidaknya menghentikan gemetaran pada jari-jari tua yang kisut ini. “ abis lagi”. Kuremas bungkus rokok tersebut sembari gemetaran lalu kembali kurogoh saku celanaku mencari dompet. “dompet gw mane?!”. Tergesa-gesa kurogoh seluruh kantong celanaku mencari dompet, tapi hanya uang seribu rupiah yang berhasil kutemukan. “bangsat tuyul zaman sekarang, ngambil duit orang pake pengen minta minuman orang segala!”. Tinju kukepalkan menyumpah serapah, namun bibir tetap beradu gemetar.
            Kulihat uang seribu rupiah yang berhasil kutemukan. “ serebu?”. Lumayanlah buat beli sebatang kretek”. Ucapku lirih sembari berjalan terseok-seok mencari sebuah warung pinggir jalan. “ bang, rokok kreteknya dong sebatang”.
            “tunggu ya bang”. ucap si pedagang warung sembari mengaduk-aduk sebuah kotak berisikan berbagai macam rokok berbeda merek yang dijual perbatang atau ketengan. “nih bang rokoknya”. Ucap si pedagang warung sembari memberikan sebatang rokok kretek.
            “nih duitnya bang”.
            Si pedagang warung mengambil uang yang kuberikan sembari menatap wajahku. “kenapa bang?”. mata pedagang warung itu kulihat semakin melotot, keringatnya bercucuran deras, bibirnya menggigil, pucat pasi wajahnya. Lalu kutanya sekali lagi “bang, abang kenape? Ada yang salah sama muka gw? Ape duitnye kurang?”. Tiba-tiba saja si pedagang warung berlari sembari berteriak ketakutan. “bang tunggu, woyy mao kemane?!. Ini duitnye!”. Kugaruk kepala kebingungan. “kenape tuh abang-abang?. Gw kan cumin beli rokok doing malah ketakutan, emang gw setan ape?”. Kuambil korek gas yang menggelantung terikat pada seikat tali raffia di pintu warung dan menyalakan rokok kretek yang akan genggam.
            Sembari menghisap rokok kuberjalan kembali ke bangku taman sembari memikirkan kejadian yang barusan kualami.
            “waduh siape nih yang ngabisin minuman gw?!”. Kataku sembari memeriksa gelas dan seluruh isi plastik bir milikku. “ooohhhh die nih yang minum, kurang ajar betul nih orang!”. Tunjukku pada seorang bapak-bapak tua yang tergeletak di tanah, tubuhnya basah berlumuran penuh bir yang kurasa adalah bir milikku yang dia minum. Mulut bapak tua itu berbusa. “hahaha baru minum bir oplosan gw aje langsung teller lw”. Kutendang badannya hingga terbalik. “woyy bangun, udah minum-minuman orang jangan tidur sembarangan di tanah lw!”. Kugenggam rambutnya. “idih muka lw mirip banget kaya muka gw ya, tapi sayang lw udeh mati hahahahahaha”.


Ridwan

Minggu, 16 Desember 2012

Ayam dan Seorang Ksatria



            Wangi tanah basah tercium semerbak menghiasi hutan ini, begitu menyengat hidung. Suasana dingin yang menusuk kulit begitu terasa, terutama ditambah dengan suara-suara serangga yang semakin menambah dengan kesunyian yang menyengat pendengaran. Angin seakan tak terasa hembusannya, tertahan lebatnya pepohonan yang tumbuh serampangan di sana-sini. Cahaya mentari pun seakan tertumbuk larinya oleh dedauan yang merubungi atap hutan dan terpantul, tak sampai menyentuh permukaan tanah. Hanya sedikit yang berhasil menembus masuk melalui celah-celah kecil dedaunan.
            Sebilah besi berukuran kecil menyembul dari balik semak-semak di arah barat sana. Seorang pria bersembunyi di sana. Tanpa satu pun gerakkan ia boroskan, dengan busur yang ia pasang dengan kuda-kudanya demi melesatkan sebilah anak panah. Satu gerakkan maka selesai sudah.
            Tak jauh di timur sana, seekor ayam hutan sedang asyik mematuki tanah basah hutan, mencari krikil-krikil kecil. Tubuhnya begitu tegap dan ramping, kaki-kakinya begitu kuat mencengkram tanah, paruhnya begitu cepat mematuk tanah, begitu merah jenggernya. Ia pejantan. Pejantan dengan warna bulu hitam gelap. Matanya begitu awas.
            Dedauana semak itu seakan telah akrab dengan keringat dingin yang mengucur dari dahi pria itu, tak ada satu pun daun yang bergoyang. Bahkan gerakkan kecil dari serangga-serangga hutan yang hinggap di semak itu tak membuatnya bergerak satu kali pun. Sudah kukatakan di atas, satu gerakkan maka selesai sudah. Sang buruan akan langsung lari begitu mengetahui ada seorang pemburu di semak sana yang mengincarnya.
            Setelah dirasa begitu tepat, waktu dan posisi dari dirinya dan mangsa buruannya. Sebilah anak panah melesat dari balik semak, meluncur dan memburu sasarannya.
            Mendengar suara dedauan terkoyak dan melihat dengan sekejap sesuatu meluncur ke arahnya, ayam hutan itu dengan gerak refleksnya mengembangkan kedua sayapnya, dikepakkan dan langsung melompat jauh tinggi ke atas udara.
            Merasa bidikkannya meleset, pria itu berlari dan melompat keluar dari balik semak-semak sembari mencabut sebilah parang dari sarung parang di pinggangnya. Diayunkan parangnya kea rah buruannya,namun kembali ayam hutan itu melompat ke udara menghindar serangan parang pria itu.
            Sesaat sebelum mendarat di tanah, ayam itu dengan paruhnya yang kuat melepaskan serangan balik ke arah pria itu. Pria itu terjatuh dengan dahi yang terluka dan kembali bangkit mengambil ancang-ancang. Dilihat buruannya telah bersiap pula dengan ancang-ancangnya, dikembangkan kedua sayapnya, jenggernya semakin memerah, matanya melotot begitu tajam. Ia bersiap untuk menyerang pula atau bahkan kembali memberikan serangan balasan bila pria itu menyerang terlebih dahulu.
           
Kali ini ayam hutan itu yang menyerang terlebih dahulu. Ia berlari dan langsung melompat mencakar dengan kakinya, namun dengan kesigapan seorang ksatria pria itu menebaskan parangnya. Dengan keseimbangan kedua sayapnya yang dapat memotong udara, ayam hutan itu merubah arah posisi tubuhnya di udara sehingga parang pria itu hanya sedikit mengenai bulu sayap ayam hutan itu.
            Ia mendarat di tanah sempoyongan, sedikit bulu sayapnya berhamburan di udara. Dihentakkan satu kakinya memperbaiki tubuhnya agar seimbang sehingga tidak terjatuh di tanah dan dapat berdiri dengan tegap. Ancang-ancang kembali ia lakukan.
            Nafasnya begitu deras membabat oksigen segar yang dikeluarkan pepohonan di hutan ini. Tak disangka olehnya, seekor ayam hutan dapat membuatnya bertarung hingga kepayahan seperti sekarang.  Seorang ksatria dari kerajaan Sriwijaya yang tengah berada dalam sebuah misi hidup dan mati demi menyelamatkan sang putri mahkota dari kehancuran kerajaan, harus bertarung dengan seekor ayam hutan yang begitu gagah dan perkasa. Darah menetes dari dahinya yang terluka begitu parah, tak berhenti ia menetes.
            Secara tiba-tiba ayam hutan itu membalikkan  badannya dan berlari menjauhi arena pertempuran. Melihat hal itu, pria itu segera mengejarnya masuk lebih dalam ke area hutang yang lebih gelap. Di sini keberadaan cahay begitu sedikit bila kita bandingkan dengan area hutan tempat pertarungan pertama tadi. Bahkan suasana siang hari tak jauh berbeda dengan suasana pada malam hari. Jika kau melihatnya. Kesunyian dan udara lebih sunyi dan dingin di sini.
            Pria itu menghentikkan langkahnya, dilihatnya jauh di bawah sana jurang menga-nga begitu dalam di bawah kakinya. Di seberang sana, ayam itu berdiri seakan mengejek. Tak jauh memang lebar jurang itu, tapi jika kau melihat dalamnya mungkin seluruh tubuhmu pun akan ketakutan. Dia mundur beberapa langkah mengambil jarak untuk melakukan sebuah lompatan. Diambilnya langkah pertama, ia melompat. Begitu tinggi ia melompat, namun tak cukup jauh untuk melompati lebarnya jurang itu.
            Karena tubuh maupun tangannya tak mampu menggapai pinggiran di seberang jurang, maka ia gunakkan parangnya untuk ia tancapkan di tanah dan membuatnya tidak jatuh ke dalam jurang. Ia bergelantung di parang. Dari atas terlihat cakar ayam muncul, sebuah patukkan melesat mengoyak jemari pria itu. Dia berteriak dan jatuh. Parangnya pun tak luput jatuh pula.
            Tubuhnya menghempas tanah, ternyata masih ada bagian kecil retakkan tanah yang mencuat muncul dari bagian pinggiran jurang menahan tubuh pria itu. Tak terlalu jauh dari jarak ia bergelantung tadi, kira-kira 10 meter jauhnya. Dia segera bangkit, dicarinyaparang miliknya namun tak ada. Parangnya telah jatuh ke dalam jurang paling dalam. Ia genggam batu-batu yang mencuat di pinggir-pinggir mulut jurang, dipanjatlah ia ke atas sana.
            Setelah mencapai atas, ia kembali mengejar ayam itu, hingga jatuh tepat malam hari mereka terus berkejaran. Hutan semakin  gelap dan sunyi. Suara-suara dari binatang-binatang malam mulai bersahutan di hutan menggema seluruh hutan. Dingin di sini pun mulai mendekap tubuh.
            Dia terus mengendus-endus jejak ayam itu dalam kegelapan, tak disangka sebuah serangan mendadak membuatnya terjatuh. Dadanya robek, darah berlinang di tubuhnya. Segera ia bangkit, namun serangan berikutnya yang dating tak dapat ia elakkan. Kini matanya telah berdarah.
            Sedikit lama ia tidak membangkitkan tubuhnya. Serangan berikutnya tak muncul kembali. Dia bangkit perlahan menahan perih di sekujur luka tubuhnya. Dari kejauhan di balik semak sana terdengar bunyi dedaunan bergesek berbunyi.
            “Di sana kau rupanya! Kali ini akan kuhabisi kau!” diambil sebatang kayu yang tak berukuran besar di bawah kakinya, segera ia berlari ke arah semak-semak di sana.
            Semakin malam hutan semakin misterius. Segala bebunyian dari hewan-hewan malam tak dapat kita tebak, mungkin terlindung di kegelapan malam. Dingin pun semakin menguatkan kemisteriusan hutan.
            “Dimana dia?” Tanya seorang perempuan sendiri berlindung di gerowong bawah sebuah pohon besar, “di mana engkau, Paman?”. Ia terlihat begitu lemas dan lemah, bahkan perkataan ia tadi pun terdengar begitu kecil tak bertenaga suara yang keluar dari mulutnya. Ke dua bibirnya bahkan terlihat semakin pucat. Tangannya masih menekan kuat perutnya. Begitu kuruslah ia. “Masihkah kau lama, Paman? Aku sudah tak kuat….” Matanya terpejam seiring sebuah jeritan seorang pria dan auman harimau menggema dari balik hutan rimba sana.


Ridwan

Merah Dalam Jingga


               
                Senja di ibukota memang unik. Jingga dalam tiap wajah tersorot oleh sang surya yang ingin beristirahat sejenak. Tiap wajah memadahkan kelelahan yang terlihat dalam guratan-guratannya. Belum lagi kemacetan yang ternyata belum bisa teratasi oleh tiap buaian-buaian kata para penjanji.
                Macet… ya kemacetan memang selalu dikutuk oleh sebagian kalangan yang merasa dirinya selalu dirugikan. Siapa kiranya yang pantas bertanggung jawab terhadap kerugian ini?
                Jalanan yang sempit? Putaran yang tidak strategis? Angkutan partikelir yang sembrono? Angkutan milik negara yang terlihat angkuh? Pasar tumpah? Pasar pagi? Pasar malam? Kendaraan pribadi yang membanjir? Rombongan para pejabat yang diberi prioritas? Kalangan atas? Kalangan menengah? Atau kaumku, kaum yang terinjak gedung-gedung pencakar perumahan kumuh?
                Entah siapa yang patut disalahkan. Jelasnya semua penyebab, baik yang terlihat maupun tersirat memiliki andil tersendiri dalam rangka ikut berkontribusi terhadap kemacetan.
                Tidak bisa dipungkiri bahwa kaumku sering mendapat keuntungan dari kemacetan. Kontras dengan mereka-mereka yang menghardik kegiatan rutin ini. Mungkin tak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar dari kaumku sedang berperang dengan sebagian besar dari mereka. Hanya saja para cendekiawan menyebutnya kesenjangan sosial. Sok intelek sekali bahasanya bukan ?
                Aku sendiri besar sebagai orang yang sering disebut pengamen jalanan, atau kadang ada juga beberapa orang yang bilang musisi jalanan, lebih terlihat keren sepertinya dengan nama itu. Pergaulanku dengan sesama pengamen membuat aku lebih mengerti kalimat yang sering digadang-gadang masyarakat, “ibukota lebih kejam daripada ibu tiri” agak melankolis memang kalau terdengar dikuping musuh kami, tapi mereka memang tidak akan pernah mengerti jika tidak nyemplung ke dunia kami.
***
                Mataku terusik dengan sinar matahari yang datang dari timur. Sudah hampir tepat di atas kepala sepertinya. Aku lunglai dengan keadaan ini. Di mana kemacetan yang aku tunggu masih beberapa jam lagi muncul. Perutku kadang tidak mau tahu dengan keadaan ini, sedang uang telah menjelma menjadi tuan-tuan manusia yang menjauhi aku.
                Kupandangi satu persatu orang-orang yang berlalu-lalang dihadapanku. Aku seperti tiada. Mungkin aku seperti hantu, tidak terlihat. Tetapi tidak terlihat bukan berarti tidak ada kan? Tato di lenganku mungkin menjadi penyebab hilangnya keberadaanku. Atau bisa jadi tindikkan di beberapa anggota ragaku yang menjadikan hadirnya dinding tebal yang menghilankan eksistensiku.
                Bagaimana aku bisa menghadirkan sepiring nasi… ah terlalu muluk-muluk khayalanku ini, tak perlulah sepiring nasi, beberapa suap saja sudah cukup sebenarnya. Bisa saja aku mengamen di bawah lampu merah, tapi aku sudah kebagian jatah di kemacetan, begitu kata bos ku. Populasi pengamen memang terus meningkat, yang pensiun jarang, yang baru memulai karirnya sebagai pengamen membludak. Negeri ini memang terlalu rumit untuk menghadirkan pekerjaan yang cocok bagi orang-orang seperti aku.
                Oh iya, aku lupa memberitahu, kira-kira ada dimana posisi kaum menengah? Tahu kah? Mereka tidak netral. Sebagian dari mereka berada di pihak kaumku, sebagian dari mereka menjelma oposisi. Kira-kira seimbanglah perbandingannya. Aku tak ambil pusing dengan hal ini.
                Perang menjijikan ini sudah sampai pada tahap yang buka-bukaan sepertinya. Jelas saja saat aku sedang menjajakan nada-nada di samping kendaraan mereka, bukan receh yang dikeluarkan melainkan todongan pisau dari orang berdasi dalam mobil mewah itu. Aku tersentak. Aku hantam tangannya dengan gitarku sampai pisau itu terlepas dari genggamannya. Tiba-tiba dia mengambil bedil dan mengarahkan kearahku. Aku kabur tunggang-langgang dengan nafas memburu.
                Kejadian ini bukan aku saja yang mengalami. Hampir semua pengamen sepertiku mendapati perilaku yang sama dari mereka-mereka yang mengutuk kami. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya hal ini terjadi. Hai para cendekiawan, ini bukan lagi kesenjangan sosial, tetapi pemusnahan sosial!
                Bos ku datang dengan Koran ditangannya. Dibantingnya Koran itu.
                “Bangsat. Mereka mengira kita dan para pedagang liar adalah kemacetan itu!”
                Tokoh kalangan atas yang menentang kemacetan memberikan komentar dan menuduh kami. Ini seperti pernyataan perang terbuka! Kami layani dengan taring menyeringai.
                Setiap kemacetan tiba, aku meyiapkan sebilah golok yang aku kaitkan di pinggang. Prinsip kami jelas.
                “Tidak akan menyerang kalau tidak diserang!!”
                Kalangan atas tidak semuanya itu musuh, karena segelintir dari mereka adalah para simpatisan yang sudah bisa memosisikan dirinya dikehidupan kami.
                Akhirnya ada juga kejadian dimana aku menebas leher musuh kami saat dia mencoba menodongkan senjata api laras pendek. Hampir putus. Darah bersimbah hingga tanganku merah. Anyir dan amis baunya. Ini perdana bagiku mengeksekusi. Bisa jadi membantu malaikat maut merealisasikan tugasnya. Ada rasa iba saat itu, namun prinsip menjadi penentu keteguhan hatiku.
                Peperangan ini terus berlanjut berhari-hari hampir sepekan lamanya. Dua rusukku sudah patah terkena tongkat golf, tanganku disarangi beberapa peluru, pelipisku robek terkena tiga jahitan, dan sisanya beberapa luka lecet terkena spion mobil. Satu nyawa… aku bantu menghilangkannya, selebihnya aku tidak pernah lagi mengincar leher, biasanya hanya tangan atau jari saja yang kutebas dengan golokku.
                Kalangan atas ternyata kelimpungan menghadapi kami. Kami merasa sudah diatas angin. Menang hampir kami raih, hampir kami genggam. Euforia ini kami hadirkan dengan menaiki mobil-mobil musuh sambil mengcungkan senjata. Golok, celurit, pisau, kujang, rencong, dan lain-lain. Yang penting harus tajam dan dibiarkan berkarat sedikit, supaya bisa meninggalkan tetanus.
                Tiba-tiba anjing-anjing mengepung kami dari jarak belasan meter. Aku bertatapan dengan bos ku. Matanya panik, wajahnya pucat. Kenapa dia? Ternyata dibalik anjing-anjing negara itu, ada sosok tokoh kalangan atas yang wajahnya terpampang di Koran. Aku dapat melihat wajahnya dari kejauhan, aku dapat lihat mimik wajahnya, tersenyum setan! Biadab, mereka menjilat pantat anjing itu untuk bisa memperbudaknya.
                Nafasku memburu. Hampir tegang. Pesimis mulai mengaburkan pandanganku, mengaburkan semangatku untuk membela kaumku dari fitnah ini. Mereka memang selalu mencari-cari kesalahan kaumku untuk menghindari kaumnya yang berpotensi lebih besar untuk disalahkan. Penjilat memang licik!
                Bos ku naik ke atas peti kemas kontainer. Mengarahkan golok tajam berkarat yang dihiasi darah kearah tokoh penentang kami.
                “Mati atau hidup dalam bayang-bayang kenistaan!!”
                Satu kalimat.
                Satu kalimat memang.
                Namun mampu untuk membuat kepulan semangat juang kami. Ya… mati urusan nanti. Kami tantang kematian itu.            
     


Mn ujung bulan 2012

Minggu, 09 Desember 2012

SAMUDERA


SAMUDERA
Deeto Kongo


Kulihat sebuah papan selancar terombang-ambing
Kulihat seorang pria dan wanita sedang berenang 
Kulihat sebuah perahu besar terapung
Kulihat sebuah perahu karet berawak
Dan berompi

Ternyata papan selancar itu sebuah papan setrikaan
Ternyata pria dan wanita itu adalah boneka manekin
Dan ternyata perahu besar itu sebuah lemari yang terbuka pintunya

Namun perahu karet
Yang awaknya berompi
Ternyata nyata 

SENYUM


SENYUM
Deeto Kongo

Aku merinding
Aku takut
Aku sedih
Bukan karena hantu
Namun karena senyumanmu

Sebenarnya tidak ada masalah dengannya
Senyum adalah hak setiap manusia
Apalagi katanya
Senyum adalah ibadah
Tapi yang jadi masalah
Senyummu berlebihan
Menjijikkan

Mengapa kau tidak berbuat sesuatu
Yang membuat mereka tersenyum 
Daripada kau tersenyum saja
Dan tidak berbuat apa-apa? 

Fiksi



Saya benar-benar buntu. Buntu. Buntu. Apa yang saya tulis tak lagi menjadi bahan fiksi yang unik. Dulu, ketika HB. Jassin dan kawan-kawan masih hidup, hingga dilanjutkan oleh kritikus generasi Sapardi dan Korrie, cerita fiksi adalah cerita yang hanya dalam imajinasi namun berfungsi untuk melukiskan dan menyamarkan kenyataan hingga halus dan bisa dinikmati.
Tetapi sekarang? Saya keki. Jengkel. Semua bahan fiksi yang akan, sedang, dan telah saya tulis, telah ada menjadi kenyataan yang jauh lebih jahat dan mengerikan. Sumpah. Lantas, pekerjaan saya apa lagi kalau khayalan saya di dahului dunia nyata?
Beberapa bulan lalu, saya ingin menulis tentang seorang ibu yang membakar anaknya karena tak mampu menghidupi keluarganya. Keluarganya belasan tahun menghilang, agar kesan fiksinya lebih kuat. Tak lupa, sosok suami yang turut menghilang dihadirkan dalam cerita ini.
Setelah lelah membuat jalinan cerita, saya menonton televisi sambil menyeruput kopi hangat. Harum sekali. Saya lalu duduk di sofa empuk. Untuk referensi, saya coba-coba melihat berita, siapa tahu ada yang bisa saya tambahkan kedalam cerita. Televisi malam-malam begini kalau tidak film lama ya berita pagi yang hampir basi.
Eh, tak tahunya... tokoh-tokoh dalam cerpen saya menjadi objek berita malam itu! Lengkap dengan laporan langsung dan suami yang memang menghilang serta keluarganya yang tak jelas rimbanya. Kenapa pas benar, ya?
Saya sepakat, bahwa cerita fiksi harus memiliki jarak fiksi dengan dunia nyata. Saya sadar betul. Meski hanya nama yang berbeda, tetapi saya tetap jengkel, saya harus mencari ide lain agar kesan kreatif saya tetap bertahan.
Apa, ya? Oh ya.
Saya, malam itu juga, akhirnya menemukan cerita tentang seorang pengarang feminis yang mengadakan bedah buku di kota. Kota Ku terkenal dengan penduduknya yang memegang teguh religiusitas dan toleransi.
Banjir dan kemampetan jalan raya oleh sampah-sampah menjadi masalah utama kota. Disamping, seperti pada umumnya kota besar, urbanisasi menghasilkan berton-ton masalah yang tak kunjung selesai.
Apa lagi, ya? Ia mengadakan acara ini atas desakan komunitas para sastrawan agak kiri sedikit yang ingin menambah wawasan. Juga, mereka yakin acara ini diadakan di lingkungan terbatas. Nah, di tengah cerita, sekelompok telik sandi beberapa ormas mencium gelagat ini. mereka anti feminis. Ssst, mereka nafsunya besar juga pada wanita.
Masalahnya, materi buku yang di bedah dianggap bertentangan dengan keyakinan mereka, seperti, gravitasi itu kebawah, dan laki-laki itu unik, serta perempuan itu ganas. Mulailah mereka merencanakan sesuatu.
Penggerebekan. Tepat di tengah acara. Maka jadilah penggerebekan itu mengacaukan acara yang tengah berlangsung, pembicara berusaha menetralkan, tetapi yang ormas-ormas itu inginkan, acara berhenti dan pembicara hengkang ke negara asalnya yang sangat liberal. Neo liberalis.
Tiga hari setelah saya tulis cerita ini, dan yakin sekali akan di muat di koran Kota Ku, mata saya mencolot hampir jatuh. “SEORANG PENGARANG FEMINIS DI GEREBEK MASSA DI TEMPAT BEDAH BUKU”
Awalnya, saya mengira itu judul cerpen saya yang saya kirim minggu lalu. Tetapi, ternyata itu judul berita utama. Buntu! Saya menyerapah. Entah kenapa lagi-lagi dunia nyata mendahului saya. Apa-apaan sih dunia ini? tidak punya pekerjaan selain mengganggu cerita-cerita saya.
Saya kesal. Akhirnya saya membuat cerita tanpa berkhayal sama sekali. Maksudnya, pura-pura tak pernah tahu dunia nyata. Semoga kali ini saya berhasil membuat jarak fiksi yang begitu nyata. Bahasa adalah simbol kenyataan, baik. Dan kini mari merenung-renung tentang jalan ceritanya.
“pada suatu hari,” saya memulainya. Cukup fiksi.
Dulu, ada seorang bupati yang memenangkan pemilihan di sebuah kota kecil dekat laut. Ia memenangkan pemilihan itu karena wakil yang menjadi pasangannya, adalah pemain ludruk terkenal. Semua bisa dibuat terpingkal-pingkal olehnya. Ia lucu sekali.
Singkat cerita, mereka berdua banyak membuat terobosan-terobosan dalam pembangunan. Namun, dasar laki-laki. Di tengah jalan, libido sang bupati menuntut gadis perawan termolek dari rakyat yang dipimpinnya dipersembahkan kepadanya. Bagaimana dengan sang wakil?
Rupanya, pemain ludruk beruntung ini mencium gelagat tak baik sejak awal, maklum. Ia ahli sandiwara. Ahli membaca skenario dan penerapannya di dunia peran. Ia mengundurkan diri, yang tentu saja di sambut kekagetan berbagai pihak. Mengejutkan!Mulailah ia membeberkan satu demi satu skandal, meski secara tersirat. Sang bupati, sebagaimana lazaimnya pejabat negeri itu, tetap cuek dan tak tersentuh.
Kembali tentang bupati, ia kesampaian menikahi gadis termolek di kotanya, meski keluarga sang gadis setengah hati. Umur sang bupati hampir padam, tapi masih saja menyala-nyala libidonya. Pada gadis pula.Itu kan jatah jejaka kotanya, kritik aktivis perempuan yang mengomentari kejadian ini di sebuah acara televisi.
Entah kenapa, seperti orang kekenyangan saja, bupati nyentrik ini menceraikan istrinya di usia perkawinan yang baru empat hari!
Aha, cerita saya kali ini cukup fiksi. Yang sanggup mengalahkannya hanya lakon-lakon wayang seperti Bima Bungkus, Gatotkaca Sraya, atau sekalian Wahyu Makutharama. Ya, saya yakin benar kali ini.
Mungkin, cerita kuda Troya yang ternyata non-fiksi juga belum tentu punya skenario serumit dan seaneh ini, meskipun jika penguasa kota saya tahu ada karangan seperti ini yang dimuat, siap-siap saja ganti nomor telepon.
Eh, dasar pena saya dikutuk Yang Maha Kuasa. Seminggu setelahnya, di D-U-N-I-A N-Y-A-T-A YANG SAYA BENCI, infotainmen ramai-ramai memberitakan tentang bupati dari kota di dekat laut, yang habis ditinggal oleh wakilnya karena perbedaan prinsip dan skandal yang macam-macam, menikah dengan gadis usia delapan belas tahun.
Belum cukup, yang paling melukai perasaan saya sebagai pengarang yang mengagung-agungkan kefiksian cerita saya kali ini-dengan harapan masuk koran-empat hari kemudian dia menceraikan istrinya. Yang paling menghancurkan logika saya, ketika di wawancara dalam sebuah jumpa pers, ia dengan wajah penuh senyum mengatakan demikian:
“mencintai wanita itu seperti mengganti baju, kalau tak suka, ya ganti lagi...”
Gol. Gawang saya robek parah. Hati dan logika saya ditembus bola misterius bernama kegagalan menciptakan jarak fiksi antara cerpen saya dengan kenyataan. Kalau begini, imajinasi saya ternyata menjadi logis, dan cerpen saya menjadi seperti berita di koran. Apalah maksudnya ini!
Saya sih, senang-senang saja mengenakan wanita seperti mengenakan baju. Jangan dibayangkan, ya. Masalahnya, wanita mana yang mau dianggap demikian? Memang mengasyikkan, tapi resikonya, bos!
Saya frustasi, tuan. Saya merapuh. Pekerjaan saya sebagai pengarang terancam mengalami kebuntuan. Apa saja yang menjadi keyakinan saya mengenai kefiksian sedang diuji. Tetapi saya harus melakukan sesuatu agar karier saya di koran-koran tak mampus.
Dapat duit dari mana, coba?
Saya memutuskan untuk konsultasi pada sastrawan terkemuka negeri ini, namun tak dikenal, sebab karyanya banyak dinikmati orang tetapi tidak menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Nilainya tinggi, luhur. Tetapi matematika dan linguistik jauh lebih luhur dalam sistem nilai dan norma saat ini.
“Jadilah wartawan, teman...” Katanya tenang. Ia banyak mengalami asam garam kenyataaan. Rujak.
“Saya pengarang, mas, tidak seprinsip!” Saya mencoba idealis.
Dia ini saya anggap teman sekaligus guru pribadi yang bisa saya temui tanpa harus menuliskan di daftar pustaka.
“Buktinya, tulisanmu identik dengan berita di koran,”
“Bukan itu...”
Ia menyela, “Buat apa kamu susah-susah membuat cerita, yang mengandung nilai moral, kalau di masyarakat fiksi tak memiliki jarak lagi dengan dunia nyata....”
Asap rokoknya mengepul tinggi-tinggi, sementara rokok saya hambar. Ditelan frustasi.
“Sebenarnya fiksi itu apa sih, mas...” Saya merenung.
“Ya, tidak nyata, gampangnya, ngimpi, gitu”
“Terus, yang saya buat selama ini apa, mas? Nyata terus”
“Kamu harus ngerti, teman. Kenapa pengarang-pengarang luhur jaman orde-orde itu mampet bikin karya lagi. Mereka sadar, mendekati kiamat, Tuhan menciptakan makhluk baru dari dunia konsep di dunia nyata bernama Fiksi” Ia merebahkan badannya lebih nyaman pada kursi kayu tempat kami diskusi.
“Ah, mas, saya sedang konsul malah dikasih puisi”
“Lho, aku lagi nyimpulkan ini. Menjelaskan yang kamu alami. Fiksi ini dinyatakan Tuhan, sehingga kita, para pengarang sebagai pemilik awal fiksi awalnya keheranan juga”
“Terus, hubungannya apa?”
Dari mulutnya memang bau ciu. Tetapi omongan sastrawan besar kita ini ada benarnya juga. fiksi kini tak ada lagi, semuanya menjadi mungkin ada  dan kemungkinannya lebih besar, jauh lebih besar dari sebelumnya untuk ada di dunia nyata. Entah kenapa.
Mungkin pemerintah kita adalah korban kebijakan jaman dulu, yang mewajibkan kita rajin membaca fiksi, sehingga mereka terpengaruh cerita-cerita itu.
“Ya, gitu lah. Sudahlah, kamu jadi wartawan saja, terus kamu beritakan hal yang aneh-aneh itu menggunakan kemampuan bahasamu yang meliuk-liuk”
“Ye, nanti sama dengan berita gosip, yang meliuk-liuk bahasanya, lagipula saya tetap ingin jadi pengarang!”
“kalau begitu,” tandasnya, “Kau tulis saja yang pasti fiksi,”
“Apa itu?”
“Menulis konsep tentang masyarakat ideal... atau masyarakat madani... atau sekelompok pengarang yang tinggal di satu desa... atau kita berdua,”
“Lantas?” Saya mengabaikan pendapatnya bahwa kami berdua adalah fiksi.
“Masalahmu, teman, ada pada ketidakmampuanmu menciptakan jarak fiksi antara karangan cerpenmu dengan berita di tivi”
Tuan-tuan tahu? Sepulangnya dari obrolan yang sebetulnya masih panjang itu, saya memutuskan untuk berhenti menulis fiksi, dan menjadi peneliti saja. Tentang berapa jumlah cerita fiksi yang telah menjadi kenyataan.
Kenapa tidak menjadi wartawan? Saya trauma. Trauma membuat cerita, takut dunia nyata yang saya laporkan berbalik menjadi fiksi seperti ketika saya menjadi pengarang cerita fiksi.

Ar-Risalah

Ssstt Jangan Buang Sampah Di Sini



            Sore yang gerimis kembali menyapu jalanan dan debu-debu trotoar. Pekat di bawah sana, arus kecil air kecoklatan yang menyapu tanah membawa segala polusi turun menyentuh tanah dan pergi mengalir melalui got-got kecil di bawah sana hingga ke hulu-hulu sungai nun jauh di sana.
            Di halte sana seorang anak kecil terduduk. Satu tumpuk Koran dipeluknya, tak lupa selembar plastik transparan membungkus setumpuk Koran demi melindunginya dari cipratan atau tetesan air yang merembes dari atap halte yang bocor.
            Biasanya ketika gerimis seperti ini ada satu atau dua bahkan lebih pengguna sepeda motor atau pejalan kaki yang berteduh, namun untuk kali ini halte seakan sepi. Hanya anak kecil penjual Koran saja yang duduk meneduh di sana.
            Anak itu melihat ke kanan dan kiri menyapu seluruh jalanan. lampu merah, lampu lalu lintas sana terus menyala. Semakin lama tumpukkan kendaraan mulai membanyak, mengantre lampu merah berpindah ke lampu hijau untuk menyala. Bunyi decit rem di hadapan mengagetkan anak itu. Seorang pria paruh baya berkendara sepesa motor berhenti dan meneduh di halte. Akhirnya ada juga yang berteduh di halte di sore yang gerimis ini. Pria itu duduk di samping anak kecil penjual Koran itu. Dinyalakannya sebatang rokok di mulutnya, asap mengepul memenuhi atmosfer halte. Dia melirik anak kecil di sampingnya sembari melepaskan batang rokok dari mulutnya dengan menggunakan dua buah jari yang mengapit pada ujung rokok tersebut.
            “Koran sore ya dek?” tanya pria paruh baya itu.
            “Iya pak” jawab lugu anak kecil penjual Koran.
            Dirogohnya saku celana dan diberikan selembar uang ke anak itu dan ditukarkannya dengan satu judul Koran. Dibukanya Koran itu lembar demi lembar, tapi tak satu pun yang terlihat jelas pria itu membacanya. Setelah lembar terakhir ia lihat, pandangannya ia alihkan ke anak itu.
            “Belum ganti baju dek?”.
            “Belum pak”.
            “Kelas berapa?”.
            “Kelas 5 pak”.
            “Ohhh…”.
            Kembali pria itu menghisap rokoknya, dikepulkan asap membumbung tinggi ke langit. Sore gerimis ini belum juga reda, langit mendung seakan masih menahan beban bawaannya untuk tidak ia turunkan dengan segera. Sedikit demi sedikit, mungkin nanti malamlah ia turunkan semua. Asap rokok membaur dengan rintikkan hujan dan jatuh, kalah terbawa oleh rintik-rintik air menghempas tanah.
            Dilipatnya Koran dan ditaruhnya di samping. Ia berdiri dan melangkah beberapa langkah. Menjulurkan tangannya ke depan menjauhi atap halte, merasakan apakah gerimis yang turun mulai reda perlahan. Dirasanya masih belum reda gerimis yang turun di sore ini, ia kembali berjalan dan duduk. Masih di samping anak itu. Dihisapnya rokok di tangannya kembali.
            “Hah, hujannya masih belum berhenti” keluh pria itu, “Bisa terlambat pulang sampai rumah. Kalau nekat hujan-hujanan, nanti malah sakit. Pusing kepala”.
            “Mana badan pegal semua” pria itu kembali berdiri. Dilihatnya ke kanan dan kiri, sejauh-jauhnya yang dapat ia terawang.
            Mendengar keluhan pria itu, anak kecil itu hanya terdiam memperhatikan tindak-tanduk pria itu.
            “Nah itu dia” diserongkan pandangannya ke arah pertokoan tak jauh dari lampu lalu lintas sana. Matanya mulai mencari ke kanan dan kiri. Diambil Koran di tempat ia duduk di damping anak kecil itu tadi, dibuka dan diangkat ke atas kepala. Ia berjalan agak berlari ke arah pertokoan sana dengan dipayungi Koran yang ia beli dari anak kecil penjual Koran di halte itu.
            Sekarang tinggallah sendiri anak kecil itu, yang terus dari tadi memandang tindak-tanduk pria itu. Matanya masih ke arah pria itu yang hilang masuk ke dalam sebuah pertokoan tak jauh dari sana.
            Setelah agak lama pria itu kembali ke halte dengan membawa sebuah bungkusan plastik hitam di tangannya. Koran-koran yang tadi ia gunakan untuk melindungi dari rintikkan hujan masih tetap ia gunakan sebagai paying. Pelindung dari hujan gerimis sore ini. Ia bediri di halte, dibuangnya Koran-koran basah itu ke tanah. Dari bungkusan plastik hitam ia keluarkan sebuah lipatan jas hujan.
            Ia tadi berjalan pergi ke toko itu dan membeli jas hujan, pikin anak itu memperhatikan pria paruh baya itu.
            Pria itu mulai mengeluarkan jas hujannya, di bentangkannya dan di pakai mulai dari celana hingga baju dari jas hujan itu. Setelah selesai memakainya pria itu berjalan ke arah sepeda motornya, dinaiki, dinyalakan dan pergilah ia dari halte itu.
            Anak kecil penjual Koran itu masih duduk terdiam memperhatikan pria tadi pergi. Dialihkannya perhatiannya ke arah tumpukkan Koran basah yang dibuang pria tadi. Dia berdiri dan mulai membereskan tumpukkan Koran basah itu, dirapikannya tumpukkan itu dan ditaruhnya di atas tempat duduk. Dilipatnya sesuai lipatannya yang sudah mulai sobek di sana dan sini.  
            Setelah selesai ia rapiakan dan ia taruh di tempat duduk, sedikit lama ia memperhatikan Koran basah itu. Dirogohnya kantong saku celannya, selembar uang ia keluarkan. Selembar uang itu ia taruh di atas Koran basah itu.
            Lalu berjalanlah ia ke tumpukkan Koran miliknya. diambil dan dibawa dalam pelukkannya meninggalkan halte, pada sore bergerimis yang turun membasahi jalanan, trotoar, dan segala pepohonan yang dipayungi gedung-gedung pencakar langit di kota ini.  



Ridwan