Jumat, 17 Agustus 2012

Bagaimana Dengan Hidup di Zaman Batu…?


            
            Rumahku tidak luas, namun masih terdapat kolam ikan dan tempat duduk di perkarangan belakang. Tempat itu menjadi favoritku untuk sekedar menghabiskan beberapa batang rokok dan segelas kopi hitam sambil pikiranku berterbangan kemana-mana. Malam ini pun aku sedang mencoba menikmatinya kembali.
            “Malam yang indah.” Kalimat itu keluar begitu saja setelah meminum kopi. Pergi ke warung kopi tempat kumpul  bersama teman-temanku sepertinya akan lebih indah.
            “ Mau kemana Pri?” Tanya ibuku penasaran karena melihat aku yang tengah mengeluarkan motor.
            “ Supri mau nongkrong ma di warkop.”
            “Jangan malem-malem ya pulangnya, besok kamu kuliah kan.” Aku mengangguk saja untuk menenangkan mama, padahal aku tahu bahwa aku pasti pulang tengah malam kalau sudah kumpul. Malam ini pasti asyik.
            Jarak antara rumah dengan warkop berkisar sepuluh menit, bisa untuk menghabiskan satu batang rokok kira-kira. Ternyata teman-temanku sudah kumpul, aku langsung ikut bergabung dengan Kirun dan Sukir.
            “Haahahahaha, lucu lu Kir ngeledekin Komang di grup.” Ketawa kirun meledak memenuhi warkop.
            “Hahahaha, iya dong, abis si Komang enak banget buat diledekin.” Timpal Sukir sambil tertawa santai.
            Aku terheran-heran kedua temanku sedang tertawa karena apa “ eh pada ketawain apaan sih lu pada?” tampangku bengong.
            “Ini Pri, pada lucu banget di grup tongkrongan kita.” Kirun mencoba menjelaskan.
            “Grup apaan? Yang ada di facebook?”
            “eeee…” Saat Kirun ingin meneruskan penjelasannya,
            “Eh Run, coba lu liat DP-nya Bejo, aneeeeh banget masa.” Tiba-tiba Sukir menyelak penjelasan Kirun.
            “Hahahha oiya nih koplak dia, masa foto gk cuman pake sempak aja dipajang, eh eh eh lu liat coba deh PM-nya Udin, galau banget dia, alay banget.” Kirun sambil tertawa renyah.
            “Lu pada ngomongin apaan sih ya? Ko pada ribet ama handphone gitu?” Aku bertanya-tanya, ada apa dengan mereka.
            “Ini Pri, kita lagi seru sama BBM  nih. Pada lucu-lucu banget.” Jelas Kirun.
            “Apaan tuh BBM?”
            ”BBM itu BlackBerry Messenger pri, kaya chat-chat-an gitu deh, seru dah pri.” Jawab Sukir.
            “Ya tapi kan gk biasa-biasanya nih kita nongkrong malah pada sibuk sama hp, gk asyik nih.” Jawabku agak kesal kepada mereka.
            “Gimana ya pri, abis seru sih” Jawab Sukir sekenanya.
            “Yaudahlah gw balik ya.” Aku berharap teman-temanku mencegahku untuk pulang dan berjanji tidak sibuk dengan hp-nya. Ternyata harapanku sia-sia, mereka hanya melambaikan tangan saat aku menyalakan mesin motorku.
            Aneh sekali ini, perubahan drastis terjadi pada teman-temanku. Aku seperti orang autis diantara mereka. Mereka atau aku yang autis?
             Aku melihat ada warung rokok di pinggir jalan. Lebih baik aku istirahat sejenak disana.
            “Bang beli Fanta satu sama rokok setengah ya.”
            “Oke boy, nih kembaliannya.” Dengan senyum ramah yang aneh, si penjual memberikan kembalian.
            “Numpang duduk ya bang.” Tanpa dipersilahkan, aku langsung duduk.
            Terlihat dikejauhan seorang gadis berjalan menuju arahku. Wajahnya seperti tidak asing dimataku. Aha dia adalah Marni, tetanggaku yang dulu pernah aku suka. Saat dia melewatiku aku sapa dengan senyumku.
            “Eh Supri, ngapain disini?” Tanya Marni, sepertinya dia baru pulang kerja dan terlihat sangat lelah.
            “Hehehe, lagi iseng aja nih Mar, lu mau kemana?” tanyaku basa-basi.
            “Mau pulang nih abis kerja, cape banget hari ini.”
            “Yuk bareng gua aja, gua juga udah mau pulang nih.”
            Saat perjalanan menuju rumah Marni, hatiku berdesir, ini sepertinya menjadi awal yang tepat untuk mendekati Marni. Aku mencoba berpikir mencari cara untuk bisa lebih dekat dengan Marni. Ya aku sudah menemukan caranya. Sesampai di depan rumahnya aku akan meminta nomor hp Marni.
***
            “Makasih ya Pri, kalo gk ada lu, bakal cape banget kali nih gua.”
            “Santai aja Mar, gua juga seneng ko bisa bantu elu. Hmm Mar, gua boleh minta nomer lu?” Aku sangat berharap sekali.
            “oh boleh-boleh, nih catet ya.” Marni mengeluarkan hp-nya. Aku pun mengeluarkan hp esia ku dengan polosnya sambil menunggu nomer Marni.
            “2a956683, catet ya Pri.”
            “Hmmm Mar ini nomer apa ya?” Aku bingung, tanda tanya besar hadir di kepalaku, 
            “Itu Pin BB gua pri, invite ya, ntar kalo udah gw accept pasti.”
            Aku tak berani untuk terus meminta nomer hp-nya. Lebih baik aku iyakan saja, meski aku bingung mau aku apakan pin-nya Marni. “oke deh Mar, istirahat yang cukup ya.”
            Aku kembali kerumah dan menghabiskan sisa malamku di tempat favorit. Malam ini membuat malamku menjadi penuh dengan tanda tanya. Bagaimana tidak, kehadiran BlackBerry sungguh membuat duniaku menjadi berbeda. Aku tidak ingin membohongi diriku sendiri bahwa aku juga tertarik untuk menggunakan BB, namun apakah aku akan menjadi seperti mereka yang sibuk dengan handphone-nya jika aku juga menggunakan BlackBerry? Apakah aku akan sama seperti Marni yang jika diminta nomer, malah akan memberi pin BB?
            Tergantung kepada pemiliknya juga pada akhirnya.
            Aku tersadar bahwa teknologi sangat memengaruhi kehidupan manusia, namun bagaimana  dengan hidup di zaman batu? Sepertinya itu lebih menyenangkan.
           
  


M.N

Jin Ada di Hati Kita Masing-masing #2



                Kulihat dari baris terbelakang bersama Ayahku yang berdiri di sampingku, berpuluh-puluh orang menyesaki masjid ini. Berbondong-bondong datang untuk sholat isya berjamaah dengan memakai baju islam yang begitu lengkap mereka beribadah. Kedengar gema “Allahhuakbar” menerobos setiap detil keramik dinding pada masjid itu. Begitu khusuk sekali mereka.
                Aku memang belum begitu mengerti tentang gerakan sholat karena aku masih kecil, hafalan-hafalan doaku belum semua yan dapat aku baca di luar kepala. Tapi Ayah sering mengajakku untuk sholat di masjid ini bersama teman-temannya, sebuah ormas yang pernah kudengar dari percekcokkan antara Ibu dan Ayah kemarin malam.
                Ibu memang kurang suka dengan pekerjaan Ayah yang satu ini, ikut ormas atau organisasi masyarakat. Ayah seakan teguh pada prinsip idealisnya yang mengatakan bahwa ormas yang ia ikuti dapat membawa keluarga kami menuju surganya Allah. Sementara Ibu merasa sebaliknya yaitu tidak suka karena Ayah sekarang hanya mementingkan pekerjaan ormas dibandingkan dengan keluarga. Tapi aku tak begitu mengerti sama sekali tentang apa yang mereka debatkan.
                Kin sholat berjamaah di masjid ini kurasa telah selesai. Begitu riuh kudengar  orang-orang di masjid ini, lafaz-lafaz keluar dari mulut mereka di ketua oleh Imam sholat begitu menggema. Ayahpun tak kalah ikutan. Aku hanya duduk bersila melihat mereka menggerakkan kepala mereka ke kanan dan kiri sembari berdzikir hebat.
                Ayah mengangkat kedua tanganku menengadah meminta kepada Tuhan, itulah saat kudengar Imam sholat membacakan doa selesai sholat. Begitu hebat orang-orang di masjid ini, kata amin dapat kudengar begitu keras menanungi telingaku. Hingga akhirnya doa pun telah selesai.
                “Ayo nak, kita pergi” ucap Ayah mengangkat tanganku.
                “Kemana?”.
                “Berjihad di jalan Allah, menumpas syaiton!”.
                Kami semua berbondong-bondong bersalaman dengan imam sholat dan berbondong-bondong keluar dari masjid menuju parkiran. Kulihat mereka beramai-ramai menyalakan sepeda motor dan menaikinya. Ada yang menancapkan sebuah bendera ormas pada bagian belakang sepeda motor mereka.
                Tubuhku diangkat oleh Ayah ke atas sepeda motor kami, ia tak lupa membaca bassmalah terlebih dahulu kudengar. Ayah menekan gas diikuti puluhan sepeda motor lainnya, kami pawai mengelilingi jalanan kota Jakarta pada malam setelah kami menunaikan sholat isya berjamaah di masjid. Kudengar mereka memekikkan takbir di sepanjang jalan, begitu keras hingga tak terdengar lagi suara bising kendaraan lain yang melintas di arah sebaliknya jalanan.
                “Apakah masih jauh, Yah?”.
                “Sebentar lagi”.
                “Di mana?”.
                “Sudah jangan bertanya terus, cukup ikut saja!”.
                “Tapi aku ngantuk Yah”.
                “Tahan saja”.
                Kulihat beberapa sepeda motor telah berhenti tak jauh dari depan kami, mereka melihat pada sebuah bangunan yang banyak dihiasi oleh lampu berkelap-kelip dan sebuah papan besar bergambar sebuah botol minuman yang aku tak tahu apa mereknya. Ayah menghentikan sepeda motornya, aku diturunkan dari atas sepeda motor.
                berpuluh-puluh orang masuk ke dalam gedung itu membawa bendera ormas serta bebearap batangan kayu yang mereka genggam di tangannya. Berteriak Allahhuakbar mereka menerobos masuk, menendang pintu. Terdengar teriakan dari dalam gedung, bercampur teriakkan antara teriakkan Allahhuakbar dengan teriak ketakutan. Terdengar pula suara wanita dan laki-laki begitu gaduh sekali.
                Aku melihat wajah Ayahku, begitu keras kurasakan bentuk wajahnya seakan menahan amarah yang begitu dahsyat. Pandangan matanya begitu jelas memaku pada gedung itu, tangannya mengepal dan keringat berlelehan dari dahinya begitu deras.
                Kudengar kembali suara-suar benda dipukul dengan begitu keras, suara-suara kaca-kaca pecah dan sebuah teriakkan yang paling menakutkan, mereka berteriak kafir dengan begitu keras.
                Ayah tak tahan kutelisik, ia melepaskan genggaman tangannya di tanganku, ia melihat ke sana kemari mencari sesuatu.
                “Ayah mencari apa?”.
                “Kayu”.
                “Di sana” aku menunjuk pada sebuah pojok di mana di sana tergeletak sebuah balok kayu yang ukurannya tak begitu besar dan tak begitu kecil pula.
                Ayah berlari ke pojok sana dan mengambil balok kayu yang tadi aku tunjukkan dan kembali lagi ke tempatku. Beberapa laki-laki dan wanita keluar dari gedung itu sembari di seret oleh beberapa orang yang kuyakin merupakan teman Ayah sembari membawa sebuah balok masing-masing.
                “Nak, kau tinggal dulu di sini Ayah harus ke dalam” Ayahku berkata menggebu.
                “Untuk apa Yah?”.
                “Membinasakan jin!”.
                “Lebih baik Ayah tetap di sini. Jika Ayah masuk ke dalam, Ayah pun akan menjadi jin”.


Ridwan

Manusia Biru Bulan



“Wajahmu indah” aku tahu apa yang telah aku ucapkan. Sebuah ucapan dari kejujuranku yang terucap keluar begitu saja dari mulutku tanpa ada penghambat satupun yang menjejal, ketika kulihat engkau kembali bersapa padaku, pada waktu yang sama, dan pada tempat yang sama pula. Kau tidak pernah berkata apapun padaku, terutama tentang aku yang selalu duduk termenung ketika kupandang wajahmu dan kau yang selalu duduk terdiam ketika tatapku membalas tatapmu. Apakah kau tahu bahwa aku mencintaimu? Apakah kau tahu bahwa wajahmu begitu indah? Apakah kau tahu bahwa aku adalah bulan birumu yang selalu kau pandang pada malam-malammu?.
Aku ingin hadir di hadapmu, memberanikan hatiku untuk menggenggam erat jemarimu yang halus. Aku tidak ingin hanya selalu menjadi penghias malam yang kau lihat dari kejauhan. Aku ingin kau tahu siapa aku yang selalu ingin duduk di sampingmu. Ketika kau menengadahkan matamu yang jelita padaku, yang selalu ingin mendekap dinginnya tubuhmu ketika malam sunyi menusukkan anginnya di tubuhmu, memberikan kehangatan agar kau senantiasa merasa hangat ketika kau datang pada malam padaku.
Kini kau kembali duduk di taman itu, memandang ke arahku seperti pada setiap malam kau datang. Setiap malam itu seakan menjadi panah yang terlepas menusuk hatiku, menjadikan sebuah kesakitan akan sebuah sensasi keinginan yang tidak dapat aku dapatkan. Keinginan itu sekarang kurasa kian memuncak dan aku yakin aku tidak dapat menahannya, keinginan itu tengah meledak-ledak berkecamuk dalam hati. Keinginanku untuk menjadi manusia. Keinginanku pada Tuhan, sebuah permohonan.
“Ooh Tuhan, aku ingin menjadi manusia” pintaku menengadah, “agar aku dapat sekedar menemuinya. Menemui wanita itu. Wanita yang aku cintai. Ya Tuhan, aku bersujud padamu memohon”. Tak ada jawab yang kudengar, hanya gemintang yang berbisik di kejauhan semesta raya yang kudengar resah.
Telah hilanglah semua keinginan, kupendam dalam dada hingga lelap merayapi mata dan lenyap diiringi datangnya sang raja siang.


Sebuah sentuhan yang halus kurasakan. Sebuah sentuhan yang tak pernah aku dapatkan. Sentuhan?!. Aku adalah bulan, benda langit yang selalu berdiri menemani bumi. Tak pernah ada seorangpun yang dapat datang padaku, bahkan para musia yang mencoba datang dengan pesawat-pesawat canggihnya sekalipun. Astaga!.
Dengan kekalutan aku membuka mataku dan kulihat beberapa manusia memperhatikanku, mengerubungi diriku.
“mas, ini pakai handuknya” seorang manusia berkumis memberikan sebuah kain lembut yang wangi untuk menutupi tubuhku yang tanpa penutup sekalipun. Segera kupakai handuk itu menutupi sebagian tubuhku. Mausia yang memberikan handuk padaku memapahku menuju sebuah kursi yang terletak dekat dengan sebuah gerobak penjual makanan yang aromanya dapat kucium melalui udara yang mengalir melewati udara.
“Di mana aku?”.
“Di taman Pelangi mas”.
“Taman Pelangi? Dimana itu taman Pelangi?”.
“Di Jakarta mas”.
“Jakarta? Di mana Jakarta itu?” terlihat manusia itu menatap aneh padaku.
“Sudahlah mas tak usah terlalu dipikirkan. Mas lebih baik istirahat saja dahulu”.
“Memangnya saya kenapa pak?”.
Manusia itu menunjuk sebuah lubang tepat di jalan raya. Astaga, aku sekarang telah menjadi manusia dan sekarang akibat dari aku menjadi manusia adalah sebuah lubang di sebuah jalan raya ketika aku turun dan datang dari langit. Sungguh dahsyat pendaratanku di Bumi ini. Terima kasih oh Tuhan, Engkau telah mengabulkan doaku.
“Aku di mana?” sebuah pertanyaan kulontarkan sekali lagi untuk mempertegas jawaban tentang tempat yang manusia itu beri tahukan padaku.
“Taman Pelangi mas”.
Ya, aku ingat tujuanku. Wanita itu. Wanita yang kelak jika aku menjadi manusia aku akan datang padanya. Mengatakan bahwa aku jatuh hati padanya. Ya akan aku katakan. Ya aku harus pergi. Pergi mencarinya. Aku tahu dia ada di sini. Di taman ini. Taman Pelangi.
“Mas mau kemana? Sebentar lagi ambulan datang!” manusia itu berteriak melihatku berlari menjauh.
Dimana dia? Dimana? Aku harus menemuinya sebelum malam habis. Jika malam habis mungkin aku akan kembali terlelap ketika cahaya mentari tak lagi menyinari wajahku. Tapi aku telah menjadi manusia, aku tidak memerlukan lagi cahaya mentari untuk menyinari wajahku agar aku tetap terjaga ketika malam datang dan aku tidak akan terlelap seperti ketika aku pada wujudku dahulu. Tetap! Ya tetap aku harus mencarinya biar waktuku panjang sekalipun, pada detik ini juga aku harus menemuinya. Aku akan menemuinya.
Terus aku berlari mengitari seluruh taman untuk mencarinya, menemukkan tempat ia biasa duduk menatapku penuh kecantikan. Yang aku ingat tempat itu dipenuhi pepohonan dan sebuah kursi yang di atasnya tidak tertutup oleh dedaunan pepohonan, sehingga dengan leluasa setiap mata yang menengadah ke langit dapat melihat hamparan jembatan bintang yang menjadi jalan tatapan antara mataku dan matanya.
Sampailah aku pada tempat itu, tempat miliknya ketika dia menatapku. Dia sedang duduk sendirian termangu menatap langit, wajahnya kosong seakan-akan mencari sesuatu. Aku tahu yang dia cari. Aku. Bulan biru yang selalu dia tatap kini telah menghilang dari langit. Lenyap seakan tertelan pusaran kabut hebat, yang begitu hebatnya hingga membuat sebuah benda langit sebesar itu dapat menghilang dengan sesaat. Akan kuceritakan bahwa Tuhanlah yang melakukannya.
Kudekati dia dengan perlahan. Segala keinginanku kurasakan semakin lama semakin seakan tertelan oleh sebuah topan ketakutan yang begitu hebat. Aku telah memutuskan. Inilah kesempatanku untuk bertemu dia untuk menjamah wajahnya yang indah dari dekat, matanya yang jelita. Aku harus memberanikan diriku.
Sebelum langkahku semakin mendekati dan tanganku menyentuh bahunya untuk sekedar menarik perhatiannya padaku, yang saat ini hanya seorang manusia yang berbalut sebuah kain untuk menutupi tubuhku, dia telah memberikan tatapannya padaku. Sebuah ketakutan menggerayangi seluruh tubuh manusiaku. Beku seluruh jemariku mengkisut kerdil tak berdaya.
“Siapa kau?” tangan wanita itu bergerak-gerak.
“Aa…. aku bulan biru”.
“Bulan biru?” dia menunjuk ke langit, menunjuk bulan yang telah lenyap tidak lagi mengisi hamparan permadani langit.
“Ya aku bulan biru. Siapakah namamu?”.
“Aku rembulan”.
“Namamu dan namaku sama. Apakah karena itu kau selalu menatapku?”.
“Menatapmu?”.
“Ma… maksudku menatap bulan”.
Dia kembali menatapkan matanya pada langit yang hanya dihiasi jembatan gemintang berkelip. “Sayang, sepertinya bulan itu telah pergi”. Sebuah perkataan yang seakan menusuk mata hingga seluruh organ tubuhku yang vital. “Kemanakah dia pergi?”.
“Aku tidak tahu”.
“Duduklah di sampingku, jangan kau terus berdiri di sana”.
“Baiklah” kududukan tubuhku pada kursi pada taman itu. Sebuah keheningan kurasakan merayapi suasana taman tempat aku dan dia duduk. Matanya masih sama, kosong menatap langit. “Kenapa kau menyukai menatap bulan, rembulan?” ucapku untuk sesegera mungkin memecah segala keheningan yang membaur dalam udara malam.
“Aku menatapnya karena aku telah jatuh cinta pada dia. Dia begitu indah dan sabar. Indah karena dia tidak pernah menunjukkan cahayanya akan padam sama sekali dan sabar karena dia mau menunjukkan wajahnya ketika aku tatap”.
            “Kenapa bulan ? tidak adakah manusia yang bersedia kau cintai dan kau tatap”.
“Aku telahir dengan kekurangan. Manusia lainnya hanya bersedia untuk memberikkan kasihannya untukku tanpa ada yang lainnya. Berbeda dengan bulan, dia menerima aku dengan apa adanya tanpa bertanya siapa aku dan kenapa aku” matanya terlihat indah berkaca-kaca, damai dalam sedih. Tegar.
Perasaan aneh seakan berkecemuk dalam diriku, berbenturan kian hebat ke sana kemari tanpa kutahu apa sebabnya dan tanpa aku tahu perasaan ini bernama apa. Aku adalah bulan bukan seorang manusia yang terlahir dengan keadaan telah memiliki tubuh manusia. Barulah pertama kali aku memliki tubuh ini. Wajarlah jika aku tidak mengerti tentang tubuh ini.
 “Sebenarnya siapakah dirimu? Kenapa pakaianmu begitu aneh?” tanyanya padaku.
            “Aa… aku adalah bulan biru”.
            “Ya, itu telah aku ketahui. Itu adalah namamu. Maukah kau bercerita tentang dirimu padaku?”
Dari kejauhan gonggongan anjing seakan memburu bersama bunyi langkah beberapa orang. Terdengar pula beberapa orang itu berteriak menunjuk sebuah tempat yang aku yakin tempat inilah yang mereka cari dan aku yakin pula bahwa akulah yang mereka cari. Penyebabnya mungkin kerana perubahan dan penurunanku dari langit ke bumi yang membuat para manusia itu seakan merasa aneh padaku dan ingin mencari tahu siapa sebenarnya aku ini.
“Aku. Aku bukankalah siapa-siapa” sebuah jawaban yang terlalu sembrono untuk kukeluarkan dari mulut ini.
“Maksudmu?”.
Gonggongan dan derap langkah kaki terdengar semakin mendekat. Aku semakin terburu waktu. Aku yakin keberadaanku di hadapannya tidaklah membantunya keluar dari permasalahan dalam hatinya. Aku kini tahu peranku sebagai apa, tak ada gunanya aku berperan sebagai peran yang lain.
“Maukah kau menceritakan tentang dirimu?”.
Tak ada jawab dalam diriku. Kubelai pipinya dengan tanganku, menarik garis dari pipi ke lehernya. Tanganku kini menggenggam lehernya untuk beberapa detik lamanya. Sembari berdiri aku berkata “Kau telah tahu tentang cerita diriku”. Aku berjalan menuju balik pepohonan.
“Kau ingin kemana?” terdengar sebuah suara keluar bibirnya, indah terjamah telingaku. Kulihat sebelum aku menghilang, dia diam dan terpana. Gonggongan anjing dan derap langkah kaki kini telah sampai pada tempat wanita itu terduduk kaget.
“Permisi, apakah nona melihat seorang pria berbadan tegap bermata biru yang tubuhnya hanya diselimuti oleh kain handuk melintas?” Tanya manusia berseragam coklat yang tangannya menggenggam sebuah tali yang terikat pada leher seekor anjing yang tak kian henti terus mengendus jejak bau ku.
“Aku tidak melihatnya” Rembulan masih tetunduk kaget.
“Terima kasih nona” jawab manusia berseragam coklat itu dan dia pun pergi bersama orang-orangnya dan anjing yang ia bawa.
Rembulan melihat ke langit dan melihat bulan telah bersinar kembali pada tempatnya, di jagat semesta raya bersama para benda langit lainnya. “Engkau memang BULAN BIRU. Terima kasih”.
 
Ridwan