Kota itu kecil saja, dengan sungai yang permai membelah di tengahnya.
Barat, dan Timur. Di Timur warga bekerja sebagai peternak dan petani. Tanahnya
lebih subur, hawa segar, dan di sela setapak terdapat bunga-bunga memperharum
udara. Ada kolam besar di sisi masjid, tidak bertembok, seperti oase ditengah
keramaian.
Masjid Timur
amatlah indah, kubahnya berbentuk bunga teratai disaput hijau mutiara. Tingkat
tiga, dengan jendela besar arsitektur timur tengah. Menara azannya menjulang
seperti pohon kelapa memuncaki tebing karang.
Jika senja
mulai tiba, kau bisa lihat bocah-bocah berkejaran seperti anak ayam berkotek
ramai menuju masjid. Mereka semua ceria.
Di Barat,
ada gedung besar balaikota. Tua, gagah terlihat. Dibuat dari bata hitam
terkuat. Di dekatnya, Lapangan Akbar terbentang dengan pohon besar
membingkainya. Rumah-rumah berdiri seragam dan bercat putih terang, jalan raya
tersusun padat dari kayu dan batu.
Masyarakat damai,
agama merekapun namanya Damai. Bukan dibawa Nabi, tetapi para tetua bergelar
datuk dan pangeran menulis kitab setengah suci. Itulah dasar ajaran mereka yang
disarikan dari agama-agama zaman kuno kota. Masjid dan gereja adalah simbol
keagungan zaman dulu, dan hanya digunakan untuk ibadah semata, baik satu atau
semua agama. Bagi mereka, salib hanyalah simbol hubungan dengan Tuhan, ke atas,
dan hubungan dengan manusia, ke sisi, tetapi masing-masing tidak beriringan.
Bersaliban, bersilangan, bertemu ditengahnya, bukan sepanjang alurnya yang akan
lurus menuju ke atas. Masjid dan azan hanyalah panggilan bagi hati yang ingin
kesana. Ke sana. Yang tidak? Ya tidak. Biarkan mereka, urusan mereka dengan
Tuhan. Tidak usah diingatkan, Tuhan menciptakan Adam pertama kali sendirian,
tidak kolektif, tidak bersosial itulah, bukankah awalnya manusia memang hidup
sendiri-sendiri, bahkan tanpa istri? Bila masyarakat mencoba hidup bersama
sebagai sistem, banyak kepentingan yang bertabrakan. Cedera batin. Cedera
kepentingan. Yang utama, melanggar fitrah kesendirian Adam. Agama hanya pantas
diletakkan dalam hati mereka, bukan untuk dipraktekkan, sebab masyarakat akan
terlalu takut terjadi kerusuhan antar agama.
Gereja utara setia mendentangkan lonceng lembutnya, bernyanyi atas runtuhnya
Babel sebagai ratapan atas mereka yang ingin melihat Wajah Tuhannya secara
langsung, sementara Masjid Timur selalu mengumandangkan azan dengan irama Nahawand,
irama laghu yang tinggi dan meliuk-liuk rumit , seperti tarian suara di
telinga memanggil-manggil kita.
Seratus
tahun sejak kota ini ada, belum pernah ada perang atas nama aliran kedamaian
dan kasih yang mereka anut, “Tuhan jangan pula menggangu perdamaian kita, bila
ajaran ribuan Nabi masa lampau kota ini merusak tata damai, kasih, dan
toleransi”.
“Bahwa
kebebasan mutlak diciptakan Tuhan Yang Satu untuk beragama, dan bahwa Tuhan
Yang Satu tidak mutlak menjadi milik semua agama. Kerinduan pada Tuhan, seperti
kerinduan yang sama pada anasir-anasir kebenaran hakiki, adalah sama pada
setiap manusia. Kebenaran menjadi dambaan karena perkembangan kehidupan
menghasilkan kesalahan-kesalahan baru, setelah timbul kebenaran-kebenaran lebih
tinggi. Dunia cepat berubah, begitu pula nilai-nilai kebenaran didalamnya,
sebagai mana dulu bumi itu benar datar, sekarang bumi itu benar bulat dan
bundar seperti bola. Jalannya pemerintahan adalah berasas kebenaran tinggi,
bukan tertinggi, karena kebenaran itu sendiri selalu dipertinggi oleh
pencapaian-pencapaian manusia. Kebenaran ada pada Qur’an, ada pada Bible,
Talmud, Taurat, Zabur, Veda, bahkan Kitab lain, karena semuanya mereferensikan
Wujud Kebenaran yang Satu: Tuhan. Dan Tuhan memerintahkan murid-muridnya
di bumi untuk menaati pemimpin yang juga murid Tuhan”, dalam satu fragmen.
“Angkatan
bersenjata adalah alat diantara banyak alat kebenaran menemukan kebenarannya.
Hukum adalah benar, yang salah adalah menyalahi hukum dengan tidak menaatinya.
Alat pemerintah. Bahwa angkatan bersenjata mendapatkan tempat sebagai penegak
kebenaran-kebenaran yang sedang diyakini sebagai kebenaran relatif”, dalam
fragmen lain.
Tetapi ada
satu yang mengganjal, semua warga bebas beribadah. Tanpa bertanya dan
mengganggu agama lainnya. Tetapi, hidup mereka hanya demi kebebasan kota. Tuhan
hanya alat dan fasilitator, bila ada kitab yang menyalahi undang-undang, harus
di revisi lewat konsili agar kedamaian dan ketertiban punya suara. Ini sudah
asas umum, disahkan undang-undang turunan peraturan kota.. Produk manusia,
sedang manusia itu produk Tuhan, maka undang-undang ini mestinya sama dengan
Produk Tuhan. Tuhan mempercayakan kita menjadi pemimpin dunia. Tuhan percaya.
Sedang Ia Maha Sempurna. Seseorang tidak akan percaya kepada yang tidak
dipercaya kesempurnaan amanahnya. Banyak juga masyarakat menentang ini, tetapi
apa daya, media dan pemerintah terlalu dalam mencampuri urusan dalam hati
mereka. Tak punya gigi.
Sabtu itu,
hari sebentar lagi malam. Sembilan orang guru berkumpul dalam majelis rahasia
di tepi kota. Mereka lelah dalam tatanan ini. Yang salah tetap dibiarkan salah
dengan alasan ketertiban dan HAM. Hujan turun rintik-rintik, dingin, membuat
mereka lebih betah berada dalam ruangan untuk berdiskusi.
“Kamu punya
Tuhan?”, Tanya seorang berambut ikal.
“Punya,”, jawab si sorban hijau.
“Berapa?”,
serbunya lagi.
“Satu, kata
orang-orang juga satu”.
“Lalu berapa
cara menggapai Dia?”,
“Mestinya
juga satu, tapi...”,
“Mestinya
satu. Kota ini punya banyak cara, dan katanya semua benar”, sambarnya bernafsu.
“Kebenaran
dan kepastian, bukan? Tidak ada yang bisa memastikan. Tidak ada yang salah,
yang ada mendekati benar dan pasti.”
Sembilan
wajah itu terdiam. Seorang menyeringai,
“Kalau
begitu, mestinya satu cara yang kita percaya, tapi… huh, pemerintah itu
berlagak Tuhan saja”,
“Tidak bisa,
kita semua sama, tujuan kita sama. Bukankah Tuhan kita seharusnya sama?
Bukankah dari tata cara inilah Tuhan telah mengenalkan saudara kita yang
bernama Surga dan Neraka, posisi dan negasi. Bukankah semua agama menuju
kesana? Masalah ada yang tidak percaya pada agama lainnya, toh tidak akan
saling merusak kesucian agama yang lain itu, kesucian agama bukan dari konsepsi
manusia, tetapi konsepsi agama itu sendiri”, yang berkacamata mencoba
menawarkan konklusi.
Orang
kesembilan berkata, “bahwa Tuhan Yang Satu bukankah tak menjadi milik kita
saja, tetapi milik mereka juga?”,
“Lantas?
Bukankah kita dilarang mengingatkan mereka yang menyimpang? Sedangkan ada
kewajiban itu dalam agama kita. Memang betul, kebenaran terletak pada cara kita
memahami konsepsinya. Tetapi pasti hanya ada satu yang benar”, Tanya seorang
lain.
“Mestinya
hanya ada satu cara. Agama ini tentu bukan bergerak dalam batas-batas
ketiadaan, tetapi dalam keadaan. Kenyataan! Apabila agama hanya ada dalam hati,
sekarang kau lihatkah hati mereka? Lebih jauh lagi: Tuhan dalam hati mereka?
Tidak, mestinya, agama yang benar adalah agama yang bergerak dalam batas-batas
kenyataan dan diatasnya lagi, sumber segala kenyataan. Agama, adalah di alam
kenyataan dan mesti dinyatakan dalam kenyataan pula, bukan dalam hati,
sebagaimana Kenyataan Tuhan, karena Tuhan menciptakan kita dialam kenyataan”,
tegas si sorban itu.
“Besok, kita
ke perpustakaan, cari dimana Tuhan yang asli seharusnya kita yakini. Kita cari
dimana cara Tuhan yang asli, yang Ada, yang Pasti, yang memastikan yang mana
agamanya”.
Esok hari,
di perpustakaan pusat kota yang berbentuk piramida besar, mereka membaca
ensiklopedi kitab suci. Di kota itu, abad ilmu sedang populer, penerjemahan
marak, tetapi mereka tak punya naskah asli kitab suci, mereka hanya punya
terjemahan dan fragmen tafsir dari para tetua, datuk dan pangeran.
Tetua Yahya
berkata, agama yang benar adalah agama yang Lurus, agama yang selamat. Tetua
Yuhanna berkata, harus ada yang mati menebus kesalahan kita dimasa lampau, dan
menghadap Dia di Surga demi melapangkan jalan kafilah kita kelak. Semua Tetua
mengarah kepada satu kesimpulan: hanya ada satu cara yang benar menuju Tuhan
dan pasti diterima.
“Ini tidak benar, berarti kota kita salah? Berarti ada yang salah dan ada
yang benar. Ada kepastian! Sudah kubilang, Tuhan itu Pasti, maka yang ada
seharusnya kita mendapat jaminan kepastian agama Tuhan yang asli!”,
“Kita telah
temukan kitab asli Tetua, meski hanya fagmennya, murid Utusan Tuhan yang asli.
Tuhan terang mewartakan kebenaran dan kesalahan, kepastian antara ya dan tidak.
Berarti ada yang salah dan benar, seperti bila aku lelaki tentu bukan abu-abu
lagi aku bukan wanita. Ada kebenaran ,mutlak bahwa akulah lelaki, pemilik organ
lelaki, tak punya rahim dan payudara montok, tak punya kebawelan. Sudah tentu,
Tuhan itu pasti, sebagai mana kita mengidentifikasi kepastian ini makhluk dari
makhluk lainnya. Ini kucing dan ini anjing, tidak ragu. Tentulah kepastian
hanya diciptakan oleh Kepastian pula, bukan keremangan”.
“Inilah rupanya agama kita! Oh! Tuhan adalah Maha Benar, maka yang
mencapaiNya tentulah mencapai kebenaran itu. Dia Maha Benar, maka Benar yang
mana lagi yang kita sangsikan darinya? Dialah Sang Kepastian itu.hanya ada satu
cara yang benar untuk mencapai Dia yang Benar. Kau tahu? Seperti, bila kamu
ingin menuju aku, jalan terdekat adalah lurus kearahku, bukan memutari aku
berulang kali”, jawab si kacamata tegas.
“Ah! Ini! Inilah fragmen ajaran Tuhan yang asli. Tuhan menciptakan kita
sambung menyambung, Hawa bagi Adam, karena Tuhan tidak menciptakan Adam demikian
bodoh. Ia hendak memahamkan Ayah Kita, bagaimana rasa kesendirian, agar kelak
tak menjadikan kesendirian itu sebagai tradisi. Ia mengutus Hawa untuk
menghapus kesendirian itu. Sistem Adam dan Hawa, keterikatan antar manusia.
Tegasnya, antar masyarakat ada kewajiban saling mengikat. Dengan apa? Tali!
Dengan Tali Tuhan Kebenaran. Baiknya, mengikuti jejak-jejak tetua, mereka
diutus Yang Benar sebagai Utusan Pembawa Risalah. Kita utus saja diri kita”,
kata seorang lain.
Ada yang
menyahut, “Tuhan memfirmankan bahwa tebarkanlah kebenaran sebagai berita
gembira dan ancaman. Inilah keaslian kota kita, agama Barat Sungai dan Timur
Sungai, serta yang ada diantaranya!”.
“Ya!
Tebarkanlah!”
Tiga hari
berlalu, mereka berusaha mengajarkan agama asli yang mereka dapat di
perpustakaan, Barat dan Timur yang asli. Mereka susun fragmen kitab yang baru,
pembaruan ajaran. Kitab Tawbah, berisi asal-usul cara Tuhan, dan jalan menuju
Tuhan itu sendiri. Sistem masyarakat menjadi titik utama kitab ini. Dari rumah
ke rumah, mulut ke mulut, antar diskusi dan perdebatan. Ada yang menolak, ada
pula yang hanya simpatik.
Cara ini
namanya Tawaba. Ada 12.000 pengikut, yang berusia sebaya. Mereka menjadi
komunitas baru kota. Tawaba, artinya kembali pada bahasa kuno mereka. Kembali
pada Kebenaran lama, kebenaran pertama, awal, dan akhir. Kembali pada cara-cara
lama yang sah dimata kebenaran hakiki. Bukan sah dimata kebenaran relatif.
Karena pemerintah mendakwakan diri sebagai satu di antara banyak anasir
kebenaran, kebenaran-kebenaran kecil menuju kebenaran utama.
Pemerintah bukanlah kebenaran itu sendiri, tetapi alat. Cuma alat
kebenaran. Pemerintah memang menaungi kedua agama itu, tetapi membiarkan
aliran-aliran baru, dan lebih jauh lagi: menyamakannya dengan ajaran lama.
Terang saja Tawaba menetangnya.
Ini sampai
ke telinga hulubalang kota, Shufi. Ia beranggapan bahwa agama baru ini
mengancam kota, karena memandang agama mereka paling agung. Tidak boleh ada
agama yang paling agung! Ia segera mengadakan perundingan dengan mereka namun
gagal. Direncanakan pembuatan keputusan pelarangan, sebagai ajaran sesat dan
Setan. Kelompok itu sekarang dicap perusak tatanan, perusak ketertiban
masyarakat. Hari-hari berlalu, masyarakat mulai menyadari ada yang salah
dalam tatanan mereka, ada yang rusak. Shufi melalui gerakan intelijen
menebarkan keyakinan pada masyarakat agar menghindari cara-cara Tawaba.
Seminar-seminar dan redoktrinasi diadakan. Pemerintah melalui dinas-dinasnya,
terutama penerangan militer, memaksakan opini masyarakat.
Masyarakat
lalu mengadakan kelompok kecil untuk melawan dan mengikis aliran pembaruan yang
sesat itu, aliran pemurnian yang hanya sebenarnya dianggap sesat. Awalnya
sederhana, pembakaran-pembakaran spanduk semata.
Hari itu,
pawai akbar berlangsung sebagai hari raya Tawaba. Mendadak masyarakat
bersembulan dari segala arah, melempari mereka dengan batu dan kayu.
Kota Barat
dan Timur mencekam, karena demonstran anti dan pro Tawaba memenuhi kota. Ada
yang sembunyi di gorong-gorong, di puncak pohon, dan di balik pilar-pilar. Ada
pula yang terang berteriak. Kota menjadi amat ramai karena kerusuhan itu.
Beberapa membakar ban dan sisa barang yang dirampas. Ada juga yang menyundul-nyundul
lonceng gereja dengan galah dan melempari dengan petasan besar, tepat di
engselnya agar menggema seperti gema perang.
Kepolisian
bersenjata tajam dan api memagari lapangan besar di dekat Masjid Timur. spanduk
bergelimpangan. Bau asap dan gas air mata. Ada pula bekas darah bercampur abu.
Lonceng gereja jatuh menimpa bocah kecil yang sedang berdoa. Batu-batu
sekepalan tangan berserakan, bekas dilempar oleh orang-orang yang tak membawa
senjata perkelahian.
Medan ini menjadi medan pertempuran! Di hari ketiga, menara masjid Timur runtuh
dilabrak panser kota Barat. darah memancar lagi entah darimana. Tiba-tiba,
empat desing peluru membahana, ada yang tewas! Ya, ada yang tewas! Ada yang
tewas buat Tuhan mereka. Demonstran mundur, ribuan polisi berbaris memagar di
Jalan Perdamaian, jalan terbesar di sana. Beberapa orang menyeret tubuh mati
demonstran ke trotoar, membebatnya dengan kain jaket berlumuran darah.
Matahari
baru tiba, embun belum lama turun.
Sembilan
ribu Tawabin yang tersisa merangsek, membawa spanduk menuntut semua mengikuti
cara mereka mengenal Tuhan. Melanjutkan pawai dengan suara serak, memanggil
–manggil manusia kepada Yang Kalau Tidak Salah Adalah Kebenaran. tidak kenal
lelah. Sayang sekali, pada saat-saat mulai terang cahaya matahari yang
terlampau hangat, batalion utama tiba, dibawah Shufi.
Sontak, demonstran berhamburan menyelamatkan diri dari amukan tentara-tentara
yang membawa senapan besar. Berhasil didesak, mereka terkumpul di
pinggir-pinggir jalan, di bekas beranda bangunan yang belum hancur. Sisanya
melarikan diri sejauh mereka bisa. Berantakan. Panser dan mobil berlapis baja
berjalan angkuh.
“Tak ada yang boleh terlampau percaya dengan caranya menyembah Tuhan, semua
cara sama!”, sambut Shufi melalui pengeras suara. Di atas panser.
“Mulai sekarang, cara Tawaba menyembah Tuhan adalah terlarang menurut
tangan Undang-undang dan Hak Asasi Manusia, hak yang jua diciptakan Tuhan! Hak
itu mencakup kebebasan memahami, sebenar apa Dia!”
“Serahkan diri Anda baik-baik, kami hentikan kekerasan. Serahkan!”
Muka-muka
demonstran kosong, bersaput debu kehitaman. Seperti dipengaruhi racun kejut
yang mengaliri darah mereka. Mereka lelah, mencari kebenaran itu. Kebenaran!
Yang tertinggi. Yang dapat memberi tahu, siapa mereka dan siapa yang memberi
nama. Selebaran-selebaran dari beberapa yang menjadi anggota LSM bertebaran.
Isinya, penolakan dan penuduhan pelanggaran ham kepada Sembilan Utusan, HAM itu
merata, menjamin semua orang memeluk agama manapun dan menggantinya seenak dia
mau.
Kesembilan
utusan yang kini dianggap tetua baru ditangkap, diborgol dan ditendang. Di
giring ke mobil
besi.
Tertunduk
lesu, mereka hanya berdoa sepanjang perjalanan. Tatanan kota Damai rusak sebab
agama asli tak mendapat ruang di sini. Dimana letak Tuhan di sini? Masyarakat
kita, apakah tidak tahu cara Tuhan yang asli? Bukankah, semua agama tidak sama
dan kita tetap harus percaya kita lebih Tinggi? Agama disisinya, bukankah hanya
satu? Jika semuanya sama, kenapa lantas kita jangan beragama, tetapi bertuhan
saja? Ya, mereka tahu, memang HAM menjamin pelaksanaan agama
sebebas-bebasnya. Tetapi sepanjang pengetahuan mereka juga, setiap penyimpangan
mestilah dicegah.
Penjuru kota
rata dan runtuh seperti di telan angin besar siksa. Menyisakan area kecil
pertempuran demonstran dan masyarakat bersama polisi yang berbaris. Demonstrasi
dan pertempuran melawan masyarakat menghancurkan bagian terbesar kota itu.
Walikotanya tak ada di tempat, sedang melawat ke seberang benua, mencari
kebenaran juga, yang tersimpan di sela-sela wisatanya. Hujan turun rintik namun
asap-asap sisa kerusuhan masih terlalu besar untuk padam. Anjing dan kucing
melipat telinga, menahan suara, mencari tuannya yang hilang dalam reruntuhan
perang. Bau darah. Bau selongsong. Bau knalpot panser. Bau abu. Bau rokok
bercampur hangus. Bau benar-benar perang.
Pengadilan
bagi para tetua digelar, dan pemerintah sepakat menjatuhkan hukuman mati atas
tuduhan merusak ketentraman kota, melanggar undang-undang kebebasan beragama,
dan mengadakan makar melawan pemerintah. Pendukungnya sudah tak kuasa melawan,
pemerintah terlalu kuat. Sepertinya, banyak agama lagi yang akan menjadi korban
undang-undang semacam ini.
Hukuman mati
bagi penyeru, para Tetua. “Kebenaran sejati tidak ada, saudara Tetua. Yang ada
tetaplah pemerintah dan hukum sebagai satu dari sekian banyak anasir kebenaran
tertinggi, sedangkan kebenaran tertinggi itu relatif, saudara. Akan meningkat
seiring pencapaian kita. Seiring pula dengan mendekatnya kita pada kebenaran,
meninggilah ia kembali”, sang pengacara pemerintah memberi dasar tuduhan.
“Anda,
bersalah. Melawan kebenaran. Semua agama sama! Hanya berbeda pada tataran caranya
menemukan Tuhan. Tuhan itu relatif, bergantung kebenaran masing-masing agama!”,
seru Jaksa.
Hukuman mati
akan dilaksanakan segera setelah sidang selesai, tanpa pembacaan pembelaan. Di
kota itu, pelanggaran tertinggi adalah menggugat undang-undang dan pemerintah.
Sembilan tetua hanya ingin menebarkan sesuatu yang mereka anggap benar, dan
menentang penyeragaman semua agama. Bila semua agama sama, kenapa lantas
masing-masing mengklaim memiliki Surga dan Nerakanya sendiri, dan bukannya
Surga dan Neraka yang ditempati secara bersama? Dan,
“Atas nama
kebenaran, dor…”.
Amar Ar-Risalah