Minggu, 29 Juli 2012

Samaran


Di sebuah apartement sedang ada transaksi narkoba besar-besaran. Toni merupakan tangan kanan dari Steve seorang bos narkoba ternama di New york. Dengan beberapa penjaga mereka ikut dalam transaksi barang haram tersebut. Tiba-tiba terdengar suara letupan senjata api dan mengenai seorang diantara penjaga disana. Perang senjata api pun tidak terelakkan. Baku tembak yang terjadi dimenangkan oleh Steve dan komplotannya. Tony sangat mahir menggunakan senjata api, hingga Steve memenangkan duel yang terjadi pada saat itu.
Lima mayat tergeletak, satu diantaranya ialah penjaga Steve. Tony berinisiatif memerikasa empat mayat sisanya. Tony dan Steve tidak menyangka, ternyata dia sedang bertransaksi dengan NYPD (New York Police Departement). Di dalam saku mayat polisi tersebut terdapat alat penyadap yang dapat dilacak oleh polisi lain. Tony dan Steve segera pergi meninggalkan tempat kejadian.
Tony: “bos apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Steve: ”kita berpencar, untuk sementara jangan ada transaksi yang terjadi, sampai keadaan benar-benar aman.”
Mereka pun berpencar dan pergi ke tempat yang mereka anggap aman.
                Tony pergi pulang kerumahnya di pinggiran kota New York, sedangkan Steve tidak diketahui keberadaannya. Tony sampai di rumah dengan keadaan banyak darah yang tercecer di pakaiannya. Istri Tony kaget melihat suaminya pulang dengan keadaan seperti itu. Tanpa berbicara dengan istrinya dia langsung pergi ke kamar mandi setelah itu membakar pakaian yang berlumuran darah itu. istrinya mendekatinya dan menanyakan apa yang terjadi dengannya. Tony hanya menjawab “aku tidak apa-apa sayang, hanya ada kecelakaan kecil”.
                Selama dua tahun menikah istrinya tidak pernah tau apa sebenarnya pekerjaan Tony. Tony hanya bilang dia bekerja sebagai seorang journalis tetapi istrinya tidak tau pasti dimana kantor dan nama perusahaan tempat Tony bekerja. Istrinya tidak pernah marah atau menanyakan secara jelas kepada Tony karena sangat sayang padanya. Sebenarnya Tony sangat sayang kepada istrinya dan tidak tega melihat keadaan keluarganya yang seperti ini. Hanya saja sulit untuk dia keluar dari pekerjaan yang sedang dia lakukan sekarang.
                Di tempat lain Steve baru selesai dengan oprasi pelastik dan merubah semua identitas aslinya. Dia menjadikan penjaganya tumbal dengan membakar rumahnya sendiri sehingga polisi mengira bahwa Steve sudah mati. Tetapi FBI masih tetap curiga bahwa Steve masih hidup, sehingga FBI tetap menjalankan rencana yang sejak awal dijalankan.
                Satu tahun berselang. Tony mendapat surat kaleng yang berisi “temui aku di wall street”. Tony sudah paham akan isi dan siapa yang mengirim surat tersebut. Dia langsung bergegas ke tempat yang dituju. Setelah sampai dia bingung karena Steve tidak ada disana, hingga seorang bertampang oriental menghampirinya dan ternyata itu adalah Steve yang sudah mengganti identitasnya. Nama Steve diganti menjadi Lee.
                Tony pun memperingati Lee agar tetap berhati-hati. Dalam pelariannya Tony tetap mencari informasi mengenai siapa target-target polisi dan FBI yang ada. Tony berkata kepada Lee bahwa polisi sudah  mencoret nama Steve dari target penangkapan, hanya saja FBI tetap mencari kebenaran atas kematian Steve.
                Tony: “Lee, kau harus tetap berhati-hati. FBI tetap mencari kebenaran tentang Steve”
                Lee: “kau tidak usah cemas, Steve sudah mati, Lee yang akan mengantikan posisi Steve”
Dalam percakapan yang sedang berlangsung, Lee juga memperlihatkan rencana penjualan narkoba besar-besaran yang akan dilakukan mereka. Tony bertanya apa yang harus dia lakukan.
                Tony: “apa yang harus aku lakukan bos?”
                Lee: “kau orang yang paling aku percaya, persiapkan tempat transaksi kita”
Tony pun mengiyakan perintah yang diberikan kepadanya.
                Tony langsung berkoordinasi dengan teman-temannya. Dia mempersiapkan teransaksi kali ini dengan baik sekali. Tempat yang dipersiapkan Tony kali ini sangat strategis. Belajar dari keadaan yang penah terjadi sebelumnya, dia menyiapkan pelarian yang evektif untuk bosnya Lee. Dia mempersiapkan transaksinya di banda udara. Sehingga jika terjadi sesuatu Lee dapat langsung melarikan diri.
                Dengan membawa kendaraan jeep miliknya, Tony menjemput Lee lengkap dengan dua koper paket heroin yang dibawanya. Mobilpun diarahkan ke bandar udara John F. Kennedy International Airport di New York.
                Rupanya rekan bisnis yang akan bertransaksi dengan mereka sudah menunggu di landasan pacu. Tony dan Lee datang menghampiri dan menunjukan paket heroin yang ada. Saat transaksi berjalan FBI datang dan menyerang Tony, Lee dan rekan bisnisnya. Kembali terjadi baku tembak. Helikopter pun turun menghampiri Lee.
                Lee mengajak Tony untuk naik bersamanya. Untuk memperlihatkan kesetiaan Tony kepada Lee dia menolak untuk naik. Tony tetap dibawah untuk melindungi Lee yang akan lepas landas. Dengan menggunakan AK-47 Tony menyerang para pasukan FBI yang ada.
                Melihat kesetiaan yang ditunjukan oleh Tony, Lee sangat bangga kepada anak buahnya itu. Saat helikopter lepas landas, Lee melihat Tony tertembak dan terkulai di aspal landasan. Melihat hal itu, Lee sangat sedih, karena Tony rela mengorbankan nyawanya untuk keselamatan Lee.
                Di tengah perjalanan Lee bingung, karena Lee melihat lambang FBI berada di dalam helikopter tersebut. Salah satu awak helikopter langsung membius Lee yang mulai sadar bahwa dia sudah ditangkap oleh FBI. Lee pun dibawa ke kantor untuk dimintai pertanggungjawabannya.
                Saat dikantor FBI Lee bertanya kepada komandan FBI apakah temanya Tony masih hidup. Komandan tersebut menjawab, “Tony sudah mati dan akan disemayamkan besok.”. Mendengar hal itu Lee meminta kepada FBI untuk bisa menghadiri pemakaman Tony untuk penghormatan terakhir. FBI pun mengabulkan apa yang Lee minta.
                Dengan penjagaan super ketat Lee menghadiri pemakaman yang dihadiri istri Tony. Istri Tony datang menghampiri Lee.
                Istri Tony: “apa kau sudah puas sekarang?”
Lee terdiam melihat kesedihan yang dirasakan istri Tony. Setelah pemakaman selesai, Lee kembali dibawa oleh FBI untuk melanjutkan pemeriksaan dan menjalani hukuman atas perbuatannya.
                Di sisi lain istri Tony pergi ke Florida, dia memutuskan untuk pindah rumah. Sesampainya dia di Florida, dia disambut oleh seorang lelaki dan memeluknya lalu dia berkata ;
Istri Tony: “Jangan pernah menyuruhku untuk datang ke upacara pemakaman kamu untuk yang kedua kali”.


Dirham Damara

Sabtu, 28 Juli 2012

Jin Ada di Hati Kita Masing-masing


Malam ini kuhabiskan dengan mengendarai motor matik kesayanganku yang kubawa dengan kecepatan yang tak begitu cepat, lambat menyusuri jalanan ibukota yang lengang. Menikmati udara malam yang begitu dingin menerpa wajahku yang mulai tersapu kantuk yang datang marayapi mata. Hingga akhirnya aku putuskan untuk memutar balikkan motorku menuju rumah dan sesegera mungkin bersitirahat.
 Tak lebih dari beberapa jam yang lalu, aku menikmati berbuka puasa di bulan ramadhan ini bersama teman-teman semasa sekolahku dulu. Memang mengasyikkan, tetapi kadang kecanggungan seakan menjalari bibirku sehingga tak seperti dulu, untuk sekedar melepas canda gurau pun seakan merasa bebas lain dengan sekarang seakan tertekan oleh usia.
Perjalanan melewati gang rumah aku melihat beberapa anak muda sedang menongkrong-nongkrong tak jelas. Mereka hanya tertawa-tawa tak menentu, kadang melemparkan beberapa petasan ke jalanan seakan membunuh sepinya malam dengan ledakan-ledakan kecil. Kulewati mereka dengan beberapa pencetan klakson, guna memberikan isyarat pada mereka untuk menyingkir dari jalanan. seakan tak menerima kudengar beberapa dari mereka berteriak-teriak menghujatku.
Sesampainya di rumah segera ku ambil handuk yang tergantung pada tepian jemuran, bersiap untuk mandi. Sunyi memang rumahku, hanya ada aku di rumah ini. Sebuah rumah kontrakkan yang kusewa sejak beberapa tahun lalu ini seakan menjadi sebuah kamar kost yang bersekat beberapa ruangan, begitu luas. Entah sampai kapan aku harus menempati rumah ini sendiri, tak pernah aku bayangkan.
Selesai mandi segera kurebahkan tubuhku pada kasur tempat tidurku. Pukul duabelas malam yang jelas kuterawang dari jam dinding yang menggantung di ruang tengah rumahku. Waktu yang tepat untuk setidaknya tidur, sebelum kembali bangun pada pukul tiga dini hari untuk sahur sebelum keesokkan harinya melanjutkan ibadah puasa pada bulan ramadhan ini.
Tiba-tiba suara ribut-ribut kudengar menggema dari luar rumahku, teriakan beberapa orang yang marah. Segera kubangkitkan tubuhku bangun dan mencari keluar rumah suara ribut-ribut itu. Kubuka pintu gerbang rumahku kulangkahkan kakiku hingga beberapa meter dari rumahku. Kulihat beberapa orang sedang berteriak dipenuhi amarah berkerumun seperti hendak membunuh seseorang.
                kudekati mereka dengan perlahan. Kulihat orang-orang itu masing-masing membawa sebuah kayu di tangannya, astaga mereka benar akan membunuh seseorang!!.
“Mas, ada apa ini? Kok pada bawa senjata segala?” tanyaku pada salah satu orang.
                “Ada maling tertangkap, pak”.
                “Astaga!!”.
Kusibak beberapa tubuh dan benar, ternyata dua orang pencuri sedang dihakimi oleh massa. Bibir meraka telah bengkak, mata tertutup lumuran darah dari pelipis yang sobek dan pipi yang biru membengkak, tertelanjangi hanya memakai celana dalam saja. Keduanya tidak dapat berkutik, pasrah menerima hantaman yang menghujani tubuh mereka.
                “Astagfirullah!! Tenang-tenang pak. Sudah jangan dipukuli lagi, nanti mereka bisa terbunuh!” aku mencoba menghentikan.
                “Biarkan saja mereka mati! Toh mereka Cuma maling! Merusak bulan ramadhan saja!”.
                “Justru karena ini bulan ramadhan pak, bulan untuk saling memaafkan”.
                “Memaafkan?! Sekarang saja masih bulan ramadhan pak, belum idul fitri!! Jangan-jangan bapak temannya maling ini ya?!”.
                “Astaga, bukan pak! Saya warga di sini. Ya sudah kita tunggu hingga pak RT datang, kita selesaikan saja pada pihak yang berwenang” aku menunjuk pada seorang anak muda, “Coba kamu pergi ke rumah pak RT, panggil dia”.
                anak muda itu pergi dengan tergesa menuju rumah pak RT, sementara aku masih berhasil menahan amarah warga yang berkerumun menghakimi dua orang pencuri yang telah babak belur.
kulihat tangan mereka masih erat memegang kayu yang mereka pakai untuk memukul dua pencuri itu. Suasana yang kubangun untuk menentramkannya, kurasakan semakin memanas tak pernah berkurang sama sekali.
                kudengar pak RT datang dari kejauhan, sedikit agak berlari sembari membetulkan kain sarungnya yang agak melorot dengan sebelah tangan, karena tangan sebelahnya ia gunakkan untuk menggenggam sebatang kayu. Sesampainya di kerumunan dia berdiri menghadap warga.
                “Ada apa ini?” ucapnya tajam.
“Maling pak!” seorang warga menjawabnya.
“Astagfirullah, mana malingnya!”.
“Itu pak!”.
                Sedikit demi sedikit kugerakkan tubuhku menjauh dari kedua pencuri itu.
“Oh ini, malingnya!!”.
                Entah seakan semuanya tak terdengar lagi ketika kuberjalan menjauhi kerumunan orang-orang itu. Sekan malu seakan menghentak seluruh tubuhku, menghancurkan setiap sel-sel pembuluh darahku hingga yang paling dalam. Hingga sebuah pikiran terlintas dalam benakku tentang kejadian itu sembari berjalan pulang menuju rumah meningggalkan kejadian itu tanpa ada satu orangpun dari kerumunan itu yang sadar bahwa aku telah pergi. Aku berkata.
                “Sepertinya aku telah salah, datang tanpa membawa senjata untuk diriku sendiri”.


Ridwan

Tawwaba




Kota itu kecil saja, dengan sungai yang permai membelah di tengahnya. Barat, dan Timur. Di Timur warga bekerja sebagai peternak dan petani. Tanahnya lebih subur, hawa segar, dan di sela setapak terdapat bunga-bunga memperharum udara. Ada kolam besar di sisi masjid, tidak bertembok, seperti oase ditengah keramaian.
            Masjid Timur amatlah indah, kubahnya berbentuk bunga teratai disaput hijau mutiara. Tingkat tiga, dengan jendela besar arsitektur timur tengah. Menara azannya menjulang seperti pohon kelapa memuncaki tebing karang.
            Jika senja mulai tiba, kau bisa lihat bocah-bocah berkejaran seperti anak ayam berkotek ramai menuju masjid. Mereka semua ceria.
            Di Barat, ada gedung besar balaikota. Tua, gagah terlihat. Dibuat dari bata hitam terkuat. Di dekatnya, Lapangan Akbar terbentang dengan pohon besar membingkainya. Rumah-rumah berdiri seragam dan bercat putih terang, jalan raya tersusun padat dari kayu dan batu.
            Masyarakat damai, agama merekapun namanya Damai. Bukan dibawa Nabi, tetapi para tetua bergelar datuk dan pangeran menulis kitab setengah suci. Itulah dasar ajaran mereka yang disarikan dari agama-agama zaman kuno kota. Masjid dan gereja adalah simbol keagungan zaman dulu, dan hanya digunakan untuk ibadah semata, baik satu atau semua agama. Bagi mereka, salib hanyalah simbol hubungan dengan Tuhan, ke atas, dan hubungan dengan manusia, ke sisi, tetapi masing-masing tidak beriringan. Bersaliban, bersilangan, bertemu ditengahnya, bukan sepanjang alurnya yang akan lurus menuju ke atas. Masjid dan azan hanyalah panggilan bagi hati yang ingin kesana. Ke sana. Yang tidak? Ya tidak. Biarkan mereka, urusan mereka dengan Tuhan. Tidak usah diingatkan, Tuhan menciptakan Adam pertama kali sendirian, tidak kolektif, tidak bersosial itulah, bukankah awalnya manusia memang hidup sendiri-sendiri, bahkan tanpa istri? Bila masyarakat mencoba hidup bersama sebagai sistem, banyak kepentingan yang bertabrakan. Cedera batin. Cedera kepentingan. Yang utama, melanggar fitrah kesendirian Adam. Agama hanya pantas diletakkan dalam hati mereka, bukan untuk dipraktekkan, sebab masyarakat akan terlalu takut terjadi kerusuhan antar agama.
           
Gereja utara setia mendentangkan lonceng lembutnya, bernyanyi atas runtuhnya Babel sebagai ratapan atas mereka yang ingin melihat Wajah Tuhannya secara langsung, sementara Masjid Timur selalu mengumandangkan azan dengan irama Nahawand, irama laghu yang tinggi dan meliuk-liuk rumit , seperti tarian suara di telinga memanggil-manggil kita.
            Seratus tahun sejak kota ini ada, belum pernah ada perang atas nama aliran kedamaian dan kasih yang mereka anut, “Tuhan jangan pula menggangu perdamaian kita, bila ajaran ribuan Nabi masa lampau kota ini merusak tata damai, kasih, dan toleransi”.
            “Bahwa kebebasan mutlak diciptakan Tuhan Yang Satu untuk beragama, dan bahwa Tuhan Yang Satu tidak mutlak menjadi milik semua agama. Kerinduan pada Tuhan, seperti kerinduan yang sama pada anasir-anasir kebenaran hakiki, adalah sama pada setiap manusia. Kebenaran menjadi dambaan karena perkembangan kehidupan menghasilkan kesalahan-kesalahan baru, setelah timbul kebenaran-kebenaran lebih tinggi. Dunia cepat berubah, begitu pula nilai-nilai kebenaran didalamnya, sebagai mana dulu bumi itu benar datar, sekarang bumi itu benar bulat dan bundar seperti bola. Jalannya pemerintahan adalah berasas kebenaran tinggi, bukan tertinggi, karena kebenaran itu sendiri selalu dipertinggi oleh pencapaian-pencapaian manusia. Kebenaran ada pada Qur’an, ada pada Bible, Talmud, Taurat, Zabur, Veda, bahkan Kitab lain, karena semuanya mereferensikan Wujud Kebenaran yang Satu: Tuhan. Dan Tuhan memerintahkan  murid-muridnya di bumi untuk menaati pemimpin yang juga murid Tuhan”, dalam satu fragmen.
            “Angkatan bersenjata adalah alat diantara banyak alat kebenaran menemukan kebenarannya. Hukum adalah benar, yang salah adalah menyalahi hukum dengan tidak menaatinya. Alat pemerintah. Bahwa angkatan bersenjata mendapatkan tempat sebagai penegak kebenaran-kebenaran yang sedang diyakini sebagai kebenaran relatif”, dalam fragmen lain.
            Tetapi ada satu yang mengganjal, semua warga bebas beribadah. Tanpa bertanya dan mengganggu agama lainnya. Tetapi, hidup mereka hanya demi kebebasan kota. Tuhan hanya alat dan fasilitator, bila ada kitab yang menyalahi undang-undang, harus di revisi lewat konsili agar kedamaian dan ketertiban punya suara. Ini sudah asas umum, disahkan undang-undang turunan peraturan kota.. Produk manusia, sedang manusia itu produk Tuhan, maka undang-undang ini mestinya sama dengan Produk Tuhan. Tuhan mempercayakan kita menjadi pemimpin dunia. Tuhan percaya. Sedang Ia Maha Sempurna. Seseorang tidak akan percaya kepada yang tidak dipercaya kesempurnaan amanahnya. Banyak juga masyarakat menentang ini, tetapi apa daya, media dan pemerintah terlalu dalam mencampuri urusan dalam hati mereka. Tak punya gigi.      
            Sabtu itu, hari sebentar lagi malam. Sembilan orang guru berkumpul dalam majelis rahasia di tepi kota. Mereka lelah dalam tatanan ini. Yang salah tetap dibiarkan salah dengan alasan ketertiban dan HAM. Hujan turun rintik-rintik, dingin, membuat mereka lebih betah berada dalam ruangan untuk berdiskusi.
            “Kamu punya Tuhan?”, Tanya seorang berambut ikal.
            “Punya,”,  jawab si sorban hijau.
            “Berapa?”, serbunya lagi.
            “Satu, kata orang-orang juga satu”.
            “Lalu berapa cara menggapai Dia?”,
            “Mestinya juga satu, tapi...”,
            “Mestinya satu. Kota ini punya banyak cara, dan katanya semua benar”, sambarnya bernafsu.
            “Kebenaran dan kepastian, bukan? Tidak ada yang bisa memastikan. Tidak ada yang salah, yang ada mendekati benar dan pasti.”
            Sembilan wajah itu terdiam. Seorang menyeringai,
            “Kalau begitu, mestinya satu cara yang kita percaya, tapi… huh, pemerintah itu berlagak Tuhan saja”,
            “Tidak bisa, kita semua sama, tujuan kita sama. Bukankah Tuhan kita seharusnya sama? Bukankah dari tata cara inilah Tuhan telah mengenalkan saudara kita yang bernama Surga dan Neraka, posisi dan negasi. Bukankah semua agama menuju kesana? Masalah ada yang tidak percaya pada agama lainnya, toh tidak akan saling merusak kesucian agama yang lain itu, kesucian agama bukan dari konsepsi manusia, tetapi konsepsi agama itu sendiri”, yang berkacamata mencoba menawarkan konklusi.
            Orang kesembilan berkata, “bahwa Tuhan Yang Satu bukankah tak menjadi milik kita saja, tetapi milik mereka juga?”,
            “Lantas? Bukankah kita dilarang mengingatkan mereka yang menyimpang? Sedangkan ada kewajiban itu dalam agama kita. Memang betul, kebenaran terletak pada cara kita memahami konsepsinya. Tetapi pasti hanya ada satu yang benar”, Tanya seorang lain.
            “Mestinya hanya ada satu cara. Agama ini tentu bukan bergerak dalam batas-batas ketiadaan, tetapi dalam keadaan. Kenyataan! Apabila agama hanya ada dalam hati, sekarang kau lihatkah hati mereka? Lebih jauh lagi: Tuhan dalam hati mereka? Tidak, mestinya, agama yang benar adalah agama yang bergerak dalam batas-batas kenyataan dan diatasnya lagi, sumber segala kenyataan. Agama, adalah di alam kenyataan dan mesti dinyatakan dalam kenyataan pula, bukan dalam hati, sebagaimana Kenyataan Tuhan, karena Tuhan menciptakan kita dialam kenyataan”, tegas si sorban itu.
            “Besok, kita ke perpustakaan, cari dimana Tuhan yang asli seharusnya kita yakini. Kita cari dimana cara Tuhan yang asli, yang Ada, yang Pasti, yang memastikan yang mana agamanya”.
            Esok hari, di perpustakaan pusat kota yang berbentuk piramida besar, mereka membaca ensiklopedi kitab suci. Di kota itu, abad ilmu sedang populer, penerjemahan marak, tetapi mereka tak punya naskah asli kitab suci, mereka hanya punya terjemahan dan fragmen tafsir dari para tetua, datuk dan pangeran.
            Tetua Yahya berkata, agama yang benar adalah agama yang Lurus, agama yang selamat. Tetua Yuhanna berkata, harus ada yang mati menebus kesalahan kita dimasa lampau, dan menghadap Dia di Surga demi melapangkan jalan kafilah kita kelak. Semua Tetua mengarah kepada satu kesimpulan: hanya ada satu cara yang benar menuju Tuhan dan pasti diterima.
“Ini tidak benar, berarti kota kita salah? Berarti ada yang salah dan ada yang benar. Ada kepastian! Sudah kubilang, Tuhan itu Pasti, maka yang ada seharusnya kita mendapat jaminan kepastian agama Tuhan yang asli!”,
            “Kita telah temukan kitab asli Tetua, meski hanya fagmennya, murid Utusan Tuhan yang asli. Tuhan terang mewartakan kebenaran dan kesalahan, kepastian antara ya dan tidak. Berarti ada yang salah dan benar, seperti bila aku lelaki tentu bukan abu-abu lagi aku bukan wanita. Ada kebenaran ,mutlak bahwa akulah lelaki, pemilik organ lelaki, tak punya rahim dan payudara montok, tak punya kebawelan. Sudah tentu, Tuhan itu pasti, sebagai mana kita mengidentifikasi kepastian ini makhluk dari makhluk lainnya. Ini kucing dan ini anjing, tidak ragu. Tentulah kepastian hanya diciptakan oleh Kepastian pula, bukan keremangan”.

“Inilah rupanya agama kita! Oh! Tuhan adalah Maha Benar, maka yang mencapaiNya tentulah mencapai kebenaran itu. Dia Maha Benar, maka Benar yang mana lagi yang kita sangsikan darinya? Dialah Sang Kepastian itu.hanya ada satu cara yang benar untuk mencapai Dia yang Benar. Kau tahu? Seperti, bila kamu ingin menuju aku, jalan terdekat adalah lurus kearahku, bukan memutari aku berulang kali”, jawab si kacamata tegas.
“Ah! Ini! Inilah fragmen ajaran Tuhan yang asli. Tuhan menciptakan kita sambung menyambung, Hawa bagi Adam, karena Tuhan tidak menciptakan Adam demikian bodoh. Ia hendak memahamkan Ayah Kita, bagaimana rasa kesendirian, agar kelak tak menjadikan kesendirian itu sebagai tradisi. Ia mengutus Hawa untuk menghapus kesendirian itu. Sistem Adam dan Hawa, keterikatan antar manusia. Tegasnya, antar masyarakat ada kewajiban saling mengikat. Dengan apa? Tali! Dengan Tali Tuhan Kebenaran. Baiknya, mengikuti jejak-jejak tetua, mereka diutus Yang Benar sebagai Utusan Pembawa Risalah. Kita utus saja diri kita”, kata seorang lain.
            Ada yang menyahut, “Tuhan memfirmankan bahwa tebarkanlah kebenaran sebagai berita gembira dan ancaman. Inilah keaslian kota kita, agama Barat Sungai dan Timur Sungai, serta yang ada diantaranya!”.
            “Ya! Tebarkanlah!”

            Tiga hari berlalu, mereka berusaha mengajarkan agama asli yang mereka dapat di perpustakaan, Barat dan Timur yang asli. Mereka susun fragmen kitab yang baru, pembaruan ajaran. Kitab Tawbah, berisi asal-usul cara Tuhan, dan jalan menuju Tuhan itu sendiri. Sistem masyarakat menjadi titik utama kitab ini. Dari rumah ke rumah, mulut ke mulut, antar diskusi dan perdebatan. Ada yang menolak, ada pula yang hanya simpatik.
            Cara ini namanya Tawaba. Ada 12.000 pengikut, yang berusia sebaya. Mereka menjadi komunitas baru kota. Tawaba, artinya kembali pada bahasa kuno mereka. Kembali pada Kebenaran lama, kebenaran pertama, awal, dan akhir. Kembali pada cara-cara lama yang sah dimata kebenaran hakiki. Bukan sah dimata kebenaran relatif. Karena pemerintah mendakwakan diri sebagai  satu di antara banyak anasir kebenaran, kebenaran-kebenaran kecil menuju kebenaran utama.
 Pemerintah bukanlah kebenaran itu sendiri, tetapi alat. Cuma alat kebenaran. Pemerintah memang menaungi kedua agama itu, tetapi membiarkan aliran-aliran baru, dan lebih jauh lagi: menyamakannya dengan ajaran lama. Terang saja Tawaba menetangnya.
            Ini sampai ke telinga hulubalang kota, Shufi. Ia beranggapan bahwa agama baru ini mengancam kota, karena memandang agama mereka paling agung. Tidak boleh ada agama yang paling agung! Ia segera mengadakan perundingan dengan mereka namun gagal. Direncanakan pembuatan keputusan pelarangan, sebagai ajaran sesat dan Setan. Kelompok itu sekarang dicap perusak tatanan, perusak ketertiban masyarakat. Hari-hari berlalu,  masyarakat mulai menyadari ada yang salah dalam tatanan mereka, ada yang rusak. Shufi melalui gerakan intelijen menebarkan keyakinan pada masyarakat agar menghindari cara-cara Tawaba. Seminar-seminar dan redoktrinasi diadakan. Pemerintah melalui dinas-dinasnya, terutama penerangan militer, memaksakan opini masyarakat.
            Masyarakat lalu mengadakan kelompok kecil untuk melawan dan mengikis aliran pembaruan yang sesat itu, aliran pemurnian yang hanya sebenarnya dianggap sesat. Awalnya sederhana, pembakaran-pembakaran spanduk semata.
            Hari itu, pawai akbar berlangsung sebagai hari raya Tawaba. Mendadak masyarakat bersembulan dari segala arah, melempari mereka dengan batu dan kayu.
            Kota Barat dan Timur mencekam, karena demonstran anti dan pro Tawaba memenuhi kota. Ada yang sembunyi di gorong-gorong, di puncak pohon, dan di balik pilar-pilar. Ada pula yang terang berteriak. Kota menjadi amat ramai karena kerusuhan itu. Beberapa membakar ban dan sisa barang yang dirampas. Ada juga yang menyundul-nyundul lonceng gereja dengan galah dan melempari dengan petasan besar, tepat di engselnya agar menggema seperti gema perang.
            Kepolisian bersenjata tajam dan api memagari lapangan besar di dekat Masjid Timur. spanduk bergelimpangan. Bau asap dan gas air mata. Ada pula bekas darah bercampur abu. Lonceng gereja jatuh menimpa bocah kecil yang sedang berdoa. Batu-batu sekepalan tangan berserakan, bekas dilempar oleh orang-orang yang tak membawa senjata perkelahian.
Medan ini menjadi medan pertempuran! Di hari ketiga, menara masjid Timur runtuh dilabrak panser kota Barat. darah memancar lagi entah darimana. Tiba-tiba, empat desing peluru membahana, ada yang tewas! Ya, ada yang tewas! Ada yang tewas buat Tuhan mereka. Demonstran mundur, ribuan polisi berbaris memagar di Jalan Perdamaian, jalan terbesar di sana. Beberapa orang menyeret tubuh mati demonstran ke trotoar, membebatnya dengan kain jaket berlumuran darah.
            Matahari baru tiba, embun belum lama turun.
            Sembilan ribu Tawabin yang tersisa merangsek, membawa spanduk menuntut semua mengikuti cara mereka mengenal Tuhan. Melanjutkan pawai dengan suara serak, memanggil –manggil manusia kepada Yang Kalau Tidak Salah Adalah Kebenaran. tidak kenal lelah. Sayang sekali, pada saat-saat mulai terang cahaya matahari yang terlampau hangat, batalion utama tiba, dibawah Shufi.
Sontak, demonstran berhamburan menyelamatkan diri dari amukan tentara-tentara yang membawa senapan besar. Berhasil didesak, mereka terkumpul di pinggir-pinggir jalan, di bekas beranda bangunan yang belum hancur. Sisanya melarikan diri sejauh mereka bisa. Berantakan. Panser dan mobil berlapis baja berjalan angkuh.
                        “Tak ada yang boleh terlampau percaya dengan caranya menyembah Tuhan, semua cara sama!”, sambut Shufi melalui pengeras suara. Di atas panser.
 “Mulai sekarang, cara Tawaba menyembah Tuhan adalah terlarang menurut tangan Undang-undang dan Hak Asasi Manusia, hak yang jua diciptakan Tuhan! Hak itu mencakup kebebasan memahami, sebenar apa Dia!”
“Serahkan diri Anda baik-baik, kami hentikan kekerasan. Serahkan!”
            Muka-muka demonstran kosong, bersaput debu kehitaman. Seperti dipengaruhi racun kejut yang mengaliri darah mereka. Mereka lelah, mencari kebenaran itu. Kebenaran! Yang tertinggi. Yang dapat memberi tahu, siapa mereka dan siapa yang memberi nama. Selebaran-selebaran dari beberapa yang menjadi anggota LSM bertebaran. Isinya, penolakan dan penuduhan pelanggaran ham kepada Sembilan Utusan, HAM itu merata, menjamin semua orang memeluk agama manapun dan menggantinya seenak dia mau.
            Kesembilan utusan yang kini dianggap tetua baru ditangkap, diborgol dan ditendang. Di giring ke mobil besi.         
            Tertunduk lesu, mereka hanya berdoa sepanjang perjalanan. Tatanan kota Damai rusak sebab agama asli tak mendapat ruang di sini. Dimana letak Tuhan di sini? Masyarakat kita, apakah tidak tahu cara Tuhan yang asli? Bukankah, semua agama tidak sama dan kita tetap harus percaya kita lebih Tinggi? Agama disisinya, bukankah hanya satu? Jika semuanya sama, kenapa lantas kita jangan beragama, tetapi bertuhan saja?  Ya, mereka tahu, memang HAM menjamin pelaksanaan agama sebebas-bebasnya. Tetapi sepanjang pengetahuan mereka juga, setiap penyimpangan mestilah dicegah.
            Penjuru kota rata dan runtuh seperti di telan angin besar siksa. Menyisakan area kecil pertempuran demonstran dan masyarakat bersama polisi yang berbaris. Demonstrasi dan pertempuran melawan masyarakat menghancurkan bagian terbesar kota itu. Walikotanya tak ada di tempat, sedang melawat ke seberang benua, mencari kebenaran juga, yang tersimpan di sela-sela wisatanya. Hujan turun rintik namun asap-asap sisa kerusuhan masih terlalu besar untuk padam. Anjing dan kucing melipat telinga, menahan suara, mencari tuannya yang hilang dalam reruntuhan perang. Bau darah. Bau selongsong. Bau knalpot panser. Bau abu. Bau rokok bercampur hangus. Bau benar-benar perang.
            Pengadilan bagi para tetua digelar, dan pemerintah sepakat menjatuhkan hukuman mati atas tuduhan merusak ketentraman kota, melanggar undang-undang kebebasan beragama, dan mengadakan makar melawan pemerintah. Pendukungnya sudah tak kuasa melawan, pemerintah terlalu kuat. Sepertinya, banyak agama lagi yang akan menjadi korban undang-undang semacam ini.
            Hukuman mati bagi penyeru, para Tetua. “Kebenaran sejati tidak ada, saudara Tetua. Yang ada tetaplah pemerintah dan hukum sebagai satu dari sekian banyak anasir kebenaran tertinggi, sedangkan kebenaran tertinggi itu relatif, saudara. Akan meningkat seiring pencapaian kita. Seiring pula dengan mendekatnya kita pada kebenaran, meninggilah ia kembali”, sang pengacara pemerintah memberi dasar tuduhan.
            “Anda, bersalah. Melawan kebenaran. Semua agama sama! Hanya berbeda pada tataran caranya menemukan Tuhan. Tuhan itu relatif, bergantung kebenaran masing-masing agama!”, seru Jaksa.
            Hukuman mati akan dilaksanakan segera setelah sidang selesai, tanpa pembacaan pembelaan. Di kota itu, pelanggaran tertinggi adalah menggugat undang-undang dan pemerintah.
Sembilan tetua hanya ingin menebarkan sesuatu yang mereka anggap benar, dan menentang penyeragaman semua agama. Bila semua agama sama, kenapa lantas masing-masing mengklaim memiliki Surga dan Nerakanya sendiri, dan bukannya Surga dan Neraka yang ditempati secara bersama? Dan,
            “Atas nama kebenaran, dor…”. 


Amar Ar-Risalah

Selasa, 24 Juli 2012

Masaku, lalu masa mereka



Hidup memang betul jadi petualangan bagi George. Hari telah jadi pertaruhan hidup-mati dirinya dan juga tangungjawabnya: seorang anak dan seorang istri. Kini, kumpulan hasil bumi: batubara yang dikumpulkan dari atas tebing tinggi berkawah yang sepenuhnya menjadi daging dan energi daripada mereka.
Selepas gulita yang diiringi adzan subuh meninggalkan Ribez, berarti tiba waktu untuk tapak George meninggalkan rumah menuju pertambangan seperti hari kebanyakan. Dengan berbekal alat seadanya yang sederhana dia mengharap rezeki.
Dengan perut kosong sisa semalam langkah George harus lumayan banyak dilakukan   2km jarak untuk tiba di pertambangan. Jarak tempuh tersebut memakan waktu kurang lebih 2 jam. Pepohonan di hutan hujan dan tebing-tebing juranglah jalan setapak satu-satunya menuju kawasan pertambangan.
***
Memang, hidup George tidak mudah. Bukannya tidak pernah mengeluh, tetapi dia selalu menyembunyikan keluhanya di dalam hati dan doanya agar tidak seorang pun; bahkan istrinya menganggap remeh dan mengasihaninya. Tuhan menjadi satu-satunya tempat George mengadu dan mengeluh. Doa yang selalu ditasbihkan  George selalu sama: agar keluarganya dapat hidup layak. Tidak banyak, bukan, permintaan pria berbadan besar dan berkulit agak gelap ini? Tapi Dia tahu yang terbaik telah diberikanNya.
Selepas bersujud subuh, tubuh George yang sudah tua bersiap melakukan aktifitas rutin beratnya.
“Pak, sepertinya sedang kurang sehat, sebaiknya tidak usah ke pertambangan  hari ini.” Kata marylin, istri George membujuk.
“Tidak, badanku terasa biasa saja, bahkan lebih baik dari kemarin” Dia menolak dengan suara lembut.
Berangkatlah Dia dengan penuh kecemasan sang istri. Sebenarnya George memang merasa kurang sehat hari itu, tetapi Dia lebih tidak tega melihat Istrinya yang harus bekerja  mencari kayu bakar di hutan untuk mendapatkan uang makan sekeluarga seharian.
Seperti biasa, segala rintangan siap ditempuh. Tetapi, hari itu agak berbeda: hujan lebat mengguyur Ribez sebelum George sempat menyelesaikan langkahnya melewati hutan. Dia berlari dengan gegas menghindari kuyup badannya karena air dari langit. Sia-sia memang. Akhirnya tubuh kuyup George memilih untuk berteduh menuggu hujan reda di sebuah gua kecil yang gelap.
Hujan semakin lebat. George yang menggigil kedinginan masih memilih berteduh. Dia merasa sangat menderita. Tubuh yang masih dipaksakan untuk kuat ini sepertinya sudah  melewati batas ketahanan. Gigil karena hujan dan sakit yang dibawanya dari rumah membuatnya kehilangan kesadaran.
***
            “Di mana aku?”  Ucap George sambil melihat sekeliling dengan heran.
“Kau sudah sadar, ya? Silahkan minum ini” Kata seorang wanita muda berpakaian parawat sambil menyodorkan segelas air mineral.
“Cepat jawab, di mana aku sekarang? Kenapa aku bisa di tempat seperti ini?” Dengan suara agak keras menyambut tawaran wanita itu.
“Baik, sebelumnya, namaku Diana, suster yang merawatmu sejak pertama kali kau ditemukan.  Akan aku jelaskan mulai dari saat seorang polisi menemukanmu terbaring tak sadarkan diri di dekat pohon besar.” Katanya, dengan suara lembut.
George yang mendengarka cerita Diana bahwa dirinya ditemukan tidak sadarkan diri oleh seorang polisi di dekat pohon besar merasa heran dan setengah percaya. Karena yang Dia  ingat bahwa dirinya sedang berteduh di sebuah gua di tengah hutan.
Tatap George mengelilingi ruangan di mana dia berada. Agak heran dan takjub pandangnya setelah dia tegaskan. Seluruh pemandangan memang jauh  berbeda dari yang biasa dia lihat: hampir segalanya terbuat dari emas terkadang berhias butiran pemata dan segalanya teknologi serba berada di luar kemampuan kepercayaan George.
“sebenarnya ada di mana aku?” tanya George penuh keheranan dan ketakutan yang sangat mengkhawatirkan keluarganya.
Diana menjelaskan keadaan yang sekarang dialami George. Didapatkanlah informasi, bahwa: sekarang dia berada di masa depan, tepatnya di tahun 2300. Di mana segala sesuatu dapat dilakukan, bahkan mengubah benda apapun menjadi sebuah perhiasan; emas, permata, dll dengan menggunakan alat canggih abad itu.
            “aku ingin kembali pada keluargaku” pinta George entah pada siapa.
Tentu saja bisa. Segalanya bisa dilakukan saja dengan teknologi canggih milik manusia. Jangankan mesin waktu, alat anti gravitasi pun sudah tercipta.
            “aku akan membantumu” tawar Diana.
            “tapi bagaimana caranya?” tanya George menatap Diana penuh pengharapan.
Diana memberikan George sebuah brosur jasa perjalanan waktu. Sesungguhnya jasa ini menawarkan untuk rekreasi keluarga ke berbagai zaman di masa lalu dengan membayar sejumlah uang.
Diana yang hanya bekerja sebagai perawat hanya bisa menawarkan solusi yang seperti tanpa kealanjutan yang jelas.
            “aku bisa bekerja sebagai apa pun” bujuk George pada Diana.
Keinginan George sepertinya tersambut. Diana menawarkan sebuah pekerjaan di pabrik kayu sebagai pengangkat barang kepadanya. George pun menerima tawaran itu demi untuk bisa pulang kembali ke masa lalu. Kebetulan memang hanya itu jenis pekerjaan yang bisa dilakukanya.
***
Di hari pertama bekerja, George sedikit agak canggung dengan kebiasaan hidup di masa depan. Mulai dari budaya, kebiasaan, watak, tak pernah sekali pun Dia temui orang-orang dengan watak seperti itu di tempatnya tinggal: Ribez tahun 1998. Semua orang terlihat acuh, sombong, bahkan tidak sopan. Mungkin hanya Diana orang baik yang tinggal di sini, pikirnya.
Setelah berbulan-bulan bekerja di tempat asing tersebut, uang tabungan untuk pulang hampir tercapai. Sebegitu senangnya hati George dengan hal itu. Dia akan bertemu keluarga yang dicintainya.
Terkumpullah jerihpayah George berupa uang untuk dibelikan tiket menumpang mesin waktu menuju kota kecil di sebelah tenggara Negara Laboa bernama Ribez tahun 1998. Seluruhnya telah diberikannya untuk kembali pulang, termasuk bergaul dengan orang masa depan yang jauh dari budipekerti yang baik.
Sebelum pulang, George menyempatkan berbelanja dengan uang ang tersisa untuk keluarganya: lemari, meja makan dan seluruhnya perlengkapan yang tidak diperlukan. Tentu saja, semuanya terbuat dari emas. Dia berpikir akan menjadi orang yang kaya raya setelah pulang ke Ribez. Pun memang kenyataannya akan seperti itu setelah dia menjual perabot emas yang dibawanya, tentu kekayaan yang didapat.
            “sampaikan salam untuk Istrimu, george” kata Diana sambil melambaikan tangan menghantar kepergianku.



Arief Budiman

Sabtu, 21 Juli 2012

AKU MENCARI KAMI




            Supri, Jono, dan aku menjalin sahabat sejak empat tahun silam. Bukan sahabat, inilah yang disebut saudara. Susah, senang kami hadapi bersama. Tidak dipungkiri jika memang kami terkadang ribut-ribut kecil, itu memang hal yang biasa, bahkan kejadian-kejadian seperti itu membuat kami menjadi kami yang kuat.
            Kami, menantang matahari, membakar samudra, menghantam waktu, membelah gunung, menikam bulan, menerawang terang. Kami adalah kami. Kami bukan manusia, melainkan serpihan-serpihan alam yang saling melengkapi.
            Ya itu kami
            Itulah kami, tetapi semenjak kerusakan internal hadir dalam persaudaraan, kami hanya serpihan yang mengawang-awang tanpa tujuan, tidak jelas tujuan kami. Wanita memang sebuah simbol keindahan, tetapi keindahan itu bisa menjadi berbahaya. Kerusakan itu hadir seiring munculnya persaingan Supri dan Jono dalam mendapatkan Vanya.
            Aku tidak ingin munafik, Vanya memang gadis yang mempesona. Menurut beberapa orang, kecantikan itu relatif, tapi kami sependapat untuk Vanya, cantik itu mutlak. Buat apa cantik jika hasilnya merusak yang telah ada. Persaingan Supri dan Jono mulai tidak sehat. Menurutku mereka mulai saling menikam dari belakang.
            “Mana nih si Jono, pri? Kemaleman nanti nih nonkrongnya kita. “ Aku membuka percakapan saat menunggu Jono di tempat biasa kami kumpul.
            “Au dah, bodo amatan dah ama dia.” Supri acuh tak acuh, terus menghisap rokoknya.
            “Lah ko lu gitu dah? Akhir-akhir ini gua liat lu berdua mulai saling menjauh dah? Kenape lu?” Aku mencoba mencari tahu penyebab keretakan mereka berdua.
            “Ah itu perasaan lu aja kali, eh eh tuh cewe yang lewat bening bener dah ya?” Supri mencoba mengalihkan pembicaraan.
            “Lu jangan mengalihkan pembicaraan deh, gua tau nih, gara-gara Vanya kan ?” Aku mulai menerka-nerka.
            “Gk usah sok tau deh lu, udah kaya wartawan aja lu nanya-nanya.” Sesaat setelah Supri berbicara, Jono datang dan langsung duduk sambil memesan jus tomat.
            “Maap cooy gua telat nih.” Jono duduk sambil menyulut rokoknya.
            “Lu kira kita lagi kuliah, ada telat-telatan segala.” Aku mencoba mencairkan suasana.
            “Tumben lu dateng.” Tiba-tiba Supri membuat suasana menjadi kaku, ternyata benar dugaanku, persaingan mereka mulai tidak sehat.
            “Kenapa lu, ada masalah gua dateng?” Jono merasa tersinggung dengan ucapan Supri.
            “Ada yang salah dengan omongan gua hah?” Supri seperti membelit-belitkan masalah. Suasana makin tegang.
            “Jelaslah! Heh, gua baru tau tadi, lu ternyata suka jelek-jelekin gw didepan Vanya, culun tau gk lu.” Jono berbicara sambil mematikan rokoknya.
            “Ya gua berbicara kenyataan aja, lu juga begitu kan? Bongkar-bongkar kejelekan gua.” Supri membela diri dan berargurmen.
            Aku yang tak ingin mereka berdua adu mulut langsung berkata, “Gua muak ye dengan keadaan ini. Lu berdua kalo emang mau saingan dapetin Vanya jangan kaya begini caranya. Lu gk boleh saling bongkar aib sahabat lu. Gibah tau gk lu pada. Pada kaya tikus laper tau gak lu berdua. Gua cabut dah kalo gini caranya.” Aku pergi tanpa ada dari Supri dan Jono yang mencegahku.
             Aku pergi ke pinggir danau, tempat yang sangat tepat untuk merenung di malam hari. Aku menyulut rokok dan mencoba berpikir solusi apa yang tepat. Bicara wanita memang tidak ada obatnya. Kalau memang sudah jatuh cinta pada wanita pasti akan berusaha untuk mendapatkannya, namun untuk kasus ini, cara mendapatkan Vanya yang dilakukan Supri dan Jono sudah tidak sehat. Ini bukan ribut-ribut kecil lagi, akan menghancurkan persahabatan jika terus berlanjut.
            Semenjak kejadian kemarin, Supri dan Jono makin menjauh, aku bingung, karena kami tidak pernah lengkap saat sedang kumpul. Ini keadaan yang tidak menyenangkan. Aku harus mencari cara agar kami bisa tetap menjadi kami. Bukan menjadi seperti ini, kami bukan serpihan yang mengawang tanpa tujuan. Kami harus tetap kami yang berupa serpihan alam yang saling melengkapi.
            Tapi aku mesti gimana? Ini seuatu yang sangat rumit. Aku tidak bisa gegabah  dengan keadaan ini. Mustahil membuat Vanya menjauh, mengingat Vanya sangat nyaman dengan perhatian-perhatian yang diberikan oleh Supri dan Jono.
            “Aku harus gimana??” Aku teriak sekencang-kencangnya di pinggir danau malam hari ini. Tempat ini menjadi favorit ku semenjak aku jarang kumpul bertiga lagi.
            “Hahahaha, bodoh sekali aku, keretakan ini hadir karena Vanya. Jadi apa solusinya? Hei danau bodoh jangan menatapku remeh seperti itu.” Danau itu seperti mulai memberiku saran, ah itu bukan saran, tapi perintah.
            “Apa kau gila danau bodoh. Jangan mencoba memasuki pikiranku!!! Tidak mungkin aku melakukan itu!!” Ada apa ini. Danau itu bukan mahluk hidup, tapi kenapa dia lebih hidup dalam pikiranku dibandingkan aku sendiri.
            “Tidak, aku tidak suka dengan Vanya, aku hanya ingin mengembalikan persaudaraanku yang sangat ku banggakan.”
            Lalu aku pergi kesebuah toserba untuk membeli sesuatu dan pergi ke rumah kos yang ditempati Vanya. Aku juga menyempatkan membeli martabak Bangka kesukaanya, hal ini kuketahui dari Supri dan Jono.
            “Van, maaf ganggu ya” Aku dan Vanya duduk berhadapan di teras.
            “Iya gak apa-apa ko jo, ada apa nih tumben kemari malem begini?” Vanya memang orang yang ramah, jika saja Supri dan Jono tidak jatuh cinta dengannya, mungkin aku adalah lelaki yang paling giat untuk mendapatkan cintanya.
            “Nih gua bawain martabak, lagi pingin aja mampir van,” Aku memberikan sebungkus martabak keju.
            “Waw, ini kesukaan gw jo, ko lu bisa tau sih?” Vanya langsung mengambil sepotong dan memakannya dengan lahap.
            “kebetulan aja mungkin, sepi banget nih kos-an, pada kemana?”
            Vanya menghabiskan martabak dalam mulutnya, lalu berkata “ Wah udah pada mudik jo, lu tau kan kita udah libur tiga bulan, mamih kos gua juga lagi pergi ke luar kota, serem juga sih sendirian disini.”
            Aku mengeluarkan sebilah pisau terbungkus kardus yang kuselipkan di belakang celanaku. Pisau ini kubeli di toserba, aku letakkan diatas meja tepat dihadapan Vanya.
            “Buat apaan jo? Gua belum bisa masak. hehehe” Vanya penasaran dengan Pisau yang kubawa sambil bercanda.
            “Udahkan makan martabaknya ya, gua cuman pingin sahabat-sahabat gua gk ribut lagi karena lu.” Ku ambil Pisau dan ku lepaskan bungkusnya, lalu kuarahkan ke leher Vanya.
            “Jo lu becanda kan?” Vanya mulai panik,”jo lu jangan gila dah!!.”
            “Maafin gw Van”



M.N

Jumat, 20 Juli 2012

Cinta, apa itu?




Aku bertemu seorang teman lama, di sebuah taman, pada sebuah senja gerimis musim hujan. Kami membicarakan banyak hal. Beberapa tahun seperti menyimpan segudang kerinduan, yang kemudian meruah antara kami berdua.
Mulai dari urusan pekerjaan, mengingat masa-masa muda, sampai pada masalah percintaan. Dan sampailah kami pada sebuah pertanyaan yang dia lemparkan kepadaku.
“Cinta. Apa itu, teman?” sebuah pertanyaan yang cukup mudah. Tapi benarkah?
Apa sebenarnya cinta itu? Apakah aku benar-benar mengetahuinya? Lalu cinta seperti apa yang sebenarnya aku ketahui? Pertanyaan-pertanyaan perlahan memakan kepalaku.
Aku pernah jatuh cinta. Ya, pernah. Tapi tak benar-benar mengerti apa itu cinta. Hanya sekedar menyukai lawan jenis dan ingin memilikinya, kemudian bercinta dengannya.
Tapi benarkah yang seperti itu yang namanya cinta? Aku ragu.
Aku kembalikan pertanyaan itu kepadanya. Sedikit mengerutkan dahinya, mungkin sedang berpikir. Dan pada akhirnya kami berdua mengerutkan dahi masing-masing, kemudian berpikir.
Sebenarnya, aku menemukan banyak sekali cinta. Aku menemukan cinta seorang ibu dalam sekaleng sarden, kemudian cinta seorang ayah dalam keringatnya pada lepas pagi. Lalu aku menemukan banyak sekali cinta dalam butir-butir debu kapur papan tulis sekolah. Cinta yang melimpah untuk seorang murid yang lapar.
Tapi itukah cinta yang sebenarnya? Aku rasa benar.
Bagaimana dengan temanku. Sepertinya masih tenggelam dalam pikirannya. Sampai terpejam matanya dan masih saja mengerutkan dahi.
Sudahlah. Kubiarkan saja dulu.
Aku mulai berpikir lagi. Bagaimana dengan hubunganku dengan lawan jenis yang selama ini juga kuanggap sebagai cinta. Apakah itu benar-benar cinta? tentu saja aku tidak bisa menjawabnya.
Perasaan menyukai lawan jenis dan ingin memilikinya. Apakah berarti cinta itu harus memiliki. Bagaimana jika tidak memiliki. Apa tidak bisa dikatakan sebagai cinta. Kemudian timbul rasa ingin bercinta dengan lawan jenis ini. Bukankah bercinta itu berlandaskan nafsu. Apakah berarti cinta itu nafsu. Lagipula, kenapa dinamakan bercinta, tidak bernafsu atau sesuatu yang lain.
Kembali kepada temanku. Dia masih memejamkan mata dengan dahi yang semakin mengkerut.
Sudahlah. Kubiarkan saja dia berpikir dulu.
Kami tidak pernah berpikir sekeras ini sebelumnya. Hanya percakapan-percakapan ringan yang biasanya mengisi pertemuan kami. Entahlah, mungkin ada sesuatu yang sedang dia pikirkan.
Cinta. ya, cinta.
Tapi kenapa dia memikirkan persoalaan tentang cinta. Aku ingat betul, dia adalah orang yang paling tidak suka berbicara tentang cinta dulu. Terlebih karena latar belakang kehidupan punk-nya, yang menganggap bahwa persoalaan cinta tidaklah penting dalam hidup. Masih banyak masalah-masalah sosial lainnya yang menurutnya lebih penting untuk dibicarakan.
Tentu saja, dia belum menyadari bahwa cinta adalah masalah terbesar dalam hidup. Aku menyadarinya akhir-akhir ini.
Aku mulai berpikir lagi. Bagaimana dengan beberapa kerusuhan yang ramai di beritakan akhir-akhir ini. Apakah ada cukup cinta untuk orang-orang yang kehilangan keluarga mereka. Apakah ada cinta pada para petugas yang mengoyak pasar-pasar miskin.
Itukah cinta menurut mereka. Atau mereka juga belum menemukan seperti apa cinta itu sebenarnya, sama sepertiku.
Ah, ingin rasanya mengajak mereka untuk bersama-sama mencari apa itu cinta. Tidak apa, akan kuajarkan kepada mereka begitu sudah kutemukan apa yang kucari. Kalau perlu akan kubagi sedikit.
Dan lagi, kutengok ke arah temanku. Dan masih kutemukan dia dalam keadaan yang sama. Memejamkan mata dan mengerutkan dahi.
Apakah benar-benar sesulit ini.
Aku tiba-tiba teringat sebuah dialog yang sama dengan seorang teman. Aku lemparkan pertanyaan ini padanya. Kemudian dia menjawab,
“Cinta adalah kerinduan.” Jawaban yang singkat dan sungguh tidak membantu. Tapi tetap akan aku pertimbangkan.
Aku mulai lelah, dan kuputuskan untuk berhenti berpikir tentang cinta. Tinggal menunggu apa yang dihasilkan dari pertapaan temanku. Atau menunggu dia lelah dan mulai menyerah juga.
Benarlah dia selesai dari pertapaannya. Wajahnya mulai datar saat menghilangkan kerut-kerut dari dahinya. Membuka mata perlahan, menatapku, kemudian tersenyum cerah.
“Jadi, sudah kau temukan, teman?”
“Ya. Sudah.”
“Lalu, apa itu cinta?”
“Cintailah yang Maha Pencinta, teman. Kau akan menemukan apa itu cinta yang sesungguhnya.”
“aku harus mencintai Tuhan?”
Dia hanya diam lalu berdiri. Matanya menghadap kearah kejauhan. Tajam. Seperti ada sesuatu yang dia inginkan disana. Dia meninggalkan beberapa kata sebelum akhirnya tersenyum dan kemudian benar-benar pergi. “mencintalah dengan cinta yang paling cinta, teman!”
Aku tidak akan merindukannya. Dia pasti akan kembali, saat sedang memikirkan sesuatu yang sulit. Atau aku yang memikirkannya.




Askar M.

Jumat, 13 Juli 2012

Tertembak mati




Kegelapan yang menyelimuti relung hati yang dalam. Isak tangis mengiringi kepergian sang mantan. Darah menetesi lantai putih. Petir menyentak begitu kencang. Gemuruh angin yang keras membuat pepohonan bertumbangan. Hanya keikhlasan yang bisa melepaskan semua keadaan. Ini memang takdir yang tak bisa dihindarkan. Kelakuan buruk memang menyedihkan. Bendera kuning tertancap di depan pekarangan. Para tamu silih berganti berdatangan turut berbela sungkawa atas semua kejadian.
Di ruang tamu tertidur jasad yang terbujur kaku. Tubuh tanpa darah yang terhisap oleh peluru panas. Kain kafan yang membalut sekujur tubuh tanpa nyawa. Kapas-kapas yang terjepit hidung dan telinga. Kedua telapak tangan yang bersandar di atas dada. Bibir yang menjepit begiru rapat. Kelopak mata yang begitu pucat. Wajah  terlihat kuning pucat. Lantunan doa yang mengiri. Keluarga mengelilingi jasad yang terbujur kaku. Kedua anak kecil yang menangis tanpa henti.
Tukang gali kubur menggali tanah 2 meter. Sebagian orang mengambil keranda yang berada di mesjid. Semuanya hanya terdiam. Melakukan kegiatan yang tak sering di lakukan. Karangan bunga yang memenuhi halaman pekarangan. Semua keluarga larut dalam kesedihan yang sangat mendalam. Sahabat dekat berdatangan tak yakin semua ini hal yang sangat kebetulan.
Ibu memeluk erat kedua buah hatinya. Dengan penuh rasa kasih dan sayang. Ibu mengecup kening kedua buah hatinya. Air mata yang tanpa henti membasahi pipi yang kering. para polisi berjaga di halaman pekarangan. Tetangga yang berbincang-bincang dengan penuh rasa penasaran. Para ulama dan kiyai siap menyolatkan. Jasad yang terbujur kaku dibawa ke dalam mesjid yang berada di samping rumah. Semuanya larut dalam keheningan. Kiyai yang menjadi imam dalam prosesi menyolatkan, berdiri tegak sambil menyolatkan.
Keluarga yang tak tahan dengan semua perasaan. Berteriak histeris seperti kerasukan. Kerabat melerai dan menenangkan. Air putih yang diberikan menyadarkan yang kerasukan. Keikhlasan memang harus dijalankan. Takdir memang tak ada yang bisa menahan. Hanya iman islam yang bisa menyelamatkan. Keluarga hanya bisa mendoakan. Agar beristirahat di tempat peristirahatan.
Jasad siap untuk dimakamkan. Keluarga, tetangga, kerabat. Menggotong keranda yang mengenaskan. Keranda keluar dari dalam masjid. Semua keluarga berkumpul di halaman masjid. Kemudian keranda dibawa ke tempat pemakaman. Keluarga, tetangga, kerabat. Mengiringi jasad yang terbujur kaku ke tempat peristirahatan. Langkah yang begitu pelan. Air mata yang tak henti menetes. Anak kecil yang menangis begitu kencang mengiringi prosesi pemakaman
Dipemakaman tanah yang tergali sedalam 2 meter sudah tersiapkan. Batu nissan yang terukir sudah siap dipasang. Terlihat iring-iringan keluarga, kerabat, tetangga yang mengantarkan jasad ke pemakaman. Petugas siap membantu menurunkan. Semua memakai pakaian hitam. Semua terdiam hening bagaikan kota yang tanpa penghuni. Semua larut dalam kesedihan yang begitu mendalam. Kedua buah hati memberi salam perpisahan. Isteri yang merangkul kedua buah hati berusaha tegar dihadapan sang mantan.
Jasad mulai diturunkan. Orang-orang menyangga dengan penuh hati-hati. Jasad dibaringkan menghandap dinding liang lahad. Kain kafan yang membungkus dan terikat oleh tali mulai dilepaskan. Ulama mengajankan, semoga jasad bisa tenang di tempat peristirhatan. Papan-papan mulai menutupi jasad yang terbaring. Sedikit demi sedikit gundukan tanah mulai menutupi lubang 2 meter itu. Isak tangis pun mulai pecah kembali setelah setengah dari lubang mulai tertutupi oleh tanah merah itu. Petugas yang membantu menguburkan jasad itu mulai mempercepat kerjanya. Tanah diinjak-injak begitu padat.
Sekarang begitu terlihat gundukan tanah merah. Bunga tertabur di gundukan tanah merah. Batu nissan yang terukir benar-benar terpasang. Satu persatu kerabat, tetangga mulai meninggalkan pemakaman. Kini hanyalah keluarga yang masih berada di pemakaman. Kematian memang akhir dari perjalanan kehidupan. Dan penyesalan bukanlah sesuatu yang tepat untuk menyelesaikan sebuah keterpurukan.
“mah, apakah papah tidak akan pernah kembali lagi?”
“kamu yang sabar ya nak. Mamah akan selalu menyayangi kalian berdua”
“aku dan ade juga akan selalu menyayangi mamah”
“iya sayang. Hanya kalian saat ini yang membuat mamah tegar dan terus berdiri tegak.”
          Aku hanya terdiam membisu. Mendengar apa yang dikatakan kedua buah hati ku. Semakin sakit hati ini melihat semua yang telah terjadi. Terasa mimpi yang menghinggapi relung hati yang sedang tersayat nadi. Air mata tak hentinya membanjiri pipi ini. Kerudung hitam tertiup hembusan angin yang begitu dingin. Tangan yang memegang batu nissan yang terukir nama sang mantan. Kata perpisahan terucap dengan begitu menyedihkan. Doa yang terselip di hati mengiringi kepergian dirinya yang begitu terasakan.
          Langkah kaki meninggalkan tempat pemakaman. Jauh dari tempat pemakaman tengokan demi tengokan tak terasa terlakukan. Kedua buah hati yang begitu terpukul dengan semua kejadian. Jangan ada dendam yang berkepanjangan. Suasana rumah yang sepi tanpa ada yang bisa di banggakan. Kini usailah sudah. Hanya tinggal kenangan yang menjadi obat rasa rindu.
          Foto-foto yang terpampang diruang keluarga kini hanya tinggallah foto tanpa jasad. Foto itu benar-benar hanyalah foto. Semua kenangan indah yang telah terlewati kini takkan pernah bisa terulang kembali. Kegiatan yang biasanya dilakukan kini hanyalan hal yang tak pernah lagi dipegang. Sunggung hal yang sangat memilukan. Tanpamu aku akan tetap hidup. Kedua buah hati mu akan ku jaga dengan baik. Semoga dirimu tenang di alam sana.
“mamah, papah bukan teroris kan?”
“bukan nak, papah mu itu buka teroris. Percayalah”


Asep Sunandar